Saturday, June 15, 2013

PENDIDIKAN DEMOKRASI


PENDIDIKAN DEMOKRASI 
Adalah John Dewey ( dalam Tilaar, 2003) filosof pendidikan yang melihat hubungan yang begitu erat antara pendidikan dan demokrasi. Dewey mengatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai demokrasi maka kita memasuki wilayah pendidikan. Pendidikan merupakan sarana bagi tumbuh dan berkembangnya sikap demokrasi. Oleh karena itu, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan negara yang demokratis. 

Pendidikan demokrasi sebagai upaya sadar untuk membentuk kemampuan warga negara berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatpenting. Hal ini bisa dilihat dari nilai - nilai yang terkandung di dalam demokrasiakan membawa kehidupan berbangsa dan negara yang lebih baik, dibandingkan dengan ideologi non-demokrasi. Menurut Dahl (2001) keuntungan dari demokrasi sebagai berikut : 
  1. Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik. 
  2. Demokrasi menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah HAM yang tidak diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem-sitem yang tidak demokratis. 
  3. Demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warga negaranya daripada alternatif lain yang memungkinkan. 
  4. Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya. 
  5. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar - besarnya bagi orang - orang untuk menggunakan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka pilih sendiri. 
  6. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral. 
  7. Demokrasi membantu perkembangan manusia lebih total daripada alternatif lain yang memungkinkan. 
  8. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi. 
  9. Negara - negara demokrasi perwakilan modern tidak berperang satu sama lain. 
  10. Negara - negara dengan pemerintahan demokratis cenderung lebih makmur daripada negara - negara dengan pemerintahan yang tidak demokratis. 
Dalam pendidikan demokrasimenekankan pada pengembangan ketrampilan intelektual (intellectual skill), ketrampilan pribadi dan sosial (personal and social skill) (Zamroni, 2003). Ketrampilan intelektual menekankan pada pengembangan berpikir kritis siswa. Selama ini tampak ditekankan pada kegiatan mengakumulasi/menabung pengetahuan sebanyak mungkin kepada siswa (knowledge deposite). 

Ketrampilan pribadi ditekankan pada pengembangan kepercayaan diri dan harapan-harapan diri terhadap sistem politiknya. Harapan itu misalnya bahwa sistem politik akan mengakomodasi berbagai kepentingan dirinya sebagai warga negara. Dalam kenyataan ada kecenderungan siswa dipolakan pada ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pemerintah atau pihak lain.Sedangkan ketrampilan sosial ditekankan pada kemampuan emphatic dan respek pada orang lain, berkomunikasi dan toleransi. 

Dalam pendidikan demokrasi tampak ada tuntutan kepada sekolah untuk mentransfer pengajaran yang bersifat akademis ke dalam realitas kehidupan yang luas di masyarakat. Dengan perkataan lainpraktek pembelajaran dilakukan dengan materi yang substansial (konsep teori yang sangat selektif) tetapi kaya dalam implementasi. 

Untuk keberhasilan pendidikan demokrasi diperlukan kondisi berkembangnya kultur demokrasi. Ruy ( dalam Zamroni, 2003) mengemukakan ada 4 ciri kultur demokrasi, 1) merupakan budaya campuran dari berbagai nilai-nilai dari ideologi politik yang berbeda - beda; 2) bersumber pada budaya umum dan bersifat horizontal; 3) didasarkan pada masyarakat sipil (civil society); 4) merupakan keterpaduan dari berbagai segmen masyarakat (kelompok kecil masyarakat tercermin dalam norma dan perilaku masyarakat secara keseluruhan). 

Di Indonesia kini berkembang ideologi Islam, social democrat, dan nasionalis seperti tercermin pada ideologi partai-partai politik (lihat Tabel di bawah ini). 


Tabel 1. Peta Ideologis Partai - partai Politik
(official-unofficial, declared-undeclared)

Ideologi Islam
Ideologi Sosial Demokrat
Ideologi Nasionalis
-Islam Orthodoks : Partai   Bulan Bintang;
 -Islam Progresif : Partai Keadilan Sejahtera;
 -Islam Tradisionalis: Partai Persatuan Nahdlatul Ummah, Partai persatuan pembangunan, Partai Bintang ;
 -Islam Modernis : Partai Amanat Nasional. Progessif Kiri : Partai Merdeka dan Partai Buruh Sosial democrat;

-Progesif Kanan : Partai Perhimpunan Indonesia Baru;
-Progressif Kiri : Partai Merdekas dan Partai Buruh Sosial Demokrat;
 -Konservatif Tengah : Partai Sarikat Indonesia.


-Nasionalis Populis (Marhaenisme; Sosialisme Indonesia) : PNI Marhaenisme; Partai Nasional Banteng Kemerdekaan; Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Pelopor;
-Nasionalisme Negara (State Developmentalism) :Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Patriot Pancasila; Partai Keadilan dan Persatuan.
 -Nasionalis Religi (Islam Kebangsaan) : Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera, Partai Karya Peduli Bangsa;
 -Nasionalis Demokrat (Nation State) : Partai Demokrat;
 -Nasionalis Progesif (National Pluralis) : Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan dan Partai Persatuan Daerah.


Sumber :Diolah dari Daniel Sparringa . Pemilu 2004: Taksonomi Tema dan Isu Relevan, dalam M. Farid Cahyono dan Lambang Triyono ,Editor. (2004). Pemilu 2004 Transisi Demokrasi dan Kekerasan, h. 21-22.

Ideologi - ideologi politik di Indonesia memang beragam tetapi kini kian mencair. Hal itu bisa dilihat begitu mudahnya terjadi koalisi antara partai politik yang berbeda ideologi. Sayangnya koalisi itu dibangun tidak atas dasar platform tetapi lebih didasarkan atas bagi - bagi kekuasaan ('politik dagang sapi'). Dalam kenyataan pragmatisme dan materialisme-lah yang menjadi ideologi partai politik.Berpolitik untuk memperjuangkan idealisme seperti yang tercermin dalam ideologi politik merupakan barang langka. Berpolitik untuk meperjuangkan kepentingan publik telah berganti sebagaimata pencahariaan. 

Dalam kondisi perpolitikan tersebut di atas, maka pendidikan demokrasi telah kehilangan referensi bagaimana berpolitik yang berorientasi pada idealisme dan berpolitik yang etis. Oleh karena itu di kalangan masyarakat dewasa ini seperti tampak dalam pemilihan presiden ada fenomena melemahnya politik aliran dan menguatnya mesianisme (memilih karena figure, pemimpin yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan atau ratu adil). Namun baik pemilih yang masih berkutat pada pertimbangan domain politik aliran dan mesianisme sama -sama masih dalam tataran pemilih emosional. Pemilih rasional tampak belum berkembang. Ini merupakan tantangan bagi pendidikandemokrasi yang berkehendak untuk mengembangkan berpolitik (memilih) secara rasional. 

Pada sisi lain budaya umum yang bersifat horizontalyang penting bagi pendidikan demokrasi masih belum berkembang. Kultur feodalistik-lah yang berkembang. Hal ini terlihat hubungan patron-klien masih sangat kuat. Penguasa yang semestinya menjadi pelayan publik justru minta dilayani oleh masyarakat. Egalitarianisme tidak berkembang. Budaya politik demokrasi atau budaya politik kewarganegaraan (Almond & Verba, 1984) yang merupakan budaya campuran dari budaya politik partisipan, subyek dan parokhial tidak berkembang secara proporsional. Budaya politik subyek yang ditandai oleh kepatuhan tanpa sikap kritis terhadap penguasa berkembang melampaui dua budaya politik yang lain. Hal ini disebabkan antara lain kuatnya obsesi elite baik pada masa Orde Lama dan Orde Barupada kekuasaan. 

Dalam masa Orde Baru Ong Hok Ham (2002) mengambarkan bahwa obsesi elite Orde Baru (kekuasaan Soeharto yang terdiri dari berbagai aliansi militer , politik, bisnis, dll.) terhadap kekuasaan, jabatan, dan status segila obsesi orang Cina terhadap uang. Obsesi - obsesi tersebut turut menegakkan orde patrimonial dan praetorian di Indonesia. Adnan Buyung Nasution (Kompas, 15 Agustus 2004) dalam konteks ini menyatakan pada zaman Orde Lama siapa dekat kekuasaan selamat, dan akan maju. Akhirnya orang tersebut menjilat pada kekuasaan. Di zaman Soeharto kekuasaan itu ditambah dengan materi. Kalau di zaman Soekarno kekuasaan itu memiliki tujuan yang dianggap luhur karena waktu itu untuk revolusi. Dalam revolusi masih ada sesuatu yang ideal. Lepas benar atau tidak, revolusi untuk sesuatu yang dianggap luhur. Dalam zaman Soeharto kekuasaan lebih ditekankan pada tujuan ekonomi, orang mengejar materi kekayaan, kemewahan ataupun uang. 

Budaya politik yang horizontal belum berkembang masih diperparah oleh masyarakat sipil yang masih lemah. Hal ini ditandai antara lain (1) mudahnya berkembang tindakan kekerasan baik  oleh pemerintah maupun masyarakat, seperti tampak dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM); (2) belum kuatnya penghargaan dan toleransi terhadap pluarlisme tampak pada mudahnya berkembang konflik sosial; (3) asosiasi dalam masyarakat yang mestinya independen tetapi mampu mengendalikan masyarakat politik (political society) kenyataannya mudah dihegemoni oleh penguasa maupun menjadi kepanjangan kepentingan kekuatan politik. Hal ini diperparahkarena ternyata sosialisasi politik yang berkembang seperti dinyatakan Afan Gafar ( dalam Cholisin, 2004) belum memunculkan civil society. Indikatornya antara lain (1)dalam masyarakat kita, anak-anak tidak didik menjadi insan mandiri. Anak - nak bahkan mengalami alienasi politik dalam keluarga. Sejumlah keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan nasib si anak, merupakan domain orangdewasa, anak - anak tidak dilibatkan sama sekali. (2) tingkat politisasi sebagain besar masyarakat kita sangat rendah. Ikut terlibat dalam wacana publik tentang hak - hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia dan sejenisnya, bukanlah skala prioritas penting. 

Budaya demokrasi juga belum merupakan keterpaduan dari segmen masyarakat sebagaimana tercermin dalam norma dan perilaku masyarakat. Hal ini disebabkan terutama kelompok kecil sulit masuk dalam akses kekuasaan dalam kultur masih kuat budaya patron-kliennya.


Bacaan:
Almond, Gabriel A., Verba, Sydney.(1984). Budaya Politik. (Judul Asli : The Civic Culture), Penerjemah Oleh Sahat Simamora. Jakarta : Bina Aksara.
Cholisin.(2004). Konsolidasi Demokrasi Melalui Pengembangan Karakter Kewarganegaraan, dalam Jurnal Civics : Media Kajian Kewarganegaraan, Volume 1, Nomor 1, Juni 2004. Yogyakarta : Jurusan PPKn FIS UNY.
Dahl, Robert A., (2001). Demokrasi : Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi . Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
Daniel Sparringa.(2004). Pemilu 2004 : Taksonomi Tema dan Isu Relevan, dalam M. Faried Cahyono dan Lambang Triyono (Editor). Pemilu 2004 : Transisi demokrasi dan Kekerasan. Yogyakarta : Center for Security and Peace Studies (CSPS) UGM bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiffung (FES) Indonesia.
H.A.R. Tilaar.(2003). Kekuasaan & Pendidikan : Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang : Indonesiatera.
Maarif, Ahmad Syafii.(1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta : LP3ES
Mayo,Henry B. (1960). An Introduction to Democracy Theory. New York : Oxford University Press.
Ong Hok Ham.(2002). Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong : Refleksi Historis Nusantara. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Sorenso, Georg (2003). Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar kerjasama dengan Center for Critical Social Studies.
Zamroni .(2003). Demokrasi dan Pendidikan dalam Transisi : Perlunya Reorientasi Pengajaran Ilmu - Ilmu Sosial di Sekolah Menengah, dalam Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan INOVASI,No.2 Th. XII/2003. Yogyakarta : LP3 UMY.

Ditulis Oleh : Unknown // 4:44 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment