Thursday, June 27, 2013

PENINGKATAN KUALITAS PENDAMPING PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Peningkatan Kualitas Pendamping/Fasilitator Pemberdaya Masyarakat 
Agar lembaga penyuluhan atau komunikasi pembangunan berhasil, setidaknya ada empat kondisi yang dibutuhkan dan perlu dikembangkan dalam organisasi penyuluhan tersebut, yaitu: 1) Kejelasan misi; 2) Kejelasan Standar kompetensi profesi penyuluh/fasilitator pemberdaya/pendamping; 3) Aktualisasi informasi/inovasi; dan 4) Penghayatan atas budaya organisasi penyuluhan/ pemberdaya masyarakat. Kejelasan misi yang dihayati bersama seluruh personil merupakan prasyarat bagi keberhasilan organisasi profesi pemberdaya masyarakat. Mengingat penyuluh/fasilitator pemberdaya adalah penentu keberhasilan organisasi penyuluhan, maka pengembangan aspek kompetensi penyuluh perlu menjadi perhatian organisasi penyuluhan/pemberdaya masyarakat dalam mengemban misi dan tugas-tugasnya, agar aktivitas dan program dapat lebih difokuskan pada pengembangan kompetensi warga masyarakat terkait yang sesuai dengan perkembangan tuntutan kebutuhan lingkungan. Penyuluh/fasilitator pemberdaya memiliki kebebasan atau otonomi untuk menentukan seberapa baik untuk mencapai visi dan mengemban misi penyuluhan/pemberdayaan masyarakat, sehingga penyuluh perlu diberi kesempatan untuk akses informasi dan inovasi seluas-luasnya, sehingga dapat berkreasi secara kompeten. Di India, Cyber Extension merupakan salah satu solusi yang terbaik untuk itu. 

Mengingat penyuluh/pemberdaya masyarakat sebagai pelaku utama dalam komunikasi pembangunan harus mampu beradaptasi dengan lingkungan wilayah kerjanya, maka budaya organisasi yang jelas perlu dikembangkan, misalnya menjunjung nilai (value) berkomunikasi secara asertif, dialogis dan konvergen; mengemban tugasnya secara seimbang, adil dan beradab; berpikir/berorientasi global dalam mengelola sumber daya lokal; hari esok harus lebih baik dari hari ini, dan sebagainya. 

Organisasi penyuluhan/pemberdayaan masyarakat yang berkiprah di dunia yang semakin modern tidak terhindar dari dituntutan kebutuhan untuk mengembangkan kompetensi para penyuluh sesuai dengan perkembangan tuntutan kebutuhan sasaran penyuluhan/komunikasi pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan penetapan standar kompetensi bagi seorang penyuluh, agar kinerja penyuluhan dapat diprediksikan arah, dijamin kompetensi dan kinerjanya. 

Kompeten diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan (standar). Kebutuhan kompetensi bagi penyuluh/pemberdaya setidaknya disusun berdasarkan dua hal, yaitu: 1) kebutuhan pembangunan masyarakat, dan 2) kebutuhan kompetensi berdasarkan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) penyuluh/fasilitator pemberdaya masyarakat. 

Standar Kompetensi Pendamping/Fasilitator Pemberdaya Masyarakat 
Apa yang dimaksud standar kompetensi, standarisasi kompetensi dan sertifikasi kompetensi ? Standar kompetensi adalah rumusan kemampuan yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan atau keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas atau syarat jabatan. Dengan dikuasainya kompetensi tersebut oleh seseorang, maka yang bersangkutan akan mampu: 1) mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan dengan terampil (baik); 2) mengorganisasikannya agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar (cermat); 3) memahami apa yang harus dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana semula; dan 4) memahami bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda. 

Standardisasi kompetensi adalah proses merumuskan, menetapkan dan memberlakukan, menerapkan dan meninjau kembali standar kompetensi. Sertifikat kompetensi adalah jaminan tertulis atas penguasaan kompetensi pada bidang dan jenjang profesi tertentu yang diberikan oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah diakreditasi. Mengapa standarisasi kompetensi dibutuhkan ? 

Manfaat kejelasan standar kompetensi ini adalah untuk institusi pendidikan dan pelatihan adalah: 1) Memberikan informasi untuk pengembangan program dan kurikulum; 2) Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelatihan penilaian, dan sertifikasi. Kemudian, bagi dunia usaha/industri dan penggunaan tenaga kerja hal ini bermanfaat untuk: 1) Membantu dalam rekruitmen tenaga kerja; 2) Membantu penilaian unjuk kerja; 3) Dipakai untuk membuat uraian jabatan; dan 4) Untuk mengembangkan program pelatihan yang spesifik berdasarkan kebutuhan dunia usaha/industri/pertanian. Di lain pihak standar kompetensi bermanfaat Untuk institusi penyelenggara pengujian dan sertifikasi, yaitu: 1) Sebagai acuan dalam merumuskan paket-paket program sertifikasi sesuai dengan kualifikasi dan levelnya; dan 2) Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelatihan penilaian dan sertifikasi 

Kapan seorang penyuluh/pemberdaya masyarakat sebagai komunikator pembangunan dapat dikatagorikan sebagai penyuluh yang kompeten? Sesorang dikatakan sebagai Penyuluh yang kompeten apabila seseorang yang mampu (Sumardjo 2006): 1) mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan penyuluhan dengan terampil untuk memberdayakan orang-orang dalam upaya meraih kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya; 2) mengorganisasikan sistem penyuluhan sehingga efektif memfasilitasi masyarakat dengan cermat agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri; 3) melakukan tindakan yang tepat bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana penyuluhan semula; 4) bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugasnya sebagai penyuluh meski dengan kondisi yang berbeda (local specific); dan 5) mampu mensinergikan kepentingan lokal dengan kepentingan yang lebih luas. 

Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pendamping/Fasilitator Pemberdaya Masyarakat Pelaku Utama Komunikasi Pembangunan 
Pengukuran kompetensi penyuluh/fasilitator pemberdaya masyarakat dapat dilihat dari dimensi-dimensi perilaku (behavior), seperti kognitif, afektif dan psikomotorik atau konatif. Hasil dari implementasi kompetensi penyuluh/fasilitator pemberdaya masyarakat tersebut merupakan kinerja (performance) penyuluh. Pengukuran kompetensi bisa ditempuh dengan empat pendekatan, yaitu: 1) mengamati langsung (observasi) perilaku penyuluh; 2) wawancara terhadap menyuluh atas apa yang telah dilakukannya; 3) mewawancarai pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan tugas penyuluhan/pemberdayaan masyarakat yang mengetahui dengan baik sepak-terjang penyuluh/fasilitator pemberdaya dalam bertugas; dan 4) Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak-pihak terkait dengan pelaksanaan tugas penyuluh pada yang bersangkutan, misalnya atasan, kolega/teman sejawat, petani (pelaku utama), dan pengusaha (pelaku usaha). Sedang pengukuran kinerja, dapat dilakukan melalui pengamatan hasil kerja penyuluh/fasilitator pemberdaya terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsinya. 

Penyuluh atau pendamping atau fasilitator pemberdaya masyarakat pada dasarnya adalah salah satu pelaku utama komunikasi pembangunan. Beberapa penelitian disertasi di beberapa tempat menunjukkan bahwa kompetensi penyuluh pada dekade awal abad 21 terkait dengan tuntutan pembangunan saat itu, dinilai masih rendah. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian (disertasi) Jelamu Ardu Marius (2007) di Nusa Tenggara Timur, Bambang Gatut (2008) di Jawa Barat, serta hasil penelitian behavioral penyuluh lainnya yaitu Herman Subagio (2008) tentang kapasitas petani di Jawa Timur (dalam Sumardjo 2008). 

Rendahnya kompetensi penyuluh sebagai pelaku utama komunikasi pembangunan ini dikarenakan beberapa hal berikut: 
  1. Sejalan dengan implementasi otonomi daerah terjadi melemahnya komitmen pemerintah terhadap penyuluhan. Pada beberapa Pemerintah Daerah kurang memiliki komitmen dukungan terhadap eksistensi dan pengembangan penyuluhan, sehingga kurang menstimulan terjadinya upaya pengembangan kompetensi para penyuluh. 
  2. Kurang dukungan keberlanjutan pengembangan inovasi dari lembaga pelatihan bagi penyuluh yang disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan keterbatasan keinovatifan materi yang dibawakan oleh fasilitator dalam lembaga pelatihan bersangkutan yang terkait dengan kebutuhan pengembangan usahatani petani. 
  3. Kurangnya dukungan inovasi berkelanjutan bagi penyuluh yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pengembangan usahatani dan pemenuhan kebutuhan petani setempat pada saat itu. 
  4. Perubahan paradigma pembangunan dari top down ke partisipatif, yang kurang disertai upaya pemberdayaan penyuluh secara memadai ke arah yang sejalan dengan perubahan paradigma tersebut. 
  5. Terdapat upaya peningkatan pendidikan formal pada penyuluh namun diduga kuat banyak di antaranya ditempuh melalui proses pembelajaran yang kurang bermutu terkait dengan peningkatan kualitas penyuluhan, karena terjebak pada tuntutan formalitas untuk penyesuaian ijazah dengan tingkatan jabatan fungsional penyuluh. 
  6. Kurang jelasnya hubungan antara kompetensi penyuluh dengan perkembangan jenjang karir dan insentif bagi perkembangan kompetensi penyuluh. 
  7. Belum adanya standar kompetensi bagi penyuluh, sehingga menjadi lemah dalam pengembangan kompetensi secara sistematis oleh pihak terkait, maupun dalam rekruitmen tenaga penyuluhan. 
DAFTAR PUSTAKA 
Ban VDAW, Hawkins HS. 1996. Agricultural Extension (second edition). Blackwell Science, Osney Mead, Oxford OX2 OEL. 

Coleman J. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology Supplement 94: S95-S120. 

Craig G, Mayo (ed.) 1995. Community Empowerment: A Reader in Participation and Development. Zed Books. London. 

Dasgupta P. 1997. Social Capital and Economic Performance. Washinton DC: The World Bank. 

Ghosh PK. 1984. Third World Development: A Basic Needs Aproach. Westport: Greenwood Press. 

Hikmat H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora. 

Narayan D. 1999. Bonds and Bridges; Social Capital and Poverty. Washinton DC: World Bank. 

Putnam RD. 1995. Bowling alone: America's declining social capital. Journal of Democracy Vol. 6 (1995) 1, 64-78. 

Sumardjo. 1992. Pembangunan dan Kemiskinan di Timor Tengah Selatan. Dalam Sayogyo (penyunting) “Pembangunan dan Kemiskinan di Propinsi Nusa Tenggara Timar”. Yogyakarta: Gama Press. 

___________. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 

___________. 2000. Mencari Bentuk Pengembangan Sumberdaya Manusia Mandiri dalam Pertanian Berbudaya Industri di Era Globalisasi. Hasil Penelitian Hibah Bersaing Kerjasama IPB dengan Dirjen Dikti Depdiknas RI. Bogor. 

___________. 2006. Kompetensi Penyuluh. Makalah disampaikan dalam rapat koordinasi Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional, Batam. 

___________. 2007. Metoda Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Magister Profesional Pengembangan Masyarakat, Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 

___________. 2008. Penyuluhan Pembangunan sebagai Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat. Dalam Sudrajat dan Yustina “Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat”. Sydex Plus. Bogor. 

___________. 2009. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Agribisnis. Makalah dalam Kuliah Umum Di Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang. Banten. 

Todaro PM, Stephen. 2009. Economic Development. Tenth Edition. New York: Pearson, Addison Wesley. 

UNDP. 2003. Human Development Report, 2003: Mellenium Development Goals: A Compact among Nations to End Human Poverty. New York: Oxford University Press. 

Widodo S. 2008. Kelembagaan Kapital Sosial dan Pembangunan. [terhubung berkala]. http://learning-of.slametwidodo.com/2008/02/01/kelembagaan-kapital-sosial-dan-pembangunan/ 

Ditulis Oleh : Unknown // 6:28 PM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment