Pencampuran Polimer (Polymer Blends).
Pencampuran polimer adalah cara
yang paling sesuai untuk pengembangan material baru karena dapat menghasilkan
bahan baru yang mempunyai sifat yang unggul dibandingkan masing-masing materi
pembentuknya. Metode ini biasanya lebih murah dan hanya memerlukan waktu
singkat untuk menghasilkan bahan polimer baru dibandingkan dengan metode
polimerisasi dengan penemuan polimer baru dari monomer baru.
Sifat
suatu campuran polimer sangat ditentukan oleh kompatibilisasi komponen komponen
dalam campuran tersebut. Tujuan kompatibilisasi paduan polimer adalah untuk
mendapatkan fasa terdispersi yang stabil dan merata sehingga morfologi dan
sifat campuran yang diinginkan dapat tercapai. ( Bahruddin, dkk., 2010)
Keuntungan
lain dari pencampuran lain adalah sifat-sifat
bahan dapat disesuaikan dengan menggabungkan komponen polimer dengan cara
mengubah komposisi campuran.
Hasil penelitian
(Sitepu, I.W., 2009), pencampuran antara HDPE/MA/BPO
ditunjukkan pada tabel.2.11. Dimana reaksi grafting antara HDPE dengan MA dengan inisiator BPO
didalam alat internal mixer pada suhu
1450C dapat terjadi dan variasi konsentrasi MA yang maksimum pada HDPE
adalah sebesar 6 % dengan derajat grafting 12,38% dapat dilihat pada tabel 2.9
Tabel Data Hasil Pencampuran Polimer
Sampel
HDPE (%)
|
MA (%)
|
BPO (%)
|
Berat
Endapan (gram)
|
Volume
KOH (ml)
|
Derajat
Grafting (%)
|
95
|
3
|
2
|
0,855
|
1,3
|
3,72
|
92
|
6
|
2
|
0,910
|
4,6
|
12,38
|
89
|
9
|
2
|
0,980
|
2,1
|
5,24
|
86
|
12
|
2
|
0,963
|
2,0
|
5,08
|
83
|
15
|
2
|
0,912
|
1,8
|
4,83
|
(Sitepu, I.W., 2009)
Polietilen Grafted Maleated
Anhidride (PE- g- MA)
Penelitian mengenai Polietilena-graft-Maleat Anhidrida (PE-g-MAH) telah banyak dilakukan disebabkan aplikasinya yang sangat
luas, seperti untuk blending, compatibilizer
agent terhadap polimer polar, bahan perekat dan pada teknologi nano.
(Jayathu, dkk., 2006)
Gugus anhidrida pada PE-g-MAH memegang peranan penting dalam
meningkatkan sifat mekanik dari campuran seperti kekuatan tarik (tensile strength) dan daya pemanjangan
terakhir (ultimate elongation). Sifat
akhir dari PE-g-MAH selain tergantung
pada derajat grafting MAH, tetapi
dapat juga di tentukan oleh distribusi dari MAH
dalam rantai molekul PE. (Machado,
dkk., 2005) ditunjukkan pada gambar 2.10
Gambar 2.10. Struktur LDPE dan PE-G-MA
(Majid, R.A.,
dkk., 2010)
Polietilen
adalah salah satu dari poliolefin
yang paling banyak digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan berbagai jenis
peralatan rumah tangga dan kemasan makanan maupun minuman. Pemanfaatannya yang
sangat luas dimungkinkan karena polimer ini memiliki banyak sifat-sifat yang
bermanfaat antara lain daya tahan terhadap zat kimia dan benturan yang baik,
mudah dibentuk dan dicetak, ringan dan harganya yang murah. Akan tetapi, karena
kekristalan dan sifat hidrofobnya
yang tinggi, energi permukaanya yang rendah, serta terbatasnya situs aktif yang
ada pada permukaan PE, membatasi
pemanfaatan PE tersebut dalam beberapa
bidang aplikasinya seperti perekatan, pengecatan, dan pencetakan.
Secara umum, beberapa sifat tertentu
seperti komposisi kimia, hidrofilitas, kekasaran, kekristalan, daya hantar
listrik, daya adhesi, dan kelumasan dibutuhkan untuk pemanfaatan polimer
tersebut. Untuk meningkatkan kesesuaian sifatnya (compatibility ), salah
satu cara yang sudah dikembangkan adalah dengan memodifikasi permukaan PE agar dapat berinteraksi dengan bahan
lain sehingga memenuhi persyaratan sesuai dengan peruntukan yang diinginkan.
Salah satu metoda modifikasi yang diketahui
efektif untuk memasukkan sifat sifat yang diinginkan ke dalam PE adalah teknik grafting (tempel/cangkok). Kelebihan teknik grafting ini adalah PE
dapat difungsionalisasi berdasarkan sifat yang dimiliki oleh monomer yang
terikat secara kovalen tanpa mempengaruhi struktur dasar PE. Modifikasi suatu polimer dengan teknik grafting melibatkan pembentukan situs aktif berupa radikal bebas
atau ion terlebih dahulu pada polimer induk. (Hendri, dkk., 2007)
Setrimonium Bromida (Cetyl trimethylammonium bromide, CTAB)
CTAB
termasuk golongan surfaktan yang merupakan zat yang dapat mengaktifkan
permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka),
atau zat yang dapat menaik dan menurunkan tegangan permukaan. Berikut ini
gambar struktur kimia CTAB produksi
Jerman dan tabel sifat kimia dan fisika CTAB.
Gambar 2.11. Struktur Kimia CTAB
Tabel 2.10. Sifat Kimia dan
Fisika CTAB
Sifat Kimia
dan Fisika
|
|
Kelarutan
di dalam air
|
0.192 g/l (200C)
|
Titik
Leleh
|
250-2560C
|
Massa
Molar
|
364.45 g/mol
|
Bulk Density
|
390 kg/m3
|
Angka
pH
|
5-7 (50 g/l, H2O, 200C)
|
Dalam CTAB terjadi emulsi yaitu campuran dua larutan yang tidak saling
larut, larutan yang satu terdispersi ke larutan yang lainnya dan stabil terus
menerus. Emulsi mempunyai sifat transparan, isotropik, stabil secara
termodinamik dalam media cair. Agar emulsi stabil diperlukan stabilizer yang
disebut surfaktan (surface active agent). Surfaktan biasanya merupakan
senyawa organik yang bersifat amphiphilic, artinya mempunyai dua gugus, yang
bersifat hydrophobic atau tak suka air dan yang satunya bersifat hydrophilic
atau suka air.( Wardiyati,S., dkk., 2007). Pada pembentukan emulsi tersebut
ditambahkan surfaktan (CTAB = Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) sebagai
penstabil emulsi dan pengontrol pembentukan partikel
Analisa Termal
Analisa termal dapat didefinisikan sebagai pengukuran sifat-sifat fisik
dan kimia material sebagai fungsi dari suhu. Pada prakteknya, istilah analisa
termal seringkali digunakan untuk sifat-sifat spesifik tertentu. (Sutiani, A., 2009)
Analisis termal dalam pengertian luas
adalah pengukuran sifat kimia fisika bahan sebagai fungsi suhu (Mufty, M.,
2009). Uji termal diperlukan untuk melihat perubahan sifat termal dari bahan
komposit polimer (Deswita, dkk., 2007)
Penetapan dengan metode ini dapat
memberikan informasi pada kesempurnaan kristal, polimorfisma, titik lebur,
sublimasi, transisi kaca, dedrasi, penguapan, pirolisis, interaksi padat-padat
dan kemurnian. Data semacam ini berguna untuk karakterisasi senyawa yang
memandang kesesuaian, stabilitas, kemasan dan pengawasan kualitas. Pengukuran
dalam analisis termal meliputi suhu transisi, termogravimetri dan analisis
cemaran. (Mufty, M., 2009)
Analisa Termogravimetrik (TGA)
Thermogravimetri
adalah teknik untuk mengukur perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi
dari suhu ataupun waktu. Hasilnya biasanya berupa rekaman diagram yang kontinu;
reaksi dekomposisi satu tahap yang skematik diperlihatkan pada Gambar 2.11.
Gambar
2.12.Skema Termogram Bagi Reaksi
Dekomposisi Satu Tahap
Dalam Thermogravimetri (TGA), perubahan massa sampel diukur sebagai
fungsi temperatur. Pengukuran atau perubahan massa sampel ini diukur secara
kontinyu dengan kecepatan tetap. Hasil
pengukuran dinyatakan sebagai kurva antara berat yang hilang terhadap
temperatur yang disebut termogram.
Kurva ini dapat memberikan informasi baik kualitatif maupun kuantitatif tentang
sampel yang dianalisa. Termogram TGA memperlihatkan tahap-tahap
dekomposisi yang terjadi akibat perlakuan termal, seperti ditunjukkan Gambar 2.13.
Gambar
2.13. Termogram TGA
Pada Gambar 2.13 terlihat bahwa pada temperatur T1, bahan mengalami kehilangan berat sebesar W0
– W1. Pada temperatur T2 dan T3, sampel
mengalami pengurangan berat sebesar W1-W2 dan W2-W3.
Persentase pengurangan berat ini berkaitan dengan perubahan kimia yang
menyebabkan perubahan berat sampel. Dalam bidang polimer, analisis termogravimetri ini terutama dipakai
untuk mempelajari degradasi termal, kestabilan termal, degradasi oksidatif,
komposisi dan identifikasi polimer. (Sutiani, A., 2009)
Preparasi Sampel TGA
·
Memaksimalkan luas permukaan dari sampel
untuk meningkatkan resolusi kehilangan berat dan reprodusibilitas temperatur
·
Berat sampel : 10-20 mg untuk aplikasi
pada umumnya
50-100
mg untuk pengukuran zat-zat yang mudah menguap
·
Kebanyakan TGA memiliki baseline drift
dari 10 mg sampel
·
TGA
terdiri dari sebuah sample pan yang ditempatkan pada furnace dan dipanaskan atau didinginkan selama eksperimen
·
Massa dari sampel dipantau dan sampel
dialiri oleh suatu gas untuk mengontrol lingkungan sampel
·
Gasnya berupa gas inert atau gas reaktif
yang mengalir melalui sampel dan keluar melalui exhaust.
Differential Thermal Analysis (DTA)
Differential Thermal Analysis (DTA) adalah
suatu teknik dimana suhu dari suatu sampel dibandingkan dengan material inert.
Suhu dari sampel dan pembanding pada awalnya sama sampai ada kejadian yang
mengakibatkan perubahan suhu seperti pelelehan, penguraian, atau perubahan
struktur kristal sehingga suhu pada sampel berbeda dengan pembanding. Bila suhu
sampel lebih tinggi daripada suhu pembanding maka perubahan yang terjadi adalah
eksotermal, dan endotermal bila sebaliknya.( Onggo, D., dan Fansuri, H., 1999)
0 komentar:
Post a Comment