Keamanan Energi (Energy Security)
Keamanan energi (energy security) merupakan sebuah konsep dimana sebuah negara mampu mempertahankan diri dan melakukan pembangunan dengan mengutamakan keamanan dan ketersediaan cadangan energi yang memadai dengan harga yang terjangkau, baik minyak ataupun variasi jenis energi lainnya[1]. Hal ini semakin penting dengan kenyataan bahwa dinamika ekonomi dan politik turut mempengaruhi suplai energi yang sangat krusial bagi kegiatan pembangunan sebuah negara. Hal-hal yang mempengaruhi keberlanjutan cadangan enegri antara lain adalah ketersediaan cadangan energi, fluktuasi harga, ancaman terorisme, instabilitas domestic negara pengekspor energi, adanya perang, persaingan geopolitik, hingga peta energi oleh negara-negara besar pengkonsumsi energi dunia[2].
Ketersediaan suplai energi menjadi masalah yang cukup signifikan dalam hal ini. Pertama, jika suplai energi menurun, maka akan menimbulkan kenaikan harga energi yang berakibat pada turunnya daya beli energi[3]. Hal ini akan berimbas pada kolapsnya kegiatan ekonomi dan bersifat destruktif terhadap kegiatan produksi dan konsumsinya masyarakat. Kedua, dengan ditemukannya sumber suplai energi baru, maka hal ini dapat menunda kelangkaan energi yang mungkin terjadi dan mengamankan cadangan energi dalam kurun waktu tertentu. Suplai memegang peranan yang sangat penting, karena permintaan akan energi sebagai komoditas primer cenderung selalu tetap dan bersifat inelastis[4].
Stabilitas Hegemoni (Hegemonic Stability)
Stabilitas hegemoni dicetuskan oleh Hindleberger dan Keohane. Ide dasar dari teori ini adalah bahwa stabilitas sistem internasional membutuhkan dominasi dari sebuah negara untuk mengartikulasikan dan mengimplementasikan aturan akan interaksi antar anggota-anggota dalam sistem internasional tersebut.[5] Sebuah negara dapat menjadi hegemon apabila negara tersebut dapat memenuhi ketiga atribut, di antaranya kapabilitas untuk menciptakan aturan dalam sistem, adanya niat atau kemauan dari negara tersebut untuk melakukan hal tersebut, dan adanya komitmen terhadap sistem yang dilihat sebagai sebuah bentuk hubungan mutual antar negara-negara tersebut.[6] Kapabilitas negara hegemon sangat menitikberatkan pada kondisi pertumbuhan ekonomi dan dominasinya pada sektor teknologi dan ekonomi serta adanya back-up dari kekuatan politik yang ditunjukkan dalam bentuk proyeksi kekuatan militer. Instabilitas dalam sistem dapat berakibat pada runtuhnya heirarki internasional dan berimplikasi pada kerapuhan posisi negara dominan.
Secara garis besar, siklus hegemoni dapat digambarkan melalui tahapan-tahapan atau fase kepemimpinan hegemon.[7] Siklus pertama yaitu kemunculan perang global yang ditunjukkan dengan adanya kondisi dunia yang chaotic dan tanpa aturan. Pada masa ini, negara-negara yang berperang saling beradu kekuatan, khususnya dengan menunjukkan kapabilitas militernya. Hasil akhir atau pemenang dari perang ini umumnya akan menjadi salah satu kandidat negara dominan atau hegemon. Siklus kedua ditunjukkan dengan munculnya kepemimpinan dunia dimana pemenang dari perang global akan menciptakan organisasi internasional yang akan digunakan hegemon sebagai alat untuk menginstitusionalisasikan sistem atau tatanan internasional sesuai dengan pandangannya. Institusi ini juga sekaligus menjadi legitimasi hegemon dalam pengaturan sistem dunia. Siklus ketiga, delegitimasi. Pada siklus ini, kemunculan negara-negara semi-pheripheri yang dapat mengimbangi kekuatan hegemon menjadikan hegemon kehilangan kekuasaannya atau paling tidak, kekuatan dominasinya mendapatkan tantangan yang cukup serius. Siklus terakhir adalah siklus dekonsentrasi. Pada fase ini, negara hegemon mulai menggunakan force atau kekuatannya untuk memelihara kondisi status quo, biasanya melalui jalur militer. Kondisi ini akan mempercepat keruntuhan hegemoni karena konfrontasi dalam bentuk militer cenderung memakan biaya yang mahal dan menelan anggaran negara yang besar. Kondisi ini juga pada umumnya didukung oleh kemunculan aliansi negara-negara semi-pheriperi untuk menggulingkan sang hegemon dari tampuk kekuasaannya.
Kebijakan Luar Negeri (Foreign Policy)
Kebijakan luar negeri merupakan seperangkat kajian tentang bagaimana sebuah negara membuat kebijakan sehingga melibatkan studi politik internasional dan domestik yang menyangkut hubungan internasional dan kebijakan publik[8]. Kebijakan ini didasarkan pada analisa dari diplomasi, perang, hubungan antar organisasi, maupun perspektif lain seperti ekonomi, yang tergantung bagaimana masing-masing negara menerapkan kebijakan asing. Dalam proses pembuatannya, kebijakan luar negeri melibatkan beberapa tahap[9]: (1) Penilaian internasional dan domestik politik lingkungan; Kebijakan luar negeri dibuat dan dilaksanakan dalam konteks politik internasional dan domestik, yang harus dipahami oleh negara untuk menentukan pilihan kebijakan luar negeri terbaik, (2) Goal setting - A state has multiple foreign policy goals.Tujuan pengaturan; dimana sebuah negara harus menentukan tujuan yang sangat dipengaruhi oleh internasional dan domestik politik lingkungan pada suatu waktu In addition, foreign policy goals may conflict, which will require the state to prioritiyang akan memudahkan negara untuk melakukan prioritas, (3) Determination of policy options - A state must then determine what policy options are available to meet the goal or goals set in light of the political environment.Penetapan kebijakan pilihan; Sebuah negara harus menentukan pilihan kebijakan yang tersedia untuk memenuhi tujuan atau tujuan yang telah ditetapkan dalam lingkungan politik. This will involve an assessment of the state's capacity to implement policy options and an assessment of the consequences of each policy option. Ini akan melibatkan penilaian dari negara kapasitas untuk melaksanakan kebijakan pilihan dan penilaian tentang konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan, (4) Pengambilan Keputusan Formal; Formal decision making action - A formal foreign policy decision will be taken at some level within a government.yang biasanya oleh lembaga eksekutif seperti kepala negara atau kepala pemerintahan, kabinet, atau menteri, dan (5) Implementasi.Implementation of chosen policy option - Once a foreign policy option has been chosen, and a formal decision has been made, then the policy must be implemented.
Esensi dari kebijakan luar negeri merupakan rencana dan kebijakan-kebijakan yang ditujukan kepada tujuan yang satu yakni perwujudan kepentingan nasional demi mempertahankan kelangsungan hidup negara[10]. Sehingga setiap pengambilan kebijakan luar negeri, suatu negara selalu mendasarkan pada kepentingan nasional.
0 komentar:
Post a Comment