Thursday, June 13, 2013

ISLAM PESISIRAN DAN ISLAM PEDALAMAN: TRADISI ISLAM DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL

ISLAM PESISIRAN DAN ISLAM PEDALAMAN: 

TRADISI ISLAM DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL 

Nur Syam 
Guru Besar Sosiologi pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel 
Pendahuluan 
Islam pesisir dan Islam pedalaman memang pernah memiliki konflik yang keras terutama di masa awal Islamisasi Jawa, yaitu ketika pusat kerajaan Demak di pesisir kemudian beralih ke pusat kerajaan Pajang di pedalaman. Ketika Aryo Penangsang yang didukung oleh Sunan Kudus kalah melawan Pangeran Hadiwijaya yang didukung oleh Sunan Kalijaga, maka mulai saat itulah sesungguhnya terjadi rivalitas pesisiran-pedalaman. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik, maka varian Islam pesisiran dan Islam pedalaman pun bergeser sedemikian rupa. Perubahan itu terjadi karena factor politik yang sering menjadi variabel penting dalam urusan rivalitas tidak lagi dominan dalam wacana dan praktik kehidupan masyarakat. 

Islam pesisiran sering diidentifikasi lebih puris ketimbang Islam pedalaman. Gambaran ini tidak sepenuhnya benar, mengingat bahwa di Indonesia –khususnya Jawa—varian-varian Islam itu dapat dilihat sebagai realitas sosial yang memang unik. Sehingga ketika seseorang berbicara tentang Islam pesisir pun tetap ada varian-varian Islam yang senyatanya menggambarkan adanya fenomena bahwa Islam ketika berada di tangan masyarakat adalah Islam yang sudah mengalami humanisasi sesuai dengan kemampuannya untuk menafsirkan Islam. Demikian pula ketika berbicara tentang Islam pedalaman, hakikatnya juga terdapat varian-varian yang menggambarkan bahwa ketika Islam berada di pemahaman masyarakat maka juga akan terdapat varian-varian sesuai dengan kadar paham masyarakat tentang Islam. 

Sesungguhnya, varian-varian Islam itulah yang menjadikan kajian tentang Islam Nusantara –khususnya Jawa—menjadi menarik tidak hanya dari perspektif politik saja tetapi juga sosiologis-antropologis. Tak ayal lagi, maka kajian tentang Islam Jawa juga memperoleh tempat yang sangat penting dalam dunia kajian ilmiah. 

Karya-karya tentang Islam Jawa terus bermunculan, terutama dalam perspektif sosiologis-antropologis. Semenjak Geertz melakukan kajian tentang The Religion of Java, maka kajian terus berlanjut, baik yang bersetuju dengannya ataukah yang menolaknya. Tulisan ini secara sengaja mengambil titik tolak kajian Geertz yang disebabkan oleh konsep trikhotominya ternyata memantik banyak perdebatan tentang Islam Indonesia. Terlepas dari kelebihan atau kelemahan konsepsi Geertz, namun perlu digarisbawahi bahwa konsepsi Geertz tentang Islam Jawa banyak menjadi sumber inspirasi untuk kajian Islam Indonesia. 

Perdebatan Konseptual Islam Indonesia 
Kajian Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan semenjak tahun 1950an. Berbagai karya monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya Clifford Geertz, “The Javanese Religion”. Konsep yang dihasilkan dari kajian ini adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep aliran inilah kemudian hampir seluruh pengkajian tentang masyarakat dan penggolongan sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik.. Pada masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan. Abangan adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun diatas pola bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungann antara islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknnya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa. 

Dari sekian banyak Indonesianis, maka Clifford Geertz adalah orang yang memiliki sumbangan luar biasa dalam kajian masyarakat Indonesia. Berkat kajian-kajian yang dilakukan maka Indonesia bisa menjadi lahan amat penting bagi studi-studi sosiologis-antropologis yang mengdepan. Berkat sumbangan akademisnya itulah maka Geertz dianggap oleh banyak kalangan sebagai pembuka jendela kajian Indonesia. Geertz adalah sosok luar biasa yang dapat melakukan modifikasi konseptual. Melalui kemampuan modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara sistem simbol, sistem nilai dan sistem evaluasi. Ia dapat menyatukan konsepsi kaum kognitifisme yang beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif, sistem makna dan sistem budaya, maka agar tindakan bisa dipahami oleh orang lain, maka harus ada suatu konsep lain yang menghubungkan antara sistem makna dan sistem nilai, yaitu sistem simbol. Sistem makna dan sistem nilai tentu saja tidak bisa dipahami oleh orang lain, karena sangat individual. Untuk itu maka harus ada sebuah sistem yang dapat mengkomunikasikan hubungan keduanya, yaitu sistem simbol. Melalui sistem simbol itulah sistem makna dan sistem kognitif yang tersembunyi dapat dikomunikasikan dan kemudian dipahami oleh orang lain.[1] Geertz adalah ilmuwan yang memiliki minat kajian yang sangat variatif. Ia tidak hanya mengkaji persoalan agama dan masyarakat dalam perspektif sosiologis atau antropologis, tetapi juga mengkaji sejarah sosial melalui kajiannya tentang perubahan sosial di dua kota di indonesia. Ia juga mengkaji masalah ekonomi. Melalui kajiannya tentang ekonomi masyarakat pedesaan Jawa, ia menghasilkan teori yang hingga dewasa ini masih diperbincangkan, yaitu teori involusi. 

Salah satu kehebatan sebuah karya adalah jika karya itu dibicarakan dan dijadikan sebagai bahan rujukan berbagai karya yang datang berikutnya. Salah satu karya yang banyak mendapatkan sorotan itu adalah karya Geertz tentang konsep agama Jawa tersebut. Kajian Geertz memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsya Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial. Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai abangan sebagai kategori ketaatan beragama. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi.[2]

Namun demikian, anehnya konsepsi Geertz tersebut hingga sekarang menjadi acuan utama dalam berbagai kajian tentang Islam dan masyarakat di Indonesia. Di antara kajian yang menolak konsepsi Geertz adalah Mark R. Woodward dalam tulisannya yang bertopik “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta,” 1985 dan telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan topik “Islam Jawa: Kesalehan versus Kebatinan Jawa”, 2001. Karya ini merupakan sanggahan terhadap konsepsi Geertz bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretik yang merupakan campuran antara Islam, Hindu Budha dan Animisme. Dalam kajiannya tentang Islam di pusat kerajaan yang dianggap paling sinkretik dalam belantara keberagamaan (keislaman) ternyata justru tidak ditemui unsur sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu Budha di dalamnya. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama di Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan keyakinan lokal, maka ternyata tidak ditemui unsur tersebut didalam tradisi keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan, Jogyakarta. Melalui konsep aksiomatika struktural, maka diperoleh gambaran bahwa Islam Jawa adalah Islam juga, hanya saja Islam yang berada di dalam konteksnya. Islam sebagaimana di tempat lain yang sudah bersentuhan dengan tradisi dan konteksnya. Islam Persia, Islam Maroko, Islam Malaysia, Islam Mesir dan sebagainya adalah contoh mengenai Islam hasil bentukan antara Islam yang genuin Arab dengan kenyataan-kenyataan sosial di dalam konteksnya. Memang harus diakui bahwa tidak ada ajaran agama yang turun di dunia ini dalam konteks vakum budaya. Itulah sebabnya, ketika islam datang ke lokus ini, maka mau tidak mau juga harus bersentuhan dengan budaya lokal yang telah menjadi seperangkat pengetahuan bagi penduduk setempat.[3]

Woodward memperoleh banyak dukungan, misalnya dari Muhaimin,[4] yang mengkaji Islam dalam konteks lokal. Dalam kajiannya terhadap Islam di Cirebon melalui pendekatan alternatif, ditemukan bahwa Islam di Cirebon adalah Islam yang bernuansa khas. Bukan Islam Timur Tengah yang genuin, tetapi Islam yang sudah bersentuhan dengan konteks lokalitasnya. Islam di Cirebon adalah Islam yang melakukan akomodasi dengan tradisi-tradisi lokal, seperti keyakinan numerologi atau hari-hari baik untuk melakukan aktivitas baik ritual maupun non ritual, meyakini tentang makhluk-makhluk halus, serta berbagai ritual yang telah memperoleh sentuhan ajaran Islam. Ada proses tarik menarik bukan dalam bentuknya saling mengalahkan atau menafikan, tetapi adalah proses saling memberi dalam koridor saling menerima yang dianggap sesuai. Islam tidak menghilangkan tradisi lokal selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan Islam murni, akan tetapi Islam juga tidak membabat habis tradisi-tradisi lokal yang masih memiliki relevansi dengan tradisi besar Islam (Islamic great tradition). 

Kajian yang dilakukan oleh Bartholomew,[5] tentang Islam di Lombok Timur yang dipresentasikan melalui jamaah masjid Al Jibril dan masjid Al-Nur, ternyata juga menggambarkan bagaimana respon sosial jamaah masjid terhadap Islam yang berasal dari tradisi besar tersebut. Pada masyarakat sasak yang semula bertradisi lokal yang dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Hindu, Budha dan animisme, ketika Islam datang kepadanya maka direspon dengan cara yang berbeda meskipun berada dalam konteks lokalitasnya masing-masing. Jamaah masjid Jibril yang dalam kehidupan sehari-harinya kental dengan tradisi Islam yang bersentuhan dengan tradisi lokal dan jamaah masjid Al-Nur yang bertradisi lebih puris, namun demikian tidak menimbulkan polarisasi hubungan keduanya. Mereka menerima perbedaan itu bukan dalam kerangka untuk saling berkonflik, akan tetapi dapat mewujudkan kesinambungan dalam dinamika hubungan yang harmonis. Masyarakat Sasak menerima perbedaan dalam konteks agree in disagreement. Itulah yang kemudian dikonsepsikan sebagai kearifan sosial masyarakat Sasak. 

Tulisan Nur Syam,[6] yang mengkaji Islam pesisir melalui tinjauan teori konstruksi sosial, diperoleh gambaran bahwa Islam pesisir yang sering ditipologikan sebagai islam murni, karena bersentuhan pertama kali dengan tradisi besar Islam, ternyata adalah Islam yang kolaboratif, yaitu corak hubungan antara islam dengan budaya lokal yang bercorak inkulturatif sebagai hasil konstruksi bersama antara agen (elit-elit lokal) dengan masyarakat dalam sebuah proses dialektika yang terjadi secara terus menerus. Ciri-ciri Islam kolaboratif adalah bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal. Islam yang bernuansa lokalitas tersebut hadir melalui tafsiran agen-agen sosial yang secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat luas dalam kerangka mewujudkan islam yang bercorak khas, yaitu Islam yang begitu menghargai terhadap tradisi-tradisi yang dianggapnya absah seperti ziarah kubur suci, menghormati terhadap masjid suci dan sumur-sumur suci. Medan budaya tersebut dikaitkan dengan kreasi para wali atau penyebar Islam awal di Jawa. Motif untuk melakukan tindakan tersebut adalah untuk memperoleh berkah. Melalui bagan konseptual in order to motif atau untuk memperoleh berkah, ternyata juga penting dilihat dari bagan konseptual because motive atau orang pergi ke tempat keramat adalah disebabkan oleh keyakinan bahwa medan-medan budaya tersebut mengandung sakralitas, mistis dan magis. Namun demikian, keduanya tidak cukup untuk menganalisis tindakan itu, maka diperlukan bagan konseptual pragmatic motive yaitu orang pergi ke medan budaya disebabkan oleh adanya motif pragmatis atau kepentingan yang mendasar di dalam kehidupannya. 

Tulisan yang bernada membela terhadap Geertz juga banyak. Di antaranya adalah tulisan Beatty.[7] Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bahwa Islam Jawa hakikatnya adalah Islam sinkretik atau paduan antara Islam, Hindu/Budha dan kepercayaan animistik. Melalui pendekatan multivokalitas dinyatakan bahwa Islam Jawa sungguh-sungguh merupakan Islam sinkretik. Corak Islam Jawa merupakan pemaduan dari berbagai unsur yang telah menyatu sehingga tidak bisa lagi dikenali sebagai Islam. Kenyataannya Islam hanya di luarnya saja, akan tetapi intinya adalah keyakinan-keyakinan lokal. Melalui tulisannya yang bertopik “Adam and Eva and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan” digambarkan bahwa inti agama Jawa ialah slametan yang di dalamnya terlihat inti dari ritual tersebut adalah keyakinan-keyakinan lokal hasil sinkresi antara Islam, Hindu/Budha dan animisme. 

Meskipun menemukan konsep baru dalam jajaran kajian agama-agama lokal, yaitu bagan konseptual “lokalitas”, tetapi Mulder[8] tetap dapat dikategorikan sebagai kajian hubungan antara Islam dan masyarakat dalam konteks sinkretisme. Ketidaksetujuan Mulder terhadap Geertz, sesungguhnya merupakan perbedaan pandangan tentang Islam, Hindu/Budha dan animisme itu bercorak paduan di antara ketiganya ataukah yang lain. Mulder sampai pada kesimpulan bahwa hubungan itu bercorak menerima yang relevan dan menolak yang tidak relevan. Ternyata yang dominan menyaring setiap tradisi baru yang masuk itu adalah unsur lokal. Jadi ketika Islam masuk ke wilayah kebudayaan Jawa, maka yang disaring adalah Islam. Ajaran Islam yang cocok akan diserap untuk menjadi bagian dari tradisi lokal sedangkan yang tidak cocok akan dibuang. Itulah sebabnya Islam di Jawa hanya kulitnya saja tetapi intinya adalah tradisi lokal tersebut. Kajian-kajian ini menggambarkan tentang bagaimana cara pandang sarjana Barat tentang Islam di Indonesia, yang digambarkannya sebagai Islam nominal, yaitu Islam yang hanya di dalam pengakuan dan bukan masuk ke dalam keyakinan dan penghayatan. 

Tulisan lain yang juga menganggap Islam dan masyarakat hanyalah nominal juga dijumpai dalam tulisan Budiwanti.[9] Meskipun bercorak kajian kualitatif, tetapi melalui pendekatan fungsionalisme alternatif ditemui bahwa Islam sasak sesungguhnya Islam juga hanya dalam coraknya yang khas yang lebih banyak mengadopsi unsur luar Islam yaitu tardisi-tradisi dan keyakinan-keyakinan lokal, sedangkan ajaran Islam hanyalah dijadikan sebagai pigura saja. Islam ini adalah Islam yang benar-benar berbeda dengan Islam Timur Tengah. Jika Islam lainnya menekankan pada unsur keyakinan, ritual dan etika Islam, maka di sini hanya ditekankan pada dimensi yang sangat luar dari Islam, yaitu ritual yang sangat elementer, Islam Wetu Telu. Di tengah arus islamisasi yang terus berlangsung tersebut, maka memunculkan tekanan dari Islam Wetu Limo, yang diprakarsai oleh gerakan dakwah Islam dari Nahdlatul Wathon. Gerakan dakwah ini semakin lama semakin mendesak terhadap Islam tradisi lokal ke titik yang paling rendah, sehingga akan terdapat kemungkinan Islam Wetu Telu akan mengalami kemerosotan dalam jumlah di masa yang akan datang. 

Islam di Indonesia memang mengalami pergulatannya sendiri. Di tengah arus pergulatan tersebut, corak Islam memang menjadi bervariatif mulai dari yang sangat toleran terhadap tradisi lokal maupun yang sangat puris dan menolak tradisi lokal. Gerakan-gerakan Islam pun bervariasi dari yang bercorak tradisionalisme, post-tradisionalisme sampai yang modernisme bahkan neo-modernisme. Corak keislaman seperti itu sebenarnya menjadikan wajah Islam di Indonesia menjadi semakin menarik untuk dicermati, baik sisi sosiologisnya maupun antropologisnya.

[1] Periksa Ignaz Kleden, “Dari Etnografi ke Etnografi tentang Etnografi: Antropologi Clifford Geertz dalam Tiga Tahap” dalam Clifford Geertz, After the Fact. (Jogyakarta: LKiS, 1998), ix-xxi 
[2] Harsya W. Bachtiar, “Komentar” dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (jakarta: Balai Pustaka, 1981). 
[3] Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan. (Jogyakarta: LKiS, 2001) 
[4] Muhaimin AG., Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, (Jakarta; Logos, 2001) 
[5] John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak. (Jogyakarta: Tiara wacana, 2001) 
[6] Nur Syam, “Islam Pesisir’ (Jogyakarta: LKIS, 2005) 
[7] Andrew Beatty, “Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in The Javanese Slametan” dalam The Journal of the Royal Anthropological institut 2 (June 1996). 
[8] Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999) 
[9] Erni Budiwanti, Islam Sasak, Islam Wetu Telu versus Wetu Limo. (Jogyakarta; LkiS, 2000)

Ditulis Oleh : Unknown // 10:52 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment