KEKUATAN-KEKUATAN LOKAL SEBAGAI ALAT PENGHADANG
Sejak globalisasi dicanangkan, sesungguhnya neoliberalisme telah berhasil menjadi landasan formasi sosial. Banyak korban berjatuhan, terutama masyarakat adat, petani kecil pedesaan, kaum miskin kota, dan golongan marginal lainnya. Namun demikian, sejak saat itu juga muncul banyak gerakan perlawanan-perlawanan dalam berbagai bentuk. Perlawanan pertama datang dari gerakan kultural, seperti gerakan keagamaan yang dikenal dengan gerkan ‘teologi pembebasan’ di Amerika Latin. Di India muncul pula gerakan perlawanan secara kultural sehingga membangkitkan kelompok Hindu Revivalist (Rashtriya Swayamsewak Sangh). Sebagain gerakan kultural itu bersifat lokal dan organisasi-organisasi non pemerintah (ORNOP) seringkali membantu perlawanan kultural semacam itu untuk memperluas gerakan.
Gerakan perlawanan juga terjadi di Indonesia yang bersifat lokal dan berlatar sosial keagamaan kultural. Seperti yang dialami di berbagai pesantren di Jawa, dan beberapa kasus petani-petani di pedesaan yang dengan kreatifitas dan kearifan lokalnya (local wisdom) melakukan minimal penolakan bahkan perlawanan. Masing-masing komunitas masyarakat pada dasarnya mengalami problem yang sama terkait dengan gelombang arus hegemoni korporasi. Akan tetapi, masing-masing komunitas memiliki karakter, tradisi, kreatifitas, dan kearifan dalam menghadapi hegemoni korporasi tersebut. Meskipun tidak jarang juga terjadi ketidakpahaman terhadap hegemoni korporasi, sehingga justru mereka menjadi agennya.
Hasil penelitian Fatchan (2004) tentang pembelotan kyai pesantren di Malang dan Blitar terhadap sistem yang dikembangkan oleh pemerintah dalam budidaya pertanian, yang dibaliknya ternyata adalah neoliberalis dengan politik revolusi hijau, menunjukkan bahwa mereka berhasil menciptakan sistem dan mekanisme sendiri secara kreatif. Dengan kepemimpinan lokal seorang kyai dan sistem kekerabatan sosialnya mampu membangun komunitas strategis untuk melakukan proses-proses pendidikan masyarakat, tanpa harus dipengaruhi oleh himbaun, saran, bahkan provokasi dan intimidasi dari pemerintah melalui aparat desa, dan kecataman serta penyuluh pertanian. Mereka tidak mau bersentuhan dengan sistem pasar yang cenderung menindas petani. Menolak sistem teknologi yang dalam jangka panjang disadari akan merugikan mereka sendiri. Demikian pula menolak sistem tanam yang diajarkan oleh para penyuluh pertanian, karena para penyuluh hanya mendasarkan diri pada teori pertanian, tidak memahami watak dasar tanah dan karakter musim yang ada di wilayah desa mereka.
Bentuk-bentuk perlawanan kyai dan masyarakat adalah: (a) menolak pola sewa, tetapi melakukan gadai sawah, (b) menolak pola tanam monokultur, (c) tindakan menolak kredit bank, (d) menolak pelatihan dari pemerintah (penyuluh pertanian), tetapi menerapkan pelatihan sistem sorogan dan bandongan, dan (e) Menolak menggunakan pestisida, tetapi meramu racun hama sendiri. (Fatchan, 2004).
Kekuatan kyai sebagai local leader, menyusun strategi untuk membela umat (rakyat) dari usaha-usaha penindasan para pemilik modal (daokeh) dengan sistem ijon, sewa lahan, kredit bank, dan penindasan lainny begitu cukup wfwktif. Kyai melarang sistem-sistem yang menindas tersebut sekaligus memberikan pendidikan masyarakat, serta memberikan solusinya agar sawah tidak jatuh ke tangan orang lain, dan petani tidak terlilit oleh hutang yang berbunga. Kyai memberi alternatif dengan sistem gadai sawah. Sistem ini menjadikan sawah tidak jatuh ke tangan pemilik modal, karena sawah digadaikan kepada pondok pesantren, yang hasil sawah tersebut untuk membangun kebutuhan masyarakat, khususnya pembangunan masjid, mushalla dan madrasah. Melalui sarana jam’iyah tahlil dan pengajian rutin, kyai membangun kesadaran masyarakat untuk menciptakan sistem sendiri, menolak sistem kapitalis yang akan menjerat mereka sendiri. (Fatchan, 2004:125)
Pola budidaya pertanian yang dikembangkan oleh Orde Baru dengan revolusi hijaunya, adalah bersifat monokultur. Sistem intensifikasi tanaman padi di lahan sawah melaui program Bimas-Inmas, Insus-Supra Insus, serta program KUT merupakan program wajib yang dipaksakan kepada seluruh petani. Program ini dikhususkan dalam rangka menuruti kehendak penguasa dalam industrilisasi pangan nasional, yang pada akhirnya mematikan kreatifitas petani, karena petani tidak memiliki alternatif lain dalam usaha pertaniannya. Kyai sebagai pihak yang sangat sadar dengan politik-ekonomi pemerintah ini, melakukan aksi diam-diam mendidik para petani untuk melakukan pola tanam multikultur, atau multiple cropping, yaitu menaman berbagai macam tanaman dalam satu petak sawah. Tujuan menanam dengan pola ini adalah untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari petani sendiri. Sebab dengan banyaknya tanaman yang ada, kebutuhan akan makanan utama dan tambahan terpenuhi dengan cukup. Seperti sayur, ketela, jagung, canthel, kacang-kacangan, dan tanaman produktif lainnya selain tanaman padi sebagai tanaman utama. Memang untuk melakukan pola ini dibutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus. Oleh sebab itu kyai, melalui petani-petani yang berhasil secara kreatif mengembangkan pertanian pola multikultur, melakukan pelatihan-pelatihan baik kepada santri maupun kepada para petani lainnya. Pelatihan dilakukan dengan sistem magang dan kerja yang diadaptasi dari sistem sorogan dan bandongan. (Fatchan, 2004:150)
Program intensifikasi pertanian yang dikembangkan orde baru dengan proyek Bimas-Inmas, Insus-Supra Insur, sampai KUT didampingi oleh program pemberian fasilitas kredit pertanian yang digunakan sebagai modal usaha pertanian. Di antaranya kredit sarana produksi pertanian berupa pupuk, benih, dan obat-obatan racun hama, serta uang tunai untuk biaya hidup. Program-program itu awalnya terkenal dengan KUK (Kredit Usaha Tani), KCK (Kredit Candak Kulak), KIK (Kredit Intensifikasi Khusus), Kepedes (Kredit Umum Pedesaan) sampai pada awal reformasi muncul KUT (Kredit Usaha Tani). Semua program kredit tersebut proses pengucuran dan pengelolaanya melalui bank-bank yang ditunjuk oleh pemerintah, seperti BRI. BPD, dan BCA. Dalam program ini oleh kyai disikapi dengan menolak seluruh program kredit tersebut. Hal ini karena sistem kredit yang berbunga, meskipun bunganya tergolong kecil, dianggap riba dan diangap haram paling tidak makroh, maka kyai memiliki alternatif dengan memberi pinjaman melalui jam’iyah yasin dan tahlil tanpa bunga sedikitpun. Masalah utama bukan haram atau makrohnya bunga terebut, tetapi pada kemampuan petani dalam mengelola dana pinjaman kredit yang diperolehnya cenderung konsumtif, sehingga akhirnya bisa menjerat mereka yang pada akhirnya sawah mereka akan diambil alih oleh bank jika tidak mampu membayar kredit. Hal inilah yang dikhawatirkan kyai, sebab kalau petani tidak punya sawah, maka akan muncul problem baru yang lebih rumit dalam sistem sosial masyarakat desa. (Fatchan, 2004:143)
Kyai dan masyarakat juga memiliki kreatifitas sendiri dalam menghadapi serangan hama tanaman dan serangan produk pestisida sebagai racun hama tanaman oleh proyek korporasi melalui tangan pemerintah dengan program-programnya. Mereka meramu racun sendiri dengan baceman bahan-bahan yang ada, sabun cuci, minyak tanah, dan bahan alami tuba. Dengan kreatifitas sendiri ini, mereka terhindar dari pengeluaran beaya tinggi untuk pembelian pestisida dan terhindar pula dari dampak negatif kesehatan atas produksi racun dari pabrik tersebut. (Fatchan, 2004:160)
Hal yang sama dalam wilayah yang berbeda juga terjadi di Madura. Masyarakat bersma kyai menolak proram-program pemerintah yang selama ini diboncengi oleh korporasi-korporasi nasional maupun multinasional. Selama sekian dekade hampir seluruh program pembangunan Madura tidak berhasil, karena resistensi masyarakat terhadap pemerintah sangat kuat. Hal ini karena posisi kyai di Madura cukup dominan di Masyarakat, padahal secara politik para kyai berbeda pilihan politiknya dengan pemerintah. Maka yang terjadi adalah seluruh program pemerintah yang tidak didukung oleh kyai juga tidak didukung oleh masyarakat. Seperti program wajib belajar (Wajar) pendidikan dasar dan menegah, keluarga berencana (KB), posyandu, dan program-program lainnya hampir tidak berjalan dengan baik. (Kuntowijoyo, 2003)
Pada kasus pembangunan jembatan Suramadu, pemerintah menggandeng kyai dalam pembebasan lahan dan akses jalan masuk ke jembatan. Untuk akases ke jembatan ini sebagian besar sudah terselesaikan, namun masih saja ada beberapa lahan yang sulit dibebaskan karena aspek mitos dan keperacayaan. Mitos dan kepercayaan menjadi alat untuk melawan dominasi-dominasi korporasi, khususnya dalam penguasaan lahan di Madura. Menjual tanah bagi orang Madura adalah hal yang tabu. Hal ini karena tanah merupakan warisan leluhur, tempat bersemayamnya roh-roh nenek moyang mereka. Oleh sebab itu, kalau mereka menjual tanah berarti menjual roh leluhurnya. Hal inilah yang ditabukan oleh mereka. Problem baru telah muncul dalam pembebasan lahan yang akan disetting menjadi lokasi industri disekitar jembatan Suramadu. Masyarakat menolak penjualan tanah-tanah mereka, karena kepercayaan dan mitos tersebut. (Afandi, 2005)
Perlawanan juga terjadi di Wonosari, Gunung Kidul. Masyarakat menolak dominasi penguasa dengan berbagai cara. Mulai dari cara sembunyi-sembunyi, sampai dengan pola perlawanan yang terang-terangan. Dominasi pemilik modal (tengkulak, makelar tanah) yang bersembunyi di ketiak birokrat aparat desa dan kecamatan disiasati dengan berbagai macam strategi. Siasat boikot dan menipu, mensiasasti bantuan sampai mengorganisir perlawan adalah langkah strategis untuk melawan perilaku penguasa yang menindas. (Budisusila: 2000).
Perlawanan ataupun pembelotan pada kenyataannya tidak hanya terjadi di beberapa tempat tersebut di atas, tetapi banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia maupun di negara-negara lain. Perlawanan pada dasarnya terjadi akibat masyarakat merasakan adanya proses yang tidak adil dan menindas. Perlawanan memang bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Hanya apakah perlawanan itu mampu menciptakan kesadaran kolektif sehingga terjadi proses tranformasi sosial. Perlawananpun akan kalah dan mudah ditelan serta digilas oleh gelombang neolibralisme dan kapitalisme manakala perlawanan itu bersifat spontanitas, sporadis, tidak tersistem, dan tidak muncul dari proses pedidikan. Maka dibutuhkan seuatu perlawanan yang konsisten, tersistem, dan dibangun dari proses pendidikan yang membebaskan, sehingga akan terbangun sistem sosial yang adil dan humanis.
0 komentar:
Post a Comment