Thursday, June 13, 2013

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILU

BEBERAPA CATATAN ATAS KEBERLAKUAN UU NO. 8 TAHUN 2012 

TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD 

Titi Anggraini dan August Mellaz 

PENDAHULUAN 
Sistem keadilan pemilu merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Sistem keadilan pemilu dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi ketidakberesan pada pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi ketidakberesan tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran. Sebagai salah satu prasyarat dalam mencapai keadilan pemilu tersebut adalah melalui penyusunan kerangka hukum harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak bermakna ganda, dapat dipahami dan terbuka, dan harus dapat menyoroti semua unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis.

Perludem meyakini, bahwa dalam konteks itulah (salah satunya), latar belakang mengapa DPR RI menganggap perlu untuk melakukan perubahan atas pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Pemilu yang lama. Dimana melalui Surat Nomor: LG.01/6504/DPRRI/VII/2011 tanggal 25 Juli 2011, DPR RI menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (lebih dikenal sebagai RUU Pemilu) kepada Presiden. Selanjutnya pada 10 Agustus 2011, Presiden menunjuk Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM untuk mewakili Pemerintah membahas RUU tersebut. Berikutnya, DPR RI lalu memberi tugas kepada Panitia Khusus (Pansus) Pemilu DPR RI untuk memproses pembahasan RUU Pemilu tersebut. 

Dalam perkembangannya ternyata terjadi perubahan-perubahan yang sangat signifikan. Pansus UU Pemilu mencatat terjadi perubahan lebih dari 50% dari substansi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU no. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sehingga RUU Pemilu lebih baik dicabut dan disusun dalam bentuk undang-undang baru yang merupakan “RUU Penggantian”.[3] Akhirnya, pada tanggal 12 April 2012, dalam Rapat Paripurna DPR RI, RUU Penggantian tersebut secara resmi disahkan menjadi undang-undang. Undang-Undang itu setelah ditandatangani Presiden pada 11 Mei 2012 kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 

Tulisan ini akan mengulas tentang pokok-pokok perubahan pengaturan pemilu yang terdapat dalam UU No. 8 Tahun 2012, hal apa saja yang baru, kemajuan apa saja yang ditawarkan, serta beberapa hal yang menjadi tantangan dan perlu mendapatkan perhatian di masa mendatang dalam mempersiapkan penyelenggaraan pemilu Indonesia berikutnya. Harapannya tulisan ini dapat mempermudah dalam membaca pengaturan UU Pemilu yang baru ini serta memberikan analisis dan gambaran singkat tentang peluang dan tantangannya kedepan. 

POKOK-POKOK PERUBAHAN 
Dalam laporannya kepada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 April 2012, Pansus Pemilu menyebutkan terdapat beberapa perubahan, penyesuaian, dan penambahan substansi yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu yang baru tersebut, antara lain meliputi:[4]

1. Tahapan Pemilu. Penyelenggaraan tahapan pemilu ditambah satu tahapan baru yang tidak termasuk tahapan pemilu dalam UU Pemilu sebelumnya, yaitu tahapan perencanaan program dan anggaran, serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu. Pansus Pemilu beralasan perlunya dimasukannya tahapan tersebut dinilai sangat penting menjadi suatu tahapan tersendiri guna menciptakan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemilu. Selain itu terkait jangka waktu dimulainya tahapan pemilu diatur bahwa tahapan pemilu dimulai sekurang-kurangnya 22 bulan sebelum hari pemungutan suara. Waktu ini lebih panjang dan dianggap akan lebih memadai bagi KPU dalam mempersiapkan seluruh teknis penyelenggaraan pemilu 2014 
Sistem Pemilu. Tidak ada perubahan sistem pemilu dalam UU Pemilu baru ini. Sistem Pemilu yang dipilih tetap sistem proporsional terbuka untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota (dengan suara terbanyak)[5]; dan sistem distrik berwakil banyak (Single Non-Transferable Vote System) untuk memilih anggota DPD. 

3. Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu. Terkait dengan persyaratan mengikuti pemilu, diubah susunannya menjadi: bagi partai Politik Peserta Pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. Ketentuan ini menegaskan bahwa partai yang mencapai angka parliamentary threshold (ambang batas) 2,5% pada pemilu 2009 langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu 2014 dengan alasan partai politik tersebut sudah membuktikan memperoleh dukungan rakyat. Pansus Pemilu menganggap ambang batas merupakan legal policy pembuat undang-undang dalam rangka mencapai tujuan negara.[6]

Sedangkan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan yang lebih berat dari UU Pemilu sebelumnya. Persyaratan tersebut antara lain: berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; memiliki kepengurusan di 75% (jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; dan menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU (Pasal 8 ayat (2)). 

Selain itu, dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini diatur bahwa pendaftaran dan verifikasi partai politik dilakukan 20 bulan sebelum hari pemungutan suara dan selesai dalam kurun waktu 5 bulan. Sehingga untuk pemilu 2014 diharapkan pada awal tahun 2013 sudah diketahui partai politik peserta pemilu. 

4. Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan. Meskipun melalui proses pembahasan yang alot di Pansus Pemilu dan berulang kali menjadi materi lobi antarfraksi, namun akhirnya pengaturan jumlah kursi dan daerah pemilihan untuk DPR RI tidak berubah dibandingankan pemilu 2009 lalu. Jumlah kursi anggota DPR tetap 560 kursi dan Jumlah kursi setiap daerah pemilihan paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. Demikian juga dengan jumlah kursi untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 

Jumlah kursi DPRD provinsi paling sedikit 35 dan paling banyak 100 (didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan sejumlah ketentuan yang disyaratkan dalam Undang-Undang). Sedangkan Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota paling sedikit 20 dan paling banyak 50 (didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan sejumlah ketentuan yang disyaratkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012). Sedangkan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah sama, yaitu paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 12 kursi. 

5. Penyusunan Daftar Pemilih. Terkait penyediaan data kependudukan, dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini disepakati terdapat 3 bentuk yaitu (a) data agregat kependudukan per kecamatan sebagai bahan bagi KPU dalam menyusun daerah pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota; (b) Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu sebagai bahan bagi KPU dalam menyusun daftar pemilih sementara; dan (c) data Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri sebagai bahan bagi KPU dalam penyusunan daerah pemilihan dan daftar pemilih sementara. Data kependudukan harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 16 bulan sebelum hari pemungutan suara. Selanjutnya data tersebut disinkronisasikan oleh Pemerintah bersama KPU dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterimanya data kependudukan dari Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri. 

Tahapan berikutnya adalah Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) wajib dimutakhirkan oleh KPU menjadi data Pemilih dengan memperhatikan data Pemilih pada Pemilu dan/atau pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang terakhir. Proses pemutakhiran data pemilih harus diselesaikan paling lama 4 bulan setelah diterimanya DP4. Selain itu, dalam UU Pemilu baru ini terdapat pengaturan baru, dimana apabila terdapat warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih namun tidak memiliki identitas kependudukan dan/atau tidak terdaftar dalam daftar pemilih sementara, daftar pemilih sementara hasil perbaikan, daftar pemilih tetap, atau daftar pemilih tambahan; KPU Provinsi tetap melakukan pendaftaran dan memasukkannya ke dalam daftar pemilih khusus (Pasal 40 ayat (5)). 

6. Pencalonan. Pasal pencalonan tidak banyak berubah, hanya saja terdapat penambahan ketentuan yaitu kewajiban mengundurkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah yang ingin maju sebagai calon anggota DPR, DPD, atau DPRD. Selain itu, ketentuan tentang keterwakilan perempuan masih menggunakan ketentuan lama pada UU No. 10 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota disusun berdasarkan nomor urut. Daftar calon memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan; yang mana dalam daftar bakal calon tersebut, setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon. 

Namun terkait keterwakilan perempuan ini, dalam UU No. 8 Tahun 2012 terdapat penambahan pengaturan pada penjelasan Pasal 56 ayat (2) yang menyebutkan: Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya. Ketentuan ini dianggap sebagai penguatan dan penegasan bahwa calon perempuan tidak selalu harus ditempatkan pada nomor buncit (ketentuan ini seakan menegaskan tentang signifikannya peran nomor urut dalam sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak sekalipun). 

Selain itu, proses pengajuan nama bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam UU Pemilu baru ini diatur lebih panjang prosesnya, yaitu dilaksanakan 12 bulan sebelum hari pemungutan suara (Pasal 57 ayat (2)). 

7. Kampanye. UU No. 8 Tahun 2012 memberikan pengaturan yang tegas bahwa kampanye melalui media massa cetak dan media massa elektronik dikategorikan sebagai “iklan kampanye”, yang mana pelaksanaannya sama dengan kampanye dalam bentuk rapat umum, yaitu dilakukan (hanya) selama 21 hari dan berakhir sampai dengan dimulainya masa tenang (3 hari sebelum hari pemungutan suara). Periode waktu kampanye dalam UU baru ini tidak berubah, tetap berlangsung setelah 3 hari setelah penetapan peserta pemilu dan berakhir 3 hari sebelum hari-H pemungutan suara (kurang lebih selama 9 bulan). 

8. Dana Kampanye. Terkait pengaturan dana kampanye, terdapat penaikan jumlah batasan sumbangan dana kampanye yang signifikan dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini. Jika sebelumnya dalam UU No. 10 Tahun 2008 diatur dana kampanye pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah tidak boleh lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar), dalam UU baru ini batasannya dinaikan menjadi sebesar Rp7.500.000.000,00 (tujuh koma lima milyar). Sedangkan batasan sumbangan dana kampanye dari perseorangan tidak berubah, yaitu tetap tidak boleh lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar). Naiknya batasan sumbangan dana kampanye dalam UU No. 8 Tahun 2012 menurut Pansus Pemilu dikarenakan adanya konkordansi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (lihat Tabel.1 berikut). 

Sebelum disahkannya UU No. 8 Tahun 2012 ini, pada forum Rapat Kerja Pansus Pemilu dengan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Dalam Negeri, 10 April 2012, beberapa fraksi, meliputi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(FPDIP) dalam pandangan mini akhir fraksi menyampaikan pentingnya pengaturan tentang pembatasan dana/belanja kampanye baik bagi partai politik peserta pemilu maupun bagi calon anggota jika menggunakan sistem proporsional terbuka. Bahkan Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) melalui salah satu anggotanya, Totok Daryanto, mengatakan pada forum tersebut, sebagai bentuk komitmen moral FPAN dalam menjaga kompetisi yang adil antar calon dalam sistem proporsional terbuka, maka FPAN mendukung diterapkannya pembatasan belanja kampanye. 

Namun sayangnya, sampai dengan Rapat Paripurna Pengesahan UU Pemilu dilakukan, ketentuan pembatasan belanja kampanye ini menghilang begitu saja, lenyap sama sekali dari hiruk pikuk pembahasan. Sehingga dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini sama sekali tidak ada pengaturan tentang pembatasan belanja kampanye (baik bagi calon legislatif maupun bagi partai politik) meskipun sistem pemilu yang dipilih untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak. 



Tabel.2 

Perbandingan Usulan Batasan Belanja Kampanye oleh Fraksi-Fraksi[7]

Fraksi 
Belanja Calon Anggota DPR 
Belanja Calon Anggota DPRD Provinsi 
Belanja Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota 

FPDIP 
Rp500.000.000,00 
Rp300.000.000,00 
Rp250.000.000,00 

FPKS 
Rp750.000.000,00 
Rp500.000.000,00 
Rp250.000.000,00 

FPKB 
Rp500.000.000,00 
Rp250.000.000,00 
Rp150.000.000,00 

9. Pemungutan dan Penghitungan Suara. Dalam ketentuan pasal 150 UU No. 8 Tahun 2012 diatur ketentuan tentang pemilih yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap atau daftar pemilih tambahan dapat menggunakan kartu tanda penduduk atau paspor, yang mana hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hal tersebut (Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009, yang dimohonkan oleh Refly Harun dan Maheswara Prabandono pada Pemilu 2009 lalu). 

Selain itu terdapat perubahan cara pemberian suara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini. Jika sebelumnya pada Pemilu 2009, pemilih menandai dengan tanda centang, cawang atau contreng, maka untuk pemilu mendatang pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara (Pasal 154). 

10. Rekapitulasi Suara. Dalam UU Pemilu baru ini terdapat pengaturan baru dalam penyelenggaraan rekapitualsi perhitungan suara setelah di Tempat Pemungutan Suara (TPS), terkait dengan dikembalikannya fungsi Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam melakukan rekapitulasi penghitungan perolehan suara melalui UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Melalui UU No. 8 Tahun 2012 ini (dalam rangka sinkronisasi dan konkordansi dengan UU Penyelenggara Pemilihan Umum) diatur secara mendetil tugas dan kewenangannya dalam proses rekapitulasi suara di tingkat desa/kelurahan. 

11. Penetapan Hasil Pemilu, Perolehan Kursi, dan Calon Terpilih. Ada satu pengaturan baru yang sangat “kontroversial” dalam UU Pemilu baru ini, yaitu ketentuan Pasal 208 yang berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Lalu Penjelasan Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 berbunyi: yang dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional” adalah hasil penghitungan untuk suara DPR. 

Pasal ini setidaknya menyangkut 2 hal, yaitu pertama, ada kenaikan angka ambang batas pada Pemilu 2014 nanti. Jika pada Pemilu 2009 angka ambang batas ditetapkan pada angka 2,5%, maka Pemilu 2014 naik menjadi 3,5%. Kedua, jika pada Pemilu 2009 lalu ambang batas hanya diterapkan untuk Pemilu Anggota DPR, maka Pemilu 2014 angka ambang batas diberlakukan secara nasional, tidak berjenjang. 

Artinya pada Pemilu 2014, setiap partai politik peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3,5% suara sah untuk DPR RI, untuk dapat diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga, meskipun suatu partai memperoleh lebih dari 3,5% suara sah di pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, akan tetapi kalau perolehan suaranya untuk pemilu anggota DPR RI kurang dari 3,5%, maka partai tersebut secara otomatis tidak bisa ikut dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota (suaranya dianggap hangus/terbuang/wasted votes). Namun sebaliknya, jika suatu partai memperoleh suara sah lebih dari 3,5% untuk pemilu DPR RI, maka meski suaranya kurang dari 3,5% untuk pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, partai politik tersebut tetap berhak untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota karena dia dianggap telah lolos ambang batas secara nasional. 

Selain itu untuk penetapan perolehan kursi, melalui pengambilan keputusan secara voting dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 April 2012, dipilih metode kuota murni untuk menentukan perolehan kursi partai politik (habis di daerah pemilihan). Dengan ketentuan: (a) apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu sama dengan atau lebih besar dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua; namun (b) apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu lebih kecil daripada BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan; dan selanjutnya (c) penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu satu demi satu berturut-turut sampai habis, dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara terbanyak (Pasal 212. 

12. Partisipasi Masyarakat. UU No. 8 Tahun 2012 ini tidak banyak mengatur perubahan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Hanya saja dalam Pasal 247 ayat (5) disebutkan ketentuan baru bahwa khusus soal pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut merupakan tindak pidana pemilu. 

13. Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilu. UU No. 8 Tahun 2012 secara eksplisit memiliki semangat untuk memperkuat peran dan fungsi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagaimana hal serupa telah dilakukan melalui UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.[8] Pengawas Pemilu (meliputi Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri) menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. 

Terhadap waktu penyampaian laporan, terdapat perubahan pengaturan dalam UU Pemilu yang baru. Jika sebelumnya diatur bahwa laporan pelanggaran pemilu disampaikan paling lama hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu, sekarang batas waktu pelaporan tersebut diperpanjang durasinya menjadi laporan pelanggaran pemilu disampaikan paling lama 7 hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilu. Sedangkan lamanya waktu penanganan laporan pelanggaran pemilu oleh jajaran pengawas pemilu tidak mengalami perubahan, tetap sama dengan pemilu 2009 lalu, yaitu pengawas pemilu wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 hari setelah laporan diterima. Namun, dalam hal pengawas pemilu memerlukan keterangan tambahan dari pelapor, maka tindak lanjut penanganan laporan pelanggaran pemilu dilakukan paling lama 5 hari setelah laporan diterima. 

Setelah pengawas pemilu menerima dan mengkaji laporan pelanggaran yang masuk, maka pengawas pemilu akan mengkategorisasikan laporan pelanggaran tersebut menjadi beberapa klasifikasi, yaitu: 
  • Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diteruskan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pelanggaran kode etik sebelumnya tidak diatur dalam UU Pemilu yang lama. 
  • Pelanggaran administrasi pemilu diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. 
  • Sengketa pemilu diselesaikan oleh Bawaslu. Dalam UU Pemilu lama tidak diatur masalah sengketa pemilu sebagai masalah hukum yang penyelesaiannya secara spesifik menjadi otoritas Bawaslu. 
  •  Tindak pidana pemilu diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). 
Selain itu, terkait dengan masalah hukum pemilu, dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini juga dikenal adanya: (a) sengketa tata usaha negara pemilu, dan (b) perselisihan hasil pemilu 

Pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu oleh UU No. 8 Tahun 2012 diartikan sebagai pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Tata cara penyelesaian pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. 

Pengaturan dan definisi pelanggaran administrasi pemilu diatur lebih kongkrit dalam UU No. 8 Tahun 2012 dibandingkan pengaturan sebelumnya. Pelanggaran administrasi pemilu didefinisikan sebagai pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu di luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu dilakukan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota berdasarkan rekomendasi Bawaslu, paling lama 7 hari sejak diterimanya rekomendasi tersebut. 

Sedangkan sengketa pemilu dimaknai sebagai sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Penyelesaian sengketa pemilu ini disinkronkan dengan UU No. 15 Tahun 2011, yakni diselesaikan oleh Bawaslu paling lama 12 hari sejak diterimanya laporan atau temuan (Pasal 258). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa pemilu diperintahkan untuk diatur dalam Peraturan Bawaslu (Pasal 259 ayat (5)). 

Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa pemilu merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Terkait sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, bila tidak dapat diselesaikan oleh Bawaslu maka pihak yang merasa dirugikan kepentingannya dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). 

Selain itu UU No. 8 Tahun 2012 mengganti semua terminologi pelanggaran pidana pemilu yang ada dalam UU Pemilu yang lama dengan terminologi baru yang lebih konsisten, yaitu tindak pidana pemilu. Skema waktu penyelesaian tindak pidana pemilu juga diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu berikutnya. Terkait penanganan tindak pidana pemilu, UU Pemilu baru juga mengatur tentang pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) dengan tujuan untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu antara Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai Sentra Gakkumdu ini akan diatur berdasarkan kesepakatan bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu. 

14. Majelis Khusus Tindak Pidana Pemilu. Sama seperti UU Pemilu sebelumnya, terkait dengan penyelesaian tindak pidana pemilu, UU No. 8 Tahun 2012 kembali memerintahkan untuk dibentuknya Majelis Khusus di pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pemilu. Majelis Khusus tersebut terdiri atas hakim khusus yang merupakan hakim karier pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang ditetapkan secara khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu. Hakim khusus harus memenuhi syarat telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal 3 tahun, kecuali dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang masa kerjanya telah mencapai 3 tahun. Selain harus menguasai pengetahuan tentang pemilu, hakim khusus selama memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana pemilu dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain. Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus ini akan diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung (Pasal 266). 

15. Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu. UU No. 8 Tahun 2012 mengatur hal baru terkait dengan adanya ketentuan tentang sengketa tata usaha negara pemilu. Sengketa tata usaha negara pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. 

Sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbul antara: (a) KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik Peserta Pemilu; dan (b) antara KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap. 

Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilu ke PTTUN dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu telah digunakan. Selanjutnya, atas Putusan PTTUN atas sengketa tata usaha negara pemilu, hanya dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung bersifat terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Sama halnya seperti penanganan tindak piudana pemilu, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa tata usaha negara pemilu dibentuk pula Majelis Khusus yang terdiri dari hakim khusus yang merupakan hakim karier di lingkungan pengadilan tinggi tata usaha negara dan Mahkamah Agung (Pasal 270). 

16. Perselisihan Hasil Pemilu. Tidak ada terobosan maupun pengaturan baru yang substantif dalam UU No. 8 Tahun 2012 terkait dengan penananganan perselisihan hasil pemilu (diatur dalam Pasal 273). Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional, Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi. Peserta Pemilu disini tentu saja tetap merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 26 UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPD. Dengan demikian, Undang-Undang baru ini “tetap” tidak memberi peluang bagi (perseorangan) calon anggota legislatif untuk mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. 

Batasan pengajuan permohonan perselisihan hasil kepada Mahkamah Konstitusi tetap sama dengan pemilu 2009, yaitu paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional oleh KPU. Satu-satunya ketentuan baru terkait perselisihan hasil pemilu dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini hanyalah berupa pengaturan apabila pengajuan permohonan kurang lengkap, maka pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 jam sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, hanya diberikan waktu 1 x 24 jam (itupun diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, bukan dalam UU Pemilu). 

17. Ketentuan Pidana. Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 mengkategorisasi antara tindak pidana yang berupa pelanggaran dengan tindak pidana yang berupa kejahatan, beserta segala sifat yang menyertainya. Selain itu juga terdapat perubahan pengaturan ketentuan pidana, dimana dalam UU ini dilakukan penghapusan atas ketentuan pidana minimum. Penghapusan ketentuan pidana minimum ini menurut Pansus Pemilu dilakukan dalam rangka memberikan asas kepastian hukum dan memudahkan bagi hakim dalam memberikan putusan.[9]

Ditulis Oleh : Unknown // 9:44 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment