KEHARMONISAN RUMAH TANGGA TKI/TKW
(Pengalaman TKI dari Kabupaten Ponorogo)
Oleh: Umu Hilmy
Pendahuluan
Mencari kehidupan di negeri orang sebenarnya merupakan alternatif
terakhir bagi seseorang, kecuali di sekitar tempat kediamannya tidak terdapat
kesempatan kerja. Oleh karenanya berburuh ke negara lain merupakan alternatif
kesempatan kerja bagi daerah-daerah yang kekurangan kesempatan kerja terutama
yang disebabkan karena kondisi alamnya.
Namun demikian dalam sepuluh tahun terakhir ini di Indonesia persoalan
TKI ke luar negeri menjadi semakin penting, terutama ketika krisis ekonomi
melanda negara kita yang dengan cepatnya menurunkan kesempatan kerja dan
terjadilah pemutusan hubungan secara besar-besaran, bukan hanya di industri
besar tetapi juga industri kecil maupun rumah tangga. Seperti juga di
negara-negara lain dan waktu-waktu yang lain, jumlah buruh perempuan yang
terkena PHK lebih banyak dari laki-laki. Dengan banyaknya jumlah buruh yang
diPHK, maka kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang baru juga semakin menurun
jumlahnya, sehingga jumlah mereka yang mencari pekerjaan semakin jauh lebih
besar dari pada peluang kerjanya. Hal inilah yang merupakan salah satu hal yang
mendorong mereka untuk mencari pekerjaan apa saja dan di mana saja. Menjadi TKI
ke luar negeri merupakan salah satu kesempatan kerja yang menarik, karena dari
pengalaman teman, tetangga, sanak saudara mereka yang pernah bekerja di luar
negeri, pendapatannya antara 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) kali lipat
dari pendapatan di dalam negeri. Lagi pula pendidikan bukan menjadi syarat
utama bagi mereka, sehingga kesempatan kerja ini dengan mudah dapat diakses
oleh keluarga yang punya sedikit uang untuk proses rekruting sampai
pemberangkatan. Walaupun di sisi pertumbuhan ekonomi menguntungkan, tapi dengan
meningkatnya jumlah TKI yang ke luar negeri, sebelum maupun setelah krisis,
jumlah kasuspun meningkat pula dengan cepat, demikian pula jumlah korbannya.
Kasus yang terjadi tidak hanya ketika perekrutan, di
penampungan atau ketika pemberangkatan maupun saat di negara tujuan bekerja,
tetapi juga saat pulang kembali. Selama proses awal sampai akhir tersebut
penelitian atau tulisan-tulisan yang ada kebanyakan mengemukakan tentang
TKW/TKI sebagai korban oleh PJTKI, pengurus BLK atau penampungan, dan majikan,
pegawai pelayanan serta aparat penegak hukum di Indonesia maupun di negara
tujuan bekerja. Jarang yang menulis tentang rumah tangga TKW/TKI kecuali
tentang dampak ekonominya. Tulisan ini akan mengetengahkan hal itu.
1) Saat rekruting
- Pengambilan keputusan tentang bekerja ke luar negeri, maka ada keluarga yang melarang dan ada keluarga yang memaksa anak atau istrinya untuk bekerja ke luar negeri.
- Negara tujuan bekerja juga menjadikan keluarga berselisih.
- Biaya yang harus ditanggung menjadikan calom TKW/TKI terbebani, cara mencukupi biaya tersebut, penjualan aset seringkali menyebabkan keluarga berselisih atau paling tidak mengalami ketegangan.
Beberapa pengalaman dari TKW/TKI
- Memperbaiki ekonomi kerakyatan dengan menciptakan lapangan kerja di pedesaan; kredit untuk rakyat dipermudah dan mencari pasar untuk hasil produksi rakyat kecil.
- Iklan-iklan di media cetak maupun elektronik harus diatur oleh pemerintah, dibatasi jam tayangnya dan diimbangi dengan iklan-iklan untuk hidup hemat dan sederhana serta pendidikan untuk usaha mandiri.
- Dalam hal menyelesaikan masalah keharmonisan rumah tangga, pendidikan untuk mengelola komunikasi, kebutuhan seksual juga sangat penting untuk diadvokasikan, terutama kepada keluarga mantan, yang TKW/TKInya sedang sedang di negara tujuan maupun calon.
Kasus-kasus yang terjadi diungkapkan untuk digunakan sebagai
belajar dari pengalaman orang lain, baik supaya dapat dicontoh ketika orang
mengalamami masalah yang mengenai diri mereka sendiri.
Saat rekruting sering kali sudah ada dampak terhadap
keharmonisan rumah tangga, antara lain:
“Saya pernah
kerja di Taiwan selama 3 tahun melalui PJTKI yang berada di Wlingi dimana
sebelum berangkat saya hutang dengan rentenir dengan bunga 5% per bulan. Karena rumah yang ditempati
suami dan anak, saya jaminkan ke rentenir, maka anak dan suami saya harus
pindah dari rumah kami. Nanti kalau kembali dari bekerja di Taiwan di tebus
lagi”. (Sumber:
data primer: Ibu Dwt, Oktober 2003 dalam laporan penelitian PPHG).
2) Prosedur Rekruting:
q Prosedur
rekruting sangat rumit berdampak pada: (1) masa menunggu yang lama; (2) biaya
yang tinggi, pada hal Calon TKI sangat membutuhkan kesempatan kerja.
q Tahapan
yang rumit tersebut membuka kesempatan bagi Calo, Sponsor, PJTKI maupun para
Pengawas, Pejabat Pemerintah menggunakan kesempatan untuk melakukan penipuan,
pemalsuan dokumen, pemerasan, menarik biaya siluman, pelecehan seksual sampai
pemerkosaan.
q Karena
lama dan rumitnya banyak TKI yang mengambil keputusan untuk mengambil jalan
pintas dengan bekerja ke luar negeri tanpa dokumen atau atau hanya menggunakan
dokumen kunjungan. Akibat selanjutnya adalah terjadinya deportasi dan
penghukuman karena pelanggaran keimigrasian.
q Lama
menunggu di penampungan membuat calon TKW/TKI berhutang biaya hidup kepada
PJTKI, sehingga kalau tidak jadi berangkat keluarganya harus membayarnya, kalau
jadi berangkat, TKW/TKI harus membayar dengan memotong upahnya dalam jangka
waktu yang lama.
q Ketika
di penampungan dilarang berkomunikasi dengan keluarga, kunjungan dari keluarga
juga dibatasi.
q Rentang
waktu di penampungan kebanyakan sekitar 3-11 bulan; bagi calon yang sudah
menikah ini mengganggu sekali keharmonisan RTG.
3) Masa Pemulangan Kembali ke Daerah Asal:
v
Kewajiban PJTKI lebih banyak untuk kepentingan
administrasi, tidak secara langsung melindungi TKI.
v
Kewajiban PJTKI, Mitra Usaha dan Perwalu hanya
sampai di bandara Indonesia, pasa hal kasus-kasus yang terjadi seringkali dalam
perjalanan antara bandara di Indonesia ke desa asal, seperti pemerasan oleh
pengangkut, penipuan penukaran mata uang, perampokan, dll.
v
Pemulangan sering dicari-cari alasannya,
dilakukan sebelum masa kontrak habis, tapi pemotongan upah sudah lunas. Keadaan
ini juga dapat mengganggu keharmonisan keluarga, karena sudah lama meninggalkan
keluarga tanpa membawa uang.
v
Sampai di rumah, TKW/TKI karena sudah lama
terpisah, seringkali mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan pasangan
kawinnya, memerlukan waktu, apalagi kalau selama proses pemberangkatan, saat
bekerja maupun saat pemulangan mengalami perlakukan buruk. Hal ini masih
ditambah pula kalau pasngan kawinnya juga melakukan hubungan dengan orang
ketiga.
4) Perpanjangan Kontrak:
Ø Pengaturan
perpanjangan baik yang dilakukan melalui PJTKI maupun yang dilakukan sendiri
oleh TKW/TKI merugikan pihak TKW/TKInya.
Ø Untuk
perpanjangan yang dilakukan melalui oleh PJTKI, pengguna dibebani biaya-biaya
legalisasi perpanjangan, asuransi, company fee dan biaya cuti menyebabkan
Pengguna tidak melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu banyak kasus terjadi
kehilangan kontak, karena Pengguna memperpanjang demikian saja tanpa mematuhi
peraturan tentang perpanjangan. Akibat selanjutnya panjangnya waktu di luar
negeri tanpa pulang untuk cuti, membuat keharmonisan semakin memudar, dan
bahkan bisa hilang.
Demikian
rincian analisis dampak pengaturan hukum yang berlaku tentang Penempatan TKI.
Pada dasarnya dampak negatif yang terjadi karena pengaturannya yang kurang
rinci dalam pengaturan perlindungan dan pembelaan terhadap TKI. Pengaturan
tersebut (Kepment No.104A Th.2002) lebih banyak mengatur masalah
administrasinya dari pada perlindungan dan pembelaannya. Selain tidak rinci
juga tidak memperhitungkan kebutuhan untuk menjaga hubungan TKW/TKI dengan
keluarganya, sehingga akibat-akibat yang terjadi bukan hanya berhenti pada
TKW/TKI-nya tetapi juga kepada keluarganya.
Kasus-kasus yang dikumpulkan oleh Yustitiana (2004)
Tidak semua
TKW/TKI pergi keluar negeri mencari uang, seperti yang dilakukan oleh Sr. Orang
tuanya terpandang di desanya, memiliki sawah tang luas, suaminya usaha bakso
yang cukup besar karena memiliki banyak anak buah yang memasarkan baksonya.
Suatu hari dia didatangi seorng calo yang mengajaknya bekeja ke luar negeri.
Karena rayuan calo dan 3 (tiga) orang temannya juga ikut, maka Sr mengambil
keputusan untuk ikut juga. Pada mulanya orang tua dan suaminya keberatan, tapi
keinginan Sr sudah bulat dan tidak bisa ditahan lagi. Setelah 11 bulan di Arab
Saudi Sr dipulangkan tanpa alasan oleh majikannya. Lagi pula upah yang dia
dapatkan di Arab Saudi tidak dapat menutup biaya yang telah dikeluarkan untuk
berangkat. Dari keempat TKW tersebut hanya satu yang beruntung, dapat
menyelesaikan kontraknya dan pulang dengan membawa uang. Setelah pulang,
hubungan antara Sr dan suaminya mulai retak, dan memulihkannya membutuhkan
waktu yang cukup lama.
Sp seorang TKW
yang bekerja di Arab Saudi menceritakan bahwa walaupun dia mengalami kemudahan
untuk menelpon suaminya karena dia punya HP sndiri dan suaminya juga disuruh
membeli HP supaya mudah dihubungi, tapi menurut pengalamannya, seringkali
suminya mematikan Hpnya sehingga dia sulit menghubungi. Lagi pula menurut dia
ketika dia menelpon, seringkali mereka bertengkar dari pada mengucapkan hal-hal
lain, mengemukakan kekangenannya atau kesehatan dan keadaan mereka serta
anak-anak mereka. Celakanya ketika Sp pulang suaminya tidak ada, dia bersama
dengan perempuan itu pergi tanpa bilang mau kemana. Ternyata mereka sudah punya
anak, dan anaknya ditinggal di rumah mertua. Akhirnya anak ini dirawat oleh Sp,
ibunya bekerja sebagai PSK. Sp ingin cerai, tetapi suaminya tidak mau, sampai
sekarang mereka masih menjadi suami istri.
Rb dan Kt
menikah pada tahun 1998, setahun setelah punya anak, atas persetujuan semua
keluarga, Kt bekerja sebagai PRT di Arab Saudi. Setelah 2 (dua) tahun,
kontraknya habis, Kt pulang selama 3 (tiga) minggu. Atas kesepakatan keluarga
pula Kt memperpanjang kontraknya. Pada masa bekerja yang kedua ini, suami Kt
kumpul kebo dengan keponakannya, yang kemudian dengan memakai uang kiriman Kt,
Rb dan keponakannya tersebut melarikan diri ke Sumatra .
Sebenarnya pada bulan ke delapan pada kepergian Kt yang kedua kalinya,
keluarganya telah memberitahukan ulah Rb tersebut kepada Kt, tapi Kt tidak
dapat pulang karena dia terikat kontrak. Setelah selesai kontrak Kt baru dapat
pulang.
Tm seorang
istri yang bekerja ke Arab Saudi. Dia
punya anak 2 (dua). Suaminya sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja. Di Arab
Saudi majikannya memperkosanya, sehingga dia hamil dan dipulangkan. Sampai di
rumah, suami dan keluarganya masih mau menerima anak tersebut dan merawatnya.
Pn dan An, suami istri, dimana istrinya bekerja ke
Arab Saudi. Ketika An bekerja yang kedua
kalinya, Pn kumpul kebo dengan tetangganya, ketahuan oleh masyarakat sekitarnya
dan dihukum untuk memperbaiki jalan (ngurug dalan) sepanjang 1 km. Setelah An
datang mereka bertengkar terus menerus.
Penutup
Dari
pengalaman beberapa TKW/TKI tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1. Penyebab dari bekerja ke luar negeri
kebanyakan dorongan ekonomi.
2. Keinginan untuk hidup menurut standar
merupakan dorongan untuk kembali bekerja di luar negeri lebih dari satu kali,
sehingga keharmonisan lama-lama juga terganggu.
3. Komunikasi merupakan masalah yang banyak
dialami, terutama oleh suami istri.
4. Kebutuhan seksual, kebanyakan dari suami,
eringkali menyebabkan keharmonisan rumah tangga terganggu.
5. Pengelolaan hasil tidak maksimal, karena
pemerintah tidak membuat program-program ekonomi kerakyatan (skala kecil) yang
jelas, termasuk meningkatkan ketrampilan keluarga TKW/TKI.
Rekomendasi:
Umu
Hilmy
Kepustakaaan
Syafa’at, Rachmat, dkk.2003; “Kaji Tindak
Model Alternatif Kebijakan Perlindungan Hukum dan Sosial Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) ke Luar Negeri di Kabupaten Blitar”; Laporan Penelitian;
dilaksanakan Pusat Pengembangan Hukum dan Gender bekerja sama dengan
Balitbangda Kabupaten Blitar.
Bud Yustitiana; 2004; “Implikasi Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Perempuan yang Bekerja di Luar Negeri terhadap
Keutuhan Perkawinan (Studi di Kabupaten Ponorogo)”; Sripsi; Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya.
Hilmy, Umu; 2001; “Poligami di Kalangan Buruh
Perempuan (Studi pada Buruh Industri dan Buruh Migran)”; Makalah yang
dipresentasikan dalam Seminar tentang “Sosial Ekonomi Buruh Migran Indonesia”
di Blitar yang dilaksanakan oleh kerjasama antara Balitbangda Kabupaten Blitar
dan Yayasan Sahabat Pekerja Migran pada bulan Juli 2002.
0 komentar:
Post a Comment