Thursday, June 27, 2013

NILAI UTAMA DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Nilai Utama dalam Pembangunan  : Tiga nilai utama (three core value of development), versi Adaro dan Smith (2009) yang perlu dikembangkan dalam pembangunan, yaitu: sustenance, self-esteem dan freedom. Sustenance ditandai dengan kemampuan mendapatkan kebutuhan dasar manusia, yang meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan rasa aman (Ghosh 1984). Self-esteem ditandai dengan berlakunya pengakuan sebagai manusia seutuhnya (to be a person) yang merupakan komponen universal kedua terpenting dalam kehidupan yang layak. Fredom from servitude adalah adanya iklim kebebasan manusia untuk memilih, yang dipahami sebagai keleluasaan emansipasi dari kondisi alienasi dalam kehidupan, tekanan institusi, dogmasi dalam keyakinan, pelayanan sosial dan khususnya dalam upaya pengentasan diri dari kungkungan kemiskinan. 

Millenium Development Goals sebagai Sasaran Pembangunan 
Pandangan umum tentang pembangunan berkelanjutan mencakup antara lain realitas fisik (ekologis) dan realitas sosial yang mencakup kombinasi atas aspek sosial, ekonomi dan proses-proses kelembagaan dalam rangka mewujudkan kualitas hidup yang semakin meningkat. Apapun komponen yang dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, dalam tataran pembangunan di seluruh masyarakat setidaknya mencakup tiga tujuan berikut (Adaro & Smith 2009): 

  1. To increase the avalailability and widen the distribution of basic life-sustaining goods such as food, shelter, helt and protection. 
  2. To raise levels of living. Tercakup di dalamnya adalah peningkatan pendapatan, kesempatan kerja/peluang usaha, peningkatan pendidikan, perhatian yang lebih baik terhadap nilai budaya dan nilai kemanusiaan. Jadi tidak hanya yang bersifat material/fisik, tetapi terutama yang sifatnya peningkatan kualitas kemanusiaan dan kebangsaan (self-esteem). 
  3. To expand the range of economic and social choices, yang secara individual dan kebangsaan lebih memungkinkan mendapatkan keleluasaan meraih akses pelayanan tidak hanya dalam berinteraksi dengan sesamanya dan sebangsanya, tetapi juga keleluasaan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dalam arti yang lebih luas. 
Pada September 2000, sebanyak 198 negara anggota PBB telah mengadopsi delapan Millenium Development Goals (MDGs) sebagai wujud nyata komitmen dalam pertumbuhan untuk mengatasi kemiskinan dan mencapai tujuan-tujuan lainnya dalam pembangunan manusia pada tahun 2015. MDGs berupaya memperbaiki dengan fokus pada pengembangan masyarakat, terutama dalam mengentaskan kemiskinan dan mengatasi masalah kelaparan (UNDP 2003). Delapan indikator pembangunan di era milenium meliputi : 
1. Eradicate extreem poverty and hunger 
2. Achieve universal primary education 
3. Promote gender equality and empower women 
4. Reduce Child mortality 
5. Improve maternal health 
6. Combat HIV/AID, malaria and other diseases 
7. Ensure environmental sustainability 
8. Develop a global partnership for development 

Agar tujuan pembangunan di era milenium benar-benar dapat menyentuh permasalahan yang lebih luas di tingkat masyarakat, maka solusinya adalah pengembangan masyarakat secara partisipatif. Terkait dengan pengembangan masyarakat secara partisipatif dalam implementasi kekinian, konsep modal sosial menjadi sebuah konsep yang diterima secara umum oleh ilmuan sosial dari berbagai disiplin ilmu. Konsep ini kemudian berkembang dengan pesatnya dan menjadi perhatian banyak pihak. Modal sosial bahkan dengan dahsyatnya dianggap sangat berperan dalam pembangunan ekonomi. Selain diterima oleh berbagai kalangan, modal sosial juga menjadi bahan perdebatan antara ilmuan sosiologi, antropologi, politik dan juga ekonomi (Widodo 2008). 

Selanjutnya dalam debat tersebut Slamet Widodo menemukan bahwa modal sosial memiliki keunikan yaitu relational. Modal ekonomi terdapat pada rekening bank seseorang, modal manusia terdapat pada otaknya dan modal sosial berada pada struktur hubungan antar individu. Untuk mendapatkan modal sosial, seseorang harus berhubungan dengan orang lain dimana diantaranya saling mendapatkan manfaat (Portes dalam Narayan 1999; Dasgupta 1997). 

Sebagai sebuah bagian dari struktur sosial dimana individu berada, modal sosial bukan merupakan hak milik salah satu individu pun dalam struktur sosial, walaupun tiap-tiap individu mendapatkan kesempatan menikmati keuntungan atas kapital sosial yang ada (Coleman dalam Narayan 1999). Modal sosial hanya akan bermanfaat apabila didistribusikan antar individu dalam suatu struktur sosial. Modal sosial merupakan bagian dari struktur sosial yang mempunyai sifat “barang milik umum”. Terdapat beragam pendekatan untuk memahami modal sosial. Sebagai contoh, Coleman mendefinisikan modal sosial sebagai bentuk tanggungjawab dan harapan; norma sosial dan saluran informasi. Selain itu modal sosial juga dapat ditelaah menggunakan dimensi kognitif dan struktural. Modal sosial dapat diwujudkan dalam bentuk yang sangat kompleks dan sering kali berupa fenomena abstrak seperti kepercayaan, nilai, norma kerjasama, jaringan formal maupun informal, lembaga yang efektif dan stabil serta kohesi sosial (Widodo 2008). 

Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Berkelanjutan 
Pengembangan masyarakat hanya efektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan beradab, manakala masyarakat secara nyata telah berpartisipasi. Masyarakat akan berpartisipasi apabila mereka berdaya untuk melaksanakannya. Masyarakat hanya akan berdaya dalam berpartisipasi apabila didukung oleh manusia-manusia atau individu masyarakat yang mandiri (autonomous). Penyuluhan merupakan pilar utama dalam mengembangkan kemandirian individu masyarakat tersebut secara partisipatif, adil dan bermartabat (Sumardjo 1999; 2000). 

Partisipasi merupakan komponen penting dalam pengembangan kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig & Mayo 1995; Hikmat 2004). Partisipasi masyarakat merupakan jaminan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pemberdayaan menyebabkannya dapat lebih mampu secara proporsional memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Semakin tinggi wawasan, keterampilan seseorang semakin termotivasi untuk semakin berpartisipasi dalam pembangunan. 

Pemberdayaan masyarakat adalah proses mengembangkan partisipasi aktif masyarakat dan dengan intervensi pihak luar yang minimal, baik dalam mengidentifikasi kebutuhan, mengidentifikasi pilihan strategis, keputusan atau tindakan, memobilisasi sumber-sumber, maupun menggerakkan tindakan untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya. Intervensi pihak luar yang berlebihan dan tidak proporsional hanya akan menyebabkan ketidakberdayaan pada masyarakat, karena tidak terjadi proses pembelajaran diri atau proses pemberdayaan pada masyarakat itu sendiri. 

Di era otonomi daerah pasca reformasi di Indonesia, sudah saatnya penyuluhan di Indonesia kembali pada filosofi penyuluhan yang sebenarnya, yaitu mengembangkan partisipasi rakyat dalam pembangunan atas dasar manfaat yang akan diperoleh dan bukan atas dasar sekedar kerelaan berkorban. Prinsip pembangunan yang partisipatif menempatkan rakyat harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan. Inisiatif dan kreatifitas rakyat ditempatkan sebagai sumber daya pembangunan yang paling utama. 

Partisipasi mengandung konotasi yang berbeda-beda untuk berbagai orang, sebagaimana terumus dalam pokok-pokok berikut (Ban & Hawkins 1996): 

  1. Sikap kerjasama petani dalam aktivitas perencanaan dan pelaksanaan program. 
  2. Pengorganisasian kegiatan-kegiatan penyuluhan oleh kelompok masyarakat (petani) dan memberi masukan kepada penyuluh, peneliti dan pihak-pihak terkait 
  3. Menyediakan informasi yang diperlukan untuk merencanakan program penyuluhan yang efektif. 
  4. Aktif terlibat dalam pengambilan keputusan dalam organisasi jasa penyuluhan, mengenai tujuan, substansi dan metode, serta dalam evaluasi kegiatan. 
  5. Membiayai sebagian atau seluruh kegiatan yang dibutuhkan jasa penyuluhan. 
  6. Supervisi agen penyuluhan oleh anggota dewan pelaku utama (subyek pembangunan/ petani) yang mempekerjakannya. 
Menurut Ban dan Hawkins dalam penyuluhan oleh PNS lebih memusatkan makna ke empat, yaitu partisipasi pelaku utama dalam pengambilan keputusan, tetapi tetap memperhatikan tafsiran kedua dan ketiga. Partisipasi menurut tafsiran keempat dan kelima terkait dengan keterlibatan penyuluh Swadaya dan Penyuluh Swasta. 

Ada beberapa alasan mengapa petani mesti berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan program penyuluhan (Ban & Hawkins 1996): 

  1. Mereka memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan, serta pengalaman mereka dengan teknologi dan penyuluhan, maupun struktur sosial masyarakat mereka. 
  2. Mereka akan termotivasi untuk bekerjasama dalam program penyuluhan jika ikut bertanggungjawab di dalamnya. 
  3. Masyarakat yang demokratis pada umumnya menerima bahwa rakyat berhak telibat dalam pengambilan keputusan mengenai tujuan/ manfaat yang ingin mereka raih. 
  4. Banyak masalah-masalah pembangunan yang bersifat kompleks dan tidak mungkin lagi dipecahkan dengan pengambilan keputusan secara perorangan, misalnya pengendalian erosi/banjir, keberlanjutan sistem usahatani, pengelolaan kegiatan komersial dalam usaha pertanian dan sebagainya. 
Partisipasi memungkinkan perubahan-perubahan yang lebih besar dalam cara berpikir manusia. Perubahan-perubahan melalui proses partisipasi lebih memberikan makna dan manfaat bagi pemenuhan kebutuhan rakyat (masyarakat) sebagai subyek pembangunan atau subyek pengembangan masyarakat. Partisipasi di dalam perencanaan, penerapan/pelaksanaan, dan pengevaluasian program, serta pemanfaatan hasil program pembangunan memang diperlukan, karena akan meningkatkan motivasinya untuk bekerjasama dan menambah kesempatan untuk pengambilan keputusan kolektif. Partisipasi itu juga meningkatkan kekuatan masyarakat memperbaiki nasibnya sendiri. Partisipasi semacam itu tidak akan dapat dicapai dengan gaya kepemimpinan otoriter atau pendekatan pembangunan top down. 

Prinsip-prinsip yang penting dalam pembangunan masyarakat antara lain: 1) keterpaduan pembangunan aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, dan pribadi/ spiritual; 2) mengatasi ketidakberdayaan struktural; 3) menjunjung hak asasi manusia; 4) keberlanjutan; 5) pemberdayaan; 6) kaitan masalah individual dan politik; 7) kepemilikan oleh komunitas; 8) kemandirian; 9) ketidaktergantungan pada pihak lain termasuk pemerintah; 10) keterkaitan jangka pendek dan menengah; 11) pembangunan yang bersifat organik dan bukan mekanistik; 12) kecepatan pembangunan ditentukan sendiri oleh masyarakat; 13) pengalaman pihak luar diadaptasi sesuai kondisi lokal; 14) proses sama pentingnya dengan hasil pembangunan; dan 15) prinsip lainnya seperti proses tanpa paksaan, partisipatif, inklusif, koperatif, serta pengambilan keputusan secara demokratis, dialogis dan berdasarkan konsensus. 

Pentingnya Mengembangkan Energi Sosial Budaya Kreatif 
Kegiatan memberdayakan masyarakat berlangsung baik apabila ditempuh dengan mengembangkan potensi energi sosial kreatif ini. Pendekatan yang ditempuh dengan membuka wawasan para tokoh dan masyarakat pada umumnya melalui komunikasi dan penyebaran informasi tentang ide pemecahan masalah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Energi sosial budaya kreatif meliputi tiga komponen utama, yaitu: ideals, ideas, dan friendship (Sumardjo 1992). 

Terbukanya wawasan melalui proses komunikasi tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan ideals suatu kondisi yang diidealkan dan menjadi kebutuhan masyarakat untuk mewujudkannya. Ideals ini dapat menumbuhkan sikap positif terhadap upaya meningkatkan taraf dan kualitas kehidupan masyarakat, serta sikap positif ini dapat menumbuhkan motivasi intrinsik yang sangat kuat. Motivasi intrinsik ini mendorong upaya terwujudnya harapan atau ideals yang telah terbentuk dalam masyarakat. 

Terbukanya wawasan akan menumbuhkan inspirasi tentang ideas, yaitu gagasan bagaimana mewujudkan ide tersebut. Kejelasan harapan dan cara mewujudkan harapan tersebut, mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi solidaritas atau friendship untuk secara sinergis terjadi kerjasama diantara warga masyarakat. Menurut Margono Slamet (Sumardjo 2008), prasyarat untuk terjadinya partisipasi meliputi tiga aspek, yaitu: adanya kesempatan, kemauan dan kemampuan. 

Masyarakat akan berpartisipasi dalam upaya bersama mewujudkan harapan bersama tersebut apabila terkondisi adanya prasyarat untuk terjadinya partisipasi berikut: 

  1. Adanya kesempatan, yaitu adanya kesadaran masyarakat tetang peluang untuk dapat berpartisipasi. Kesadaran bahwa harapan yang terbangun juga perlu dicapai, karena bila harapan tersebut tercapai masyarakat merasakan manfaat yang besar. 
  2. Adanya kemauan, yaitu keinginan atau sikap positif terhadap harapan (ideals) dan terwujudnya harapan itu, sehingga sikap ini akan mendorong tindakan masyarakat untuk mewujudkan harapan bersama tersebut. 
  3. Kemampuan, yaitu adanya kesadaran masyarakat bahwa dirinya merasa memiliki kemampuan untuk meraih kesempatan, serta dengan kemauan yang kuat untuk mewujudkan harapan tersebut. Kemampuan itu antara lain ditandai dengan kepemilikan keterampilan, tenaga, pikiran, dana dan materi untuk dapat berpartisipasi mewujudkan harapan masyarakat bersama. 
Penyuluhan, pendampingan, fasilitator pemberdayaan, advokasi atau apapun bentuknya, disarankan mengenali potensi energi sosial ini, dan mengembangkannya. Dengan demikian suatu program pembangunan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, didukung secara moral oleh masyarakat dan dilaksanakan oleh masyarakat, serta memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Program-program pembangunan seperti itulah yang cenderung mendapat partisipasi masyarakat yang tinggi dan berdampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

Persoalannya adalah bagaimana gagasan mengenai kesejahteraan bersama itu masih melembaga dalam masyarakat. Dalam beberapa kasus sering ditemukan kesenjangan antara gagasan dengan realitas. Dengan semakin terbukanya desa, kadar solidaritas sosial lokal juga semakin menipis. Namun, diantara kondisi seperti itu, perlu digali adanya solidaritas sosial yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kesenjangan antara gagasan dengan realitas, sehingga dapat terjembatani ide-ide (ideas) kemakmuran bersama diantara warga masyarakat, sehingga menjadi persepsi bersama dan menjadi suatu idealisme bersama (ideals). Apabila di dalam masyarakat telah ada sesuatu kondisi yang diidealkan, maka besar peluang untuk mengembangkan solidaritas sosial dan kerjasama diantara masyarakat (friendships), untuk mewujudkan suatu kondisi idaman bersama tadi. 

KESIMPULAN 
Dalam menyongsong era globalisasi dan era lepas landas, setiap bangsa memerlukan SDM yang memiliki keunggulan prima: manusia yang memiliki kualitas tinggi yaitu di samping menguasai iptek juga harus memiliki sikap mental dan soft skill sesuai dengan kompetensinya. Modal sosial yang besar harus dapat diubah menjadi suatu aset yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Upaya peningkatan kapasitas modal sosial dan kualitas pendamping pengembangan masyarakat berkelanjutan perlu dilaksanakan secara spesifik lokasi dan mengedepankan aspek pengembangan energi sosial budaya alam. 

Modal sosial dan pengetahuan lokal merupakan aspek kunci dalam pengembangan masyarakat dan dalam pembangunan yang partisipatif dan berkelanjutan. Penyuluh atau fasilitator pemberdaya masyarakat adalah salah satu aktor kunci komunikasi pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat secara partisipatif dan berkelanjutan tersebut. Partisipasi merupakan komponen penting dalam pengembangan kemandirian dan proses pemberdayaan. Partisipasi masyarakat merupakan jaminan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pemberdayaan menyebabkannya lebih mampu secara proporsional memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Semakin tinggi wawasan, ketrampilan seseorang, maka semakin termotivasi untuk semakin berpartisipasi dalam pembangunan. 

DAFTAR PUSTAKA 
Ban VDAW, Hawkins HS. 1996. Agricultural Extension (second edition). Blackwell Science, Osney Mead, Oxford OX2 OEL. 

Coleman J. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology Supplement 94: S95-S120. 

Craig G, Mayo (ed.) 1995. Community Empowerment: A Reader in Participation and Development. Zed Books. London. 

Dasgupta P. 1997. Social Capital and Economic Performance. Washinton DC: The World Bank. 

Ghosh PK. 1984. Third World Development: A Basic Needs Aproach. Westport: Greenwood Press. 

Hikmat H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora. 

Narayan D. 1999. Bonds and Bridges; Social Capital and Poverty. Washinton DC: World Bank. 

Putnam RD. 1995. Bowling alone: America's declining social capital. Journal of Democracy Vol. 6 (1995) 1, 64-78. 

Sumardjo. 1992. Pembangunan dan Kemiskinan di Timor Tengah Selatan. Dalam Sayogyo (penyunting) “Pembangunan dan Kemiskinan di Propinsi Nusa Tenggara Timar”. Yogyakarta: Gama Press. 

___________. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 

___________. 2000. Mencari Bentuk Pengembangan Sumberdaya Manusia Mandiri dalam Pertanian Berbudaya Industri di Era Globalisasi. Hasil Penelitian Hibah Bersaing Kerjasama IPB dengan Dirjen Dikti Depdiknas RI. Bogor. 

___________. 2006. Kompetensi Penyuluh. Makalah disampaikan dalam rapat koordinasi Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional, Batam. 

___________. 2007. Metoda Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Magister Profesional Pengembangan Masyarakat, Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 

___________. 2008. Penyuluhan Pembangunan sebagai Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat. Dalam Sudrajat dan Yustina “Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat”. Sydex Plus. Bogor. 

___________. 2009. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Agribisnis. Makalah dalam Kuliah Umum Di Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang. Banten. 

Todaro PM, Stephen. 2009. Economic Development. Tenth Edition. New York: Pearson, Addison Wesley. 

UNDP. 2003. Human Development Report, 2003: Mellenium Development Goals: A Compact among Nations to End Human Poverty. New York: Oxford University Press. 

Widodo S. 2008. Kelembagaan Kapital Sosial dan Pembangunan. [terhubung berkala]. http://learning-of.slametwidodo.com/2008/02/01/kelembagaan-kapital-sosial-dan-pembangunan/ 

Ditulis Oleh : Unknown // 6:32 PM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment