Upaya menyeimbangkan hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah. - Sesungguhnya, ideenya, kalau pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung, maka diharapkan akan merubah perimbangan hubungan antara Eksekutif dan Legislatif daerah, sehingga skenario format hubungan yang akan terjadi adalah sebagai berikut :
Pertama, DPRD akan dipilih dengan sistem proportional terbuka, ini berarti ada tanda gambar dan sekali gus daftar nama caleg. Kalau pemilih tidak memilih nama, maka alternatifnya adalah menusuk tanda gambar, yang berarti Elite Parpol yang akan memegang peranan utama menentukan siapa yang akan didudukkan di lembaga legislatif daerah. Hasil Pemilu 5 April 2004 juga menunjukkan bahwa hanya 2 orang anggota DPR di tingkat Nasional yang benar-benar terpilih yang memenuhi “Bilangan Pembagi Pemilih” (BPP). Masalahnya sering calon yang mendapatkan suara terbanyak, tidak memenuhi treshold BPP yang diunjuk mewakili parpol di DPR atau DPRD dan menimbulkan konflik internal di tubuh parpol. Kalau rakyat lebih banyak memilih tanda gambar dan bukan orang, akibatnya, akuntabilitas individu akan berkurang, sedang akuntabilitas kolektif akan lebih menonjol.
Kalau Kepala Daerah dipilih secara langsung, ini berarti bahwa Kepala Daerah akan mendapatkan legitimasi penuh dari rakyat pemilih, artinya rakyat akan memberikan legitimasi politik secara langsung kepada orang yang dipilihnya. Dengan kata lain akuntabilitas Kepala Daerah akan lebih kuat dibanding dengan akuntabilitas DPRD, dimana akuntabilitas Kepala Daerah lebih bersifat individu dibanding dengan akuntabilitas DPRD yang bersifat kolegial. Akibatnya, akan terjadi pergeseran (shift) titik berat kekuatan politik yang tadinya ke DPRD (“Legislative heavy”) akan bergeser kepada Kepala Deerah (“Executive heavy”). Ini adalah akibat akuntabilitas Kepala Daerah yang lebih kuat dibandingkan dengan DPRD. Kondisi tersebut akan diperkuat lagi dengan adanya dukungan perangkat daerah kepada Kepala Daerah. Dengan demikian, jelas akan lebih memperkuat posisi Kepala Daerah.
Kedua, konsekuensi dari pemilihan langsung, maka baik DPRD maupun Kepala Daerah akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih. Ini berarti, tidak lagi Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD sekalipun DPRD mempunyai posisi sebagai wakil rakyat, karena Kepala Derah pun akan mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat yang dipilih secara langsung. Persoalannya sekarang, kepada siapa Kepala Daerah harus bertanggung jawab? Karena Kepala Derah dipilih langsung oleh rakyat, maka seyogyanya ia (Kepala Daerah) bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Lantas mekanismenya bagaimana kalau Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada rakyat, dan apakah rakyat bisa memberhentikan Kepala Derah apabila rakyat tidak menyukai atau mempercayainya lagi. Di negara - negara maju, seperti di Amerika, Kepala Derah dapat diberhentikan oleh rakyat apabila diatas 50% pemilih menyatakan tidak menghendaki lagi Kepala Daerah ybs. Kondisi ini, akan berjalan baik, apabila pendidikan politik rakyat sudah mantap, seperti di Amerika. Namun, kalau cara - cara tersebut diterapkan di Indonesia, dimana pendidikan politik rakyat belum mantap, pelaksanaan demokrasi tendensinya anarkhis, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi instabilitas dalam pemerintahan daerah, dimana di kalangan masyarakat Indonesia masih kental cara - cara “money politics” dalam pemilihan Kepala Daerah, maka dengan imbalan uang, rakyat akan dengan mudah digerakkan untuk memilih seseorang calon Kepala Derah, demikian juga sebaliknya rakyat akan dengan mudah digerakkan untuk menjatuhkan Kepala Daerah dengan cara - cara yang sama. Sebagai konsekuensinya, pemerintahan yang tidak stabil sudah barang tentu akan mengganggu stabilitas keamanan dan counter - productive terhadap laju pertumbuhan dan investasi, yang pada gilirannya kondisi tersebut akan menciptakan krisis yang berkepanjangan. Karena itu, dalam rangka pemilihan Kepala Derah perlu adanya sosialisasi dan pendidikan politik yang intensif bagi rakyat pemilih, supaya mereka menyadari bahwa sekali mereka memilih Kepala Daerah maka mereka akan menanggung segala konsekuensi dari pilihannya tersebut. Karenanya perlu penegasan dan difahami oleh rakyat bahwa pemberhentian Kepala Derah hanya dapat dilakukan apabila ybs melakukan tindak - pidana, mengundurkan diri atau tidak lagi mampu menjalankan tugasnya sebagai Kepala Derah sebagaimana ditentukan dalam perundang - undangan. Demikian juga dengan posisi DPRD, dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Parpol, Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk, anggota DPRD dapat di re-call oleh pimpinan Parpolnya. Dalam pada itu ada Badan Kehormatan dalam lembaga DPRD yang nantinya akan menerima komplain dari masyarakat tentang anggota DPRD dan dapat memberhentikan anggota DPRD apabila anggota DPRD terbukti melanggar tata - tertib dan kode - etik DPRD.
Ketiga, DPRD diharapakan akan tetap mempunyai otoritas di bidang legislasi, anggaran dan kontrol, sesuai dengan hak-haknya sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang - undangan. Apabila mereka mampu mempergunakan kewenangan dan hak - hak tersebut secara effektif, maka diharapkan DPRD sedikit - banyak akan mampu mengimbangi kekuatan Eksekutif. Namun, kalau kualitas anggota DPRD tetap seperti sekarang, tanpa adanya kemajuan yang berarti, maka akan sulit bagi DPRD untuk mengimbangi kekuatan dan kinerja eksekutif yang didukung oleh perangkat daerah yang professional. DPRD yang lemah, berpotensi untuk melemahkan fungsi kontrol terhadap eksekutif, fungsi legislasi dalam membuat kebijakan, dan fungsi anggaran dalam menetapkan dan mendayagunakan potensi anggaran daerah, sehingga akan menciptakan kondisi “Executive heavy” seperti terjadi puluhan tahun pada masa orde baru. Oleh karena itu, untuk menciptakan “check and balances” yang seimbang, maka rakyat sebagai “stake - holders” utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah, perlu digerakkan agar mampu menjadi “pressures and supporters”, baik kepada DPRD maupun kepada Kepala Daerah melalui upaya revitalisasi LSM, Forum Komunikasi, Organisasi professi dll yang berbasis demokrasi, professionalisme, serta ethik dan moral.
Keempat, harus ada perubahan yang signifikan terhadap konstruksi pemerintahan daerah, terutama yang menyangkut kejelasan antara “pejabat politik” (Kepala Daerah dan DPRD) dengan “Pejabat non - politik” (Pejabat karier). Pejabat politik adalah pejabat yang bertugas merumuskan dan menetapkan “kebijakan publik”, sedangkan pejabat karir adalah pejabat yang melaksanakan/ mengoperasionalkan kebijakan tersebut kedalam bentuk pelayanan publik atau pemenuhan kebutuhan publik. Dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 terdapat masalah kepegawaian daerah, a.l. dengan diberikannya kewenangan manajemen kepegawaian sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, terjadi kecendurungan kooptasi oleh kekuatan politik di daerah, baik dari pihak Kepala Daerah maupun dari DPRD, misalnya banyak kasus terjadi pemberhentian Sekda oleh Kepala Daerah/ DPRD tanpa alasan yang jelas. Untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah di bidang manajemen kepegawaian, maka Daerah sebaiknya dilibatkan dalam proses rekrutmen, placement, development dan appraisal dari PNS Daerah, artinya unsur - unsur “separated system” dalam manajemen kepegawaian, diberikan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, dan “integrated system” diterapkan dalam rangka menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional dan otonomi daerah, karena bagaimanapun juga posisi PNS tetap harus difungsikan sebagai perekat negara dan bangsa disamping professionalisme pegawai yang perlu terus ditingkatkan.
0 komentar:
Post a Comment