KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH
Kedudukan Kelembagaan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu (a) Tentara Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c) Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.
Karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power), dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini misalnya adalah pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan sebagainya. Sedangkan contoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK).
Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer.
Meskipun tidak secara persis, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara-perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut persoalan-persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang atau kasus demi kasus ketidak-adilan secara individuil dan konkrit. Yang bersifat konkrit dan individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan perkara ‘impeachment’ terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada pokoknya, seperti yang biasa saya sebut untuk tujuan memudahkan pembedaan, Mahkamah Agung pada hakikatnya adalah ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah ‘court of law’[3]. Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri.
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu. Atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Jenderal dan Panitera tetap diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Bahkan hakim konstitusi secara administratif diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden.
Dalam hubungan dengan lembaga-lembaga negara lainnya, dapat digambarkan sebagai berikut.
Tiga Lembaga Pengisi Jabatan
Sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung[4]. Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga yang akan mengisi lowongan tersebut adalah lembaga darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal. Misalnya, hakim “A” meninggal dunia atau diberhentikan, maka apabila pengusulan pencalonannya sebelumnya berasal dari Pemerintah, berarti Presidenlah yang berwenang menentukan calon pengganti hakim yang meninggal tersebut. Jika pencalonannya sebelumnya berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, maka pengisian jabatan penggantinya juga harus diajukan oleh DPR setelah melalui proses pemilihan sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, dalam rekruitmen hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhubungan erat dengan 3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.
Hubungan dengan Mahkamah Agung
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait dengan materi perkara pengujian undang-undang. Setiap perkara yang telah diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan atas perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung dihentikan sementara sampai putusan atas perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengujian peraturan di bawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai kemungkinan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu menurut ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[5], Mahkamah Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya ketentuan semacam ini kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan yang kuat untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’ dalam perkara sengketa kewenangan. Salah satu alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undang-undang menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat final, dan karena itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi tidak final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi.
Padahal, dalam kenyataannya dapat saja Mahkamah Agung terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut Undang-Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong hendak diisi, pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang berwenang memilih Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi, menurut ketentuan UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang ketika itu masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut dan menimbulkan sengketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah Agung harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, terlepas dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung seperti itu dapat diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah Konstitusi sendiri baru didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan konstitusi ini nantinya telah berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin suatu saat nanti ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut dapat disempurnakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai penguji peraturan di bawah undang-undang.
Hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam memeriksa undang-undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik lisan maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk Undang-Undang. Di samping itu, seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga merupakan salah satu lembaga yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim konstitusi dengan cara memilih calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana mestinya.
Dewan Perwakilan Rakyat juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden, dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping itu, DPR juga berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini adalah anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.
Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK.
Hubungan dengan Presiden/Pemerintah
Selain bertindak sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu, semua pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan Keputusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap harus tunduk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada Presiden. Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Presiden. Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga bertindak sebagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran sebagai ko-legislator. Meskipun pembentuk undang-undang secara konstitusional adalah DPR, tetapi karena perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan bersama serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga dapat disebut sebagai ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini misalnya tercermin dalam kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai tanda telah mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari sejak itu, meskipun RUU tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut berlaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 pasca Perubahan[6].
Sebagai ko-legislator, maka setiap pengujian Undang-Undang oleh MK tidak boleh mengabaikan pentingnya keterangan, baik lisan ataupun tulisan, dari pihak pemerintah. Apalagi, di samping sebagai ko-legislator, Pemerintah/Presiden juga merupakan salah satu lembaga pelaksana undang-undang (eksekutif). Karena itu, Pemerintah sangat tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan mengerti mengenai latar maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh karena ada atau tidak adanya Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap pengujian UU, keterangan dari pihak pemerintah seperti halnya keterangan dari pihak DPR sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang menurut penilaian MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan keterangan Pemerintah atau DPR.
Dalam hal perkara pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon adalah pemerintah. Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum, pemerintah tidak boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak boleh ikut campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam penentuan rincian dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah ditetapkan sebagaimana mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut tetap memerlukan dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan sebagaimana mestinya. Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi keterpisahan hubungan antara Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh mempengaruhi atau mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusional di bidang peradilan.
Susunan Organisasi
Organisasi Mahkamah Konstitusi Republiki Indonesia terdiri atas tiga komponen, yaitu (i) para hakim, (ii) sekretariat jenderal, dan (iii) kepaniteraan. Organisasi Pertama adalah para hakim konstitusi yang terdiri atas 9 (sembilan) orang sarjana hukum yang mempunyai kualifikasi negarawan yang menguasai konstitusi ditambah dengan syarat-syarat kualitatif lainnya dengan masa pengabdian untuk lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode lima tahun berikut. Dari antara para hakim itu dipilih dari dan oleh mereka sendiri seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, masing-masing untuk masa jabatan 3 tahun. Untuk menjamin independensi dan imparsialitas kinerjanya, kesembilan hakim itu ditentukan oleh tiga lembaga yang berbeda, yaitu 3 orang sipilih oleh DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang lainnya ditentukan oleh Presiden. Setelah terpilih, kesembilan orang tersebut ditetapkan sebagai hakim konstitusi dengan Keputusan Presiden. Mekanisme rekruitmen yang demikian itu dimaksudkan untuk menjamin agar kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu benar-benar tidak terikat hanya kepada salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun MA. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi diharapkan benar-benar dapat bersifat independen dan imparsial.
Kesembilan orang hakim itu bahkan dapat dipandang sebagai sembilan institusi yang berdiri sendiri secara otonom mencerminkan 9 pilar atau 9 pintu kebenaran dan keadilan. Dalam bekerja, kesembilan orang itu bahkan diharapkan dapat mencerminkan atau mewakili ragam pandangan masyarakat luas akan rasa keadilan. Jikalau dalam masyarakat terdapat 9 aliran pemikiran tentang keadilan, maka kesembilan orang hakim konstitusi itu hendaklah mencerminkan kesembilan aliran pemikiran tersebut. Keadilan dan kebenaran konstitusional justru terletak dalam proses perdebatan dan bahkan pertarungan kepentingan untuk mencapai putusan akhir yang akan dijatukah dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Karena itu, persidangan Mahkamah Konstitusi selalu harus dihadiri 9 orang dengan pengecualian jika ada yang berhalangan, maka jumlah hakim yang bersidang dipersyaratkan sekurang-kurangnya 7 orang. Karena itu pula, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mengenal satu majelis hakim, tidak seperti di Mahkamah Agung.
Organisasi Kedua adalah sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang menurut ketentuan UU No. 24 Tahun 2003[7] dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7 UU ini menyatakan: “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan”. Penjelasan pasal ini menegaskan: “Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif, sedangkan Organisasi Ketiga yaitu kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial”. Pembedaan dan pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar administrasi peradilan atau administrasi justisial di bawah kepaniteraan tidak tercampur-aduk dengan administrasi non-justisial yang menjadi tanggungjawab sekretariat jenderal. Baik sekretariat jenderal maupun kepaniteraan masing-masing dipimpin oleh seorang pejabat tinggi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, Sekretaris Jenderal dan Panitera sama-sama mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti memang merupakan jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat dengan Keputusan Presiden dan karena itu disetarakan dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Untuk menjamin kemandirian MK di bidang finansial, maka UU No.24/2003 juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai mata anggaran tersendiri dalam APBN[8].
[1] Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September, 2004.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
[3] Kedua istilah ini seringkali dikaitkan dengan pembedaan pengertian antara keadilan formal dengan keadilan substantive, seperti dalam istilah “court of law” versus “court of just law” yang diidentikkan dengan pengertian “court of justice”. Namun disini kedua istilah ini dipakai untuk tujuan memudahkan pembedaan antara hakikat pengertian peradilan oleh Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Konstitusi.
[4] Lihat Pasal 18 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun 2003 No.98 dan Tambahan LNRI No.4316). Meskipun dalam Penjelasan pasal ini dinyatakan “cukup jelas”, tetapi sebenarnya pembagian porsi kewenangan untuk mengajukan calon hakim konstitusi dari tiga lembaga ini dimaksudkan untuk menjamin agar dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi akan bersikap imparsial dan independent. Apalagi, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, sehingga mengharuskan para hakim konstitusi untuk secara moral dan hukum bersikap netral dan tidak berpihak kepada salah satu lembaga negara yang bersengketa. Di samping itu, dejarat independensi hakim konstitusi juga diharapkan dapat lebih terjamin karena yang menentukan pengangkatannya sebagai hakim bukan hanya satu lembaga, seperti apabila pengangkatan mereka hanya ditentukan oleh Presiden.
[5] Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 ini selengkapnya berbunyi: “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi”. LNRI Tahun 2003 No.98.
[6] Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 selengkapnya berbunyi: “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.
[7] LNRI Tahun 2003 No. 98 dan Tambahan LNRI No.4316.
[8] Ibid., Pasal 9 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.
0 komentar:
Post a Comment