Thursday, June 13, 2013

Hubungan Asia Tengah dan Amerika Serikat

Hubungan Asia Tengah dan Amerika Serikat 
Bukti bahwa terdapat kepentingan strategis Amerika Serikat, lebih spesifik lagi berhubungan dengan kepentingan ekonomi strategis; bisa terlihat dari deviasinya saat menghadapi rezim otoriter di sub-kontinen ini dengan sangat bersahabat; padahal biasanya AS merupakan pengusung nilai-nilai demokrasi[1]. Jajaran pemerintah AS yang lekat dengan petinggi-petinggi perusahaan minyak pun menunjukkan betapa besar signifikansi energi bagi pembangunan AS. Menteri Luar Negeri AS saat ini, Condoleezza Rice, sebelumnya adalah salah seorang petinggi di perusahaan minyak terbesar AS, Chevron, pada 1991-1995 sebagai seorang pakar Uni Soviet. Saat itulah Chevron berhasil menguasai kue terbesar dari ladang minyak Tengiz, Kazakhstan, yang punya cadangan potensial 25 miliar barrel. Wakil Presiden Dick Cheney juga merupakan pucuk pimpinan perusahaan infrastruktur perminyakan Halliburton dan merupakan anggota Dewan Penasihat Tengizchevroil (TCO) di Kazakhstan, perusahaan perminyakan yang didirikan Pemerintah Kazakhstan setelah runtuhnya Soviet, dengan kepemilikan Chevron 50 persen, ExxonMobil 25 persen, dan Pemerintah Kazakhstan melalui KazMunazGas 20 persen, sisanya 5 persen dimiliki LukArco Rusia[2]

Tidak heran apabila dalam strategi global Amerika Serikat, Asia Tengah memegang posisi strategis. Terutama sejak tahun 1997 ketika AS mulai memprioritaskan kawasan ini dengan kebijakan “New Central Asia Strategy”[3]. Dalam strategi ini, AS berusaha membantu negara-negara baru merdeka di Asia Tengah untuk dapat keluar dari pengaruh Rusia dan benar-benar merdeka. Untuk megimplementasikan strategi ini, secara ekonomi AS berusaha menjadikan kawasan ini sebagai basis suplai energinya yang baru, dengan menanamkan investasi, bantuan ekonomi, dan pembangunan. Secara militer AS mulai memberikan bantuan militer berupa peralatan, pelatihan personil militer, latihan militer berkelanjutan dan akhirnya berusahan mendirikan pangkalan militer disana[4]. Hal ini berlanjut dengan intens pasca tragedi 11 September 2001, ketika AS mulai mengembangkan doktrin pertahanan baru dengan mengedepankan pre-emptive strike dan defensive intervention yang sangat berbeda dengan saat perang dingin yang menggunakan doktrin containtment dan deterrence[5]. Sejak itu, AS mulai aktif secara diplomatik, politik dan militer di Asia Tengah dan Uzbekistan menjadi sekutu kunci AS dengan mengijinkan pangkalannya dipakai oleh tentara AS[6] dan dengan cepat pengaruh militer AS meluas ke negara-negara Asia Tengah lainnya. Belum lagi invasi AS ke Afghanistan – yang tidak lepas dari kepentingan pembangunan pipa minyak, dijadikan justifikasi AS untuk menempatkan pasukannya dekat Bishkek serta meningkatkan tensi dengan Rusia. 

Hal itu dilakukan untuk mengejar sumber energi potensial di Laut Kaspia yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan industri AS. Jika dirunut satu persatu, Kazkhstan yang berpotensi menjadi satu dari lima teratas sebagai eksportir minyak, mengingat produksinya pada tahun 2002 mencapai 900.000 barel per hari dan dapat meningkat menjadi 5 juta barel per hari pada tahun 2015 hingga melebihi produksi Iran atau Kuwait. Turkmenistan merupakan salah satu negara yang mempunyai sumber gas alam terbesar di dunia, mencapai 101 trilyun kaki kabik dan produksi minyaknya 160.000 per hari. Sementara itu Tajikistan dan Kyrgistan menyimpan sumber alam yang dapat dijasikan pembangkit listrik tenaga air yang potensial untuk dapat memenuhi kebutuhan energi listrik di Asia Tengah, Afghanistan dan Asia Selatan[7]. Dari energi hidrokarbon, wilayah Kaspia memiliki cadangan hidrokarbon besar yang belum tersentuh. Cadangan gas terukur di Azerbaijan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan lebih dari 236 triliun kaki kubik. Cukup untuk melayani kebutuhan minyak Eropa selama 11 tahun[8]

Akan tetapi, sebagai landlocked countries, kawasan sekitar laut Kaspia terisolasi, menjadikannya sulit untuk mendistribusikan sumber-sumber energi ini untuk dapat mencapai pasaran dunia. Padahal, sumber daya energi Asia Tengah ini dapat menghadirkan tiga keuntungan baru, yakni bagi pasar dunia, kawasan dan Amerika Serikat[9]. Pertama, munculnya pasokan energi baru akan membuat pasokan di dunia menjadi beragam dan dapat mengendalikan harga minyak yang naik ketika permintaan akan minyak meningkat. Banyaknya pasokan minyak dari laut Kaspia akan mengamankan suplai minyak dunia (khususnya sekutu AS) karena suplai terbesar saat ini berasal dari teluk Persia (sebesar 66 %), dimana daerah tersebut rawan konflik dan politisasi sehingga menganggu pasokan energi dunia[10]. Kedua, apabila dikendalikan dengan baik, maka keuntungan dari penjualan minyak dan gas akan memperbaiki pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia Tengah, dimana kemampuan laut Kaspia untuk memasok energi pada pasaran dunia akan memperkuat prospek bagi pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik di kawasan tersebut. Ketiga, ada kesempatan yang sangat besar bagi perusahaan minyak multinasional AS dan negara-negara Barat untuk melakukan investasi pada minyak di laut Kaspia dan juga pada bidang-bidang lain. 

Meski demikian, tetap harus disadari bahwa kendala geografis – tidak ada jalan yang mudah untuk mengekspor energi posisinya yang terisolasi dan bergantung pada kerjasama dengan negara tetangga yang konfliktual dan ‘tidak dapat dipercaya’ secara politis oleh AS; kendala teknologi dan biaya transportasi, kurangnya sumber daya manusia, masalah politik dan instabilitas domestik, serta minimnya perangkat hukum untuk melindungi para investor, juga menghambat kertumbuhan ekonomi wilayah ini. 

Ditulis Oleh : Unknown // 10:32 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment