Friday, June 21, 2013

Cara Mengatasi Perasaan Takut dan Cemas dalam Berpidato

Perasaan Takut dan Cemas dalam Berpidato 

1. Sebab-sebab Utama Rasa Takut dan Cemas 

Dalam hubungannya dengan penampilan di depan umum atau pidato, biasanya ada seseorang yang merasa takut dan cemas yang sering disebut dengan istilah demam panggung. Banyak hal yang dapat menjadi penyebab rasa takut dan cemas ini. Perasaan ini juga tidak hanya dimiliki oleh pembicara pemula, tetapi juga sering dialami oleh pembicara yang telah berpengalaman lama dalam masalah pidato. Hendrikus (1991: 157) mengemukakan sebab-sebab utama rasa takut dan cemas sebelum tampil di muka umum atau pada saat berpidato sebagai berikut: 
a. takut ditertawakan 
b. takut berhenti di tengah pembicaraan karena kehilangan jalan pikiran 
c. takut akan orang yang lebih tinggi kedudukannya di antara pendengar 
d. takut karena tidak menguasai tema 
e. takut membuat kesalahan 
f. takut karena situasi yang luar biasa 
g. takut mendapat kritik 
h. takut kalau tidak bisa dimengerti 
i. takut bahwa ceramah tidak lancar 
j. takut kalau ungkapannya jelek dan tidak jelas 
k. takut kehilangan muka 
l. takut akan mendapat pengalaman yang jelek 
m. takut karena membandingkan dengan pembicara lain yang lebih baik 
n. takut ditertawakan karena aksen yang salah 
o. takut kalau harapan pendengar tidak terpenuhi 
p. takut kalau direkam atau difilmkan 
q. takut kalau gerak mimik dan tubuh tidak sepadan, dsb. 


2. Cara Mengatasi Rasa Takut dan Cemas

Rasa takut dan cemas dalam berpidato dapat diatasi dengan berbagai cara. Di antaranya yang terpenting adalah persiapan yang teliti! Kalimat pertama dan terakhir harus dapat dihafal! Oleh karena itu seorang pembicara perlu sekali: 
a. membina kontak mata dengan pendengar 
b. mengembangkan aktivitas dari/pada mimbar 
c. jangan melambungkan tujuan terlalu tinggi 
d. menganggap pendengar sebagai kawan, bukan lawan 
e. berpikirlah bahwa Anda pasti tidak akan bisa memu­as­kan semua orang 
f. anggaplah tugasmu ini sebagai kesempatan untuk membuktikan diri dan bukan ujian atau percobaan 
g. kegagalan hendaknya dianggap sebagai kemenang­an yang tertunda 
h. berusahalah untuk menenangkan diri dan batin lewat pernapasan yang baik 
i. pilihlah tema yang baik dan tepat bagi pendengar 
j. pendengar tidak menentang Anda! Mereka datang ha­nya untuk mendengar ceramah Anda 
k. ingatlah selalu kalimat ini: SAYA HARUS! SAYA MAU! SAYA SANGGUP! 
l. ingatlah bahwa segala keberhasilan di dalam hidup ini selalu didahului oleh rasa cemas dan takut. 

Dalam kaitannya dengan adanya rasa cemas dalam berpidato atau tampil di depan umum, maka pembicara perlu memperhatikan dua belas hukum retorika, yaitu: 
1. Kepandaian berbicara dapat dipelajari, 
2. Latihlah dirimu dalam teknik berbicara, 
3. Hilangkan perasaan cemas – latihlah berbicara sam­bil berpikir, 
4. Berpidato itu bukan membaca! 
5. Rumuskan tema pidato secara tajam! 
6. Pidato harus memiliki skema yang jelas! 
7. Awal yang menarik… penutup mengesankan! 
8. Saya tahu, saya mau, saya berhasil 
9. Tingkatkan argumentasi, dan siaga menghapi keberatan! 
10. Yang membuat sang retor bahagia adalah membawakan pidato! 
11. Bicaralah jelas! 
12. Latihan menciptakan juara! 

Terkait dengan kesuksesan sebuah pidato, Hendrikus (2003) menyam­pai­kan ciri-ciri pidato yang baik, antara lain. 
1. Pidato yang saklik. 
Pidato itu saklik apabila memiliki objektivitas dan unsur-unsur yang mengandung kebenaran. Ada hubungan yang serasi antara isi pidato dan formulasinya, sehingga indah didengar. Ada hubungan yang jelas antara pembeberan masalah dengan fakta dan pendapat atau penilaian pribadi. 

2. Pidato yang jelas. 
Pembicara harus memilih ungkapan dan susunan kalimat yang tepat dan jelas untuk menghindarkan salah pengertian. 

3. Pidato yang hidup. 
Untuk menghidupkan sebuah pidato dapat dipergunakan gambar, cerita pendek, dan kejadian-kejadian yang relevan sehingga memancing perhatian pendengar. Pidato yang hidup dan menarik umumnya diawali dengan ilustrasi, sesudah itu ditampilkan pengertian-pengertian abstrak atau definisi. 

4. Pidato yang memiliki tujuan. 
Setiap pidato harus memiliki tujuan, yaitu apa yang mau dicapai. Dalam membawakan pidato, tujuan pidato harus sering diulang dalam rumusan yang berbeda. Dalam satu pidato tidak boleh disodorkan terlalu banyak tujuan dan pikiran pokok. 

5. Pidato yang memiliki klimaks. 
Berusahalah menciptakan titik-titik puncak dalam pidato untuk memperbesar ketegangan dan rasa ingin tahu pendengar. Klimaks itu harus muncul secara organis dari dalam pidato itu sendiri dan bukan karena mengharapkan tepukan tangan yang riuh dari para pendengar. Klimaks yang dirumuskan dan ditampilkan secara tepat akan memberikan bobot kepada pidato yang disampaikan. 

6. Pidato yang memiliki pengulangan. 
Pengulangan dalam sebuah pidato itu penting karena dapat memperkuat isi pidato dan memperjelas pengertian pende­ngar. Pengulangan juga dapat menyebabkan pokok-pokok pidato tidak cepat dilupakan. Yang perlu diingat adalah bahwa pengulangan hanya pada isi dan pesan, bukan pada rumusan. Hal ini berarti bahwa isi dan arti tetap sama, akan tetapi dirumuskan dengan mempergunakan bahasa yang berbeda. 

7. Pidato yang berisi hal-hal yang mengejutkan. 
Memunculkan hal-hal yang mengejutkan dalam pidato berarti menciptakan hubungan yang baru dan menarik antara kenyataan-kenyataan yang dalam situasi biasa tidak dapat dilihat. Hal-hal yang mengejutkan itu dapat menimbulkan ketegangan yang menarik dan rasa ingin tahu yang besar, tetapi tidak dimaksudkan sebagai sensasi. 

8. Pidato yang dibatasi. 
Sebuah pidato harus dibatasi pada satu atau dua soal yang tertentu saja. Pidato yang isinya terlalu luas akan menjadi dangkal. Apabila menurut pengamatan kita para pendengar sudah mulai risau atau bosan, maka pidato harus segera diakhiri. 

9. Pidato yang mengandung humor. 
Humor dalam sebuah pidato itu perlu, hanya saja tidak boleh terlalu banyak sehingga memberi kesan bahwa pembicara tidak sungguh-sungguh. Humor itu dapat menghidupkan pidato dan memberi kesan yang tak terlupakan pada para pendengar. Humor dapat juga menyegarkan pikiran pendengar, sehingga mencurahkan perhatian yang lebih besar pada pidato selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA 
Arsjad, Maidar G. dan Mukti U.S. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. 
Citrobroto, R.I. Suhartin. 1979. Prinsip-Prinsip dan Teknik Berkomunikasi. Jakarta: Bhatara. 
Dipodjojo, Asdi S. 1982. Komunikasi Lisan. Yogyakarta: Lukman. 
Hadinegoro, Luqman. 2003. Teknik Seni Berpidato Mutakhir. Yogyakarta: Absolut. 
Haryadi, 1994. Pengantar Berbicara. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. 
Hendrikus, SDV, Dori Wuwur. 1991. Retorika. Yogyakarta: Kanisius. 
Keraf, Gorys. 1981. Diksi dan Gaya Bahasa. Ende-Flores: Nusa Indah. 
-----------. 1997. Komposisi. Ende Flores: Nusa Indah. 
Nadeak, Wilson. 1987. Cara-cara Bercerita. Jakarta: Binacipta. 
Pringgawidagda, Suwarna. 2003. Pranata Adicara. Yogyakarta: Adicita. 
Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Retorika Modern Pendekatan Praktis, Cetakan ke-5. Bandung: Remaja Rosda Karya. 
Suyuti, Achmad. 2002. Cara Cepat Menjadi Orator, Da’I, dan MC Profesional. Pekalongan: Cinta Ilmu. 
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Cetakan ke-6. Bandung: Angkasa. 
Widyamartaya, A. 1980. Kreatif Berwicara. Yogyakarta: Kanisius. 
Wiyanto, Asul dan Prima K. Astuti. 2004. Terampil Membawa Acara. Jakarta: Grasindo. 
Wuryanto, M.E. Satrio. 1992. Pengetahuan tentang Protokoler di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 

Ditulis Oleh : Unknown // 11:00 PM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment