Pemikiran dasar terbentuknya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999. - Melihat perspektif Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, setidaknya ada enam pemikiran dasar dalam pembentukan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999: Pertama, sebagai upaya mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraaan otonomi daerah dalam rangka penetapan kebijakan desentralisasi dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menjadikan “daerah otonom” yang mandiri dalam naungan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Kedua, pemberian keleluasaan yang pada hakekatnya diberikan kepada masyarakat daerah sebagai kesatuan masyarakat hukum, dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, peranserta dan oto - aktivitas masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan heteroginitas daerah dan perbedaan setempat; Ketiga, memberdayakan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik sebagai badan legislative daerah, maupun sebagai badan pengawas atas pelaksanaan kebijakan daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah, serta penyalur aspirasi masyarakat sebagai sarana pengembangan demokrasi, dalam rangka menjalankan prinsi - prinsip partisipasi dan transparansi; Keempat, memantapkan hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah, terutama dalam perwujudan akuntabilitas publik yang mendudukan Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dalam rangka membangun prinsip keterpercayaan (akseptabilitas dan kredibilitas), serta meletakkan hubungan kemitraan dan kesejajaran institutional antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah, dengan tujuan untuk menciptakan kerjasama yang erat antara kedua institusi tersebut, menjaga dan memelihara stabilitas pemerintahan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat; Kelima, untuk mendudukan kembali posisi “Desa” atau dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum terrendah, yang memiliki hak asal - usul dan otonomi asli, yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Keenam, untuk mengantisipasi perkembangan keadaan, baik di dalam negeri, maupun tantangan persaingan global, yang mau tidak mau pengaruhnya akan sangat dirasakan oleh daerah - daerah.
Dari keenam pemikiran dasar tersebut secara signifikan dan potensial telah tertampung dijalankannya prinsip - prinsip Good Governance.
Sejalan dengan dasar pemikiran tersebut diatas, Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 semangatnya mengandung prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan otonomi daerah sebagai berikut:
- Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman Daerah;
- Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab;
- Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas;
- Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah, serta antar -Daerah;
- Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi, sehingga asas dekonsentrasi dalam lingkungan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak dianut lagi.
- Pada kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasaan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya, berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonom;
- Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislative daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
- Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah.
- Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa dengan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dari prinsip - prinsip dasar penyelenggaraan otonomi daerah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ada “keinginan politik” (“political will”) yang kuat dari Pemerintah Pusat untuk menggeser pendulum pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah yang semula sangat sentralistik dan bercorak “centripetal” menjadi desentralistik yang bersifat “centrifugal”. Jadi, berbeda dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang lebih cendurung menganut “The Structural Efficiency Model”, Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini lebih condong menganut kepada “The Local Democratic Model”, yang ditinjau dari segi tujuannya atau valuesnya, model ini lebih menekankan kepada aspek - aspek demokrasi, perbedaan setempat dan keanekaragaman daerah (“democratic, local differences and system diversity). Walaupun kebijakan desentralisasi yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini telah melahirkan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, yang pada dasarnya untuk terwujudnya kemandirian daerah, (dalam pengertian independent; self-determination; onafhankelijkheid; kemerdekaan atau ketidak tergantungan), terutama bagi Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, namun posisi kemandirian daerah otonom seperti itu tidak berarti bahwa Daerah-daerah itu akan berkotak - kotak, terlepas dan bebas dari supervisi, pengendalian, pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat, melainkan keleluasaan otonomi yang diberikan kepada Daerah ini, tetap merupakan sub - sistem dan sub - ordinasi dari Pemerintahan nasional, dan karenanya harus terjamin bahwa pelaksanaan otonomi daerah itu tidak keluar dari rambu - rambu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu konstruksi untuk menjaga dan menjamin penyelenggaraan otonomi daerah yang demikian itu, adalah dengan mendjadikan daerah Provinsi sekaligus sebagai Wilayah Administrasi, dan dengan mendudukkan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat yang berperan untuk menjaga keseimbangan dan memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah dalam kerangka NKRI, memberikan pengendalian, bimbingan dan fasilitasi kepada daerah kabupaten/ kota yang berada dalam wilayah administrasi provinsi yang bersangkutan. Dalam pada itu, perlu ditekankan bahwa dengan mendudukkan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah menurut Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, bukan berarti kembali kepada paradigma lama seperti dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 dimana Gubernur berperan kuat sebagai “interventionist”.
Dalam hubungan ini, hendaknya dijaga benar - benar agar gerakan pergeseran pendulum tersebut, baik dalam memahami pasal - pasal Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 c.q Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, maupun dalam implementasinya tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda - beda dan mengarah kepada sikap dan tindakan yang akan membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Oleh karena itu, sikap emosional dan tuntutan yang berlebih - lebihan dan kurang proporsional dari Daerah, demikian pula sikap dan perilaku birokrasi pusat yang enggan untuk bergeser dari paradigma lama dalam memperlakukan pembagian kewenangan pusat kepada daerah, sebaiknya sejauh mungkin dieliminir, sebab kalau tidak, hal tersebut bukan saja akan mengaburkan makna persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan pula akan mengaburkan makna pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab, yang justru dimaksudkan untuk memperkuat integrasi, persatuan dan kesatuan bangsa, pengembangan demokrasi, bahkan menurut perspektif Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 diupayakan untuk mewujudkan peningkatan “daya saing daerah”, yang pada akhirnya ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan.
Ini prinsip transparansi yang harus dijaga benar dalam penyelenggaraaan pemerintahan daerah, agar tidak menyimpang dari upaya mewujudkan Good Governance.
0 komentar:
Post a Comment