Kepentingan Nasional AS perspektif Global
Tujuan jangka panjang yang akan dicapai AS, sesuai dangan apa yang digariskan dalam “Strategi Kebijakan Nasional Amerika Serikat”, adalah ingin menciptakan dunia yang tidak saja aman, namun lebih baik yang bertujuan: kebebasan ekonomi dan politik, hubungan yang serasi dengan negara lain, penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya AS akan bekerjasama dengan pihak lain untuk menghindari konflik regional, menciptakan era baru bagi pertumbuhan ekonomi global lewat pasar dan perdagangan bebas, dan lain-lain[1]. Menurut Anthony Lake, pada periode pasca Perang Dingin pemerintah AS perlu menemukan komponen-komponen baru bagi kepentingan nasionalnya. Lake menggariskan tujuh aspek kepentingan nasional AS yakni[2]: (1) untuk mempertahankan AS, warga negaranya di dalam maupun luar negeri, para sekutu AS dari berbagai bentuk serangan langsung; (2) untuk mencegah timbulnya agresi yang dapat mengganggu perdamaian internasional; (3) untuk mempertahankan kepentingan ekonomi AS; (4) untuk mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi; (5) untuk mencegah proliferasi senjata nuklir; (6) untuk menjaga rasa percaya dunia internasional terhadap AS. Untuk itu AS harus selalu mempertahankan komitmen-komitmen internasionalnya. (7) memerangi kemiskinan, kelaparan serta pelnggaran terhadap hak-hak asasi manusia
Refleksi Kepentingan Jangka Pendek, Mennengah, dan Panjang AS
Menurut Holsti, kepentingan nasional diidentifikasikan dalam tiga klasifikasi, yaitu (1) kepentingan dan nilai inti; (2) tujuan jangka menengah; dan (3) tujuan jangka panjang[3]. Pertama, kepentingan dan Nilai Inti. Kepentingan ini bisadigambarkan sebagai jenis kepentingan yang untuk mencapainya kebanyakan bersedia melakukan pengorbanan sebesar-besarnya. Kepentingan dan nilai inti merupakan tujuan jangka pendek, karenatujuan lain jelas tidak dapat dicapai apabila unit politik yang mengejarnya tidak dapat mempertahankan eksistensinya[4]. AS menganggap kawasan Asia Tengah sebagai kepentingan, maka tidak sedikit sumberdaya yang telah dikeluarkannya demi mempertahankan eksistensinya secara ekonomi, politik dan militer di kawasan Asia Tengah karena dalam pandangan AS wilayah ini sangat strategis dan akan menguntungkan di kemudian hari bagi kepentingan nasional AS.
Kedua, Tujuan jangka menengah. Dalam tujuan ini, (1) akan mencakup usaha pemerintah memenuhi tuntutan perbaikan ekonomi melalui tindakan internasional; (2) meningkatkan prestise negara di dalam sistem itu sendiri, dimana saat ini prestise sebuah negara diukurdari perkembangan tingkat industri dan teknologinya; dan (3) mencakup bentuk perluasan diri atau imperialisme, negara lain tidak menduduki wilayah asing, tetapi mencari keuntungan, termasuk akses pada bahan mentah, pasar dan rute perdagangan yang tidak dapat mereka perolehdari perdagangan biasa dan diplomasi[5]. Pengendalian dan akses ekslusif mungkin diperoleh melalui kolonisasi, protektorat, satelit atau lingkup pengaruh. Perluasan diri secara ideologis juga lazim dalam banyak bentuk, dimana wakil pemerintah berusaha mempromosikan nilai politik, ekonomi dan sosialnya sendiri di luar negeri. AS sebelum dan pasca perang serangan 11 September 2001, sedang dalam krisis ekonomi yang cukup parah sehingga memerlukanlangkah-langkah untuk membantu mengatasi masalah dalam negerinya.Seperti AS mendukung kepentingan sejumlah Multinational Corporation (MNC) di luar negeri demi mendorong perluasan perdagangan atau akses umum pada pasar luar negeri, dalam hal ini tentu saja pemerintah AS mendapat pengaruh dari kelompok kepentingan ekonomi untuk mengambil kebijakan ini. Terutama MNC dalam eksplorasi minyak dan gas atau non-migas. Ketiga, Tujuan Jangka Panjang. dalam tujuan ini, impian dan pandangan tentang organisasi ideologi terakhir sistem internasional,aturan yang mengatur hubungan dalam sistem tersebut dan perannegara tertentu di dalamnya (Ibid, 147).
Implementasi Kebijakan AS di Asia Tengah
Melihat kenyataan tersebut, maka inti keptingan nasional yang ingin dicapai di Asia Tengah sebenarnya meliputi beberapa hal, yaitu: (1) untuk mencegah munculnya kembali “ideologi ekpansionisme Rusia yang radikal”, yang akan menciptakan kembali konfrontasi nuklir dunia; (2) mencegah atau mengisolir konflik yang terjadi; (3) mencegah pengembangan senjata nuklir; (4) mencegah gerakan radikal anti-barat dalam bentuk Islam politik; (5) untuk mendorong timbulnya demokratisasi dan menjujung tinggi hak-hak asasi manusia; dan (6) membolehkan Amerika Serikat untuk berperan dalampembangunan ekonomi, khususnya akses pada bahan mentah[6].
Peristiwa 11 September 2001, kepentingan AS di Asia Tengah mengalami beberapa revisi khususnya mengenai masalah keamanan regional, dimana AS memfokuskan pada perang terhadap terorisme internasional dan mencegah agar negara-negara di kawasan tersebut tidak menjadi tempat perlindungan para teroris. Dengan demikian, politik luar negeri AS di Asia Tengah bertujuan untuk mencapai kepentingan nasionalnya, seperti menjaga stabilitas keamanan regional dari aksi-aksi terorisme (keamanan), mengamankan suplai minyak Asia Tengah dan kemudian memasarkannya ke pasaran internasional (ekonomi), dan mengenalkan nilai-nilai demokratisasi dan hak-hak asai manusia, sehingga diharapkan akan terjadi reformasi dalam bidang politik.
Munculnya Asia Tengah sebagai kawasan strategis dan kaya akan cadangan sumber alam, mendorong beberapa kekuatan besar untuk bersaing mencari pengaruh demi kepentingan strategisnya. Melihat situasi demikian, AS dan negara-negara lainnya telah “menduduki” beberapa posisi strategis di kawasan ini dengan membawa modal dan teknologi yang diimplementasikan dalam agenda politik luar negerinya untuk mencapai kepentingan nasional. Jika dilihat dengan seksama, kepentingan nasional AS di kawasan Asia Tengah dimana prioritas mencegah bangkitnya ideologi ekspansionis Rusia yang radikal di kalangan negara-negara bekas Uni Soviet yang dapat menimbulkan konflik nuklir global, mengisolir konflik yang terjadi di kawasan tersebut yang dikhawatirkan akan meluap ke negara tetangga, mencegah pengembangan senjata nuklir, mencegah berkembangnya paham radikal anti-Barat dalam bentuk Islam politik, mendorong berkembangnya hak-hak asasi manusia, demokrasi, sistem perekonomian pasar bebas dan lingkungan dunia yang bersih; adalah tujuan yang berkisar pada agenda pasca perang dingin[7].
Agenda tersebut akhirnya bergeser kepada bagaimana AS untuk berperan dalam pembangunan ekonomi, khususnya akses pada bahan mentah, serta membendung pengaruh Rusia dan Iran dan menempatkan kawasan ini sebagai lingkungan pengaruh dalam kepentingan strategis AS[8]. Setelah peristiwa 11 September, pergeseran prioritas kepentingan nasional AS terfokus pada perang melawan terorisme, meskipun secara umum idealismenya tetap sama. Sedang secara luas, tujuan AS mencakup tiga kepentingan strategis, yaitu: keamanan regional, reformasi politik dan ekonomi, dan pembangunan ekonomi[9].
Dalam bidang keamanan regional, AS mendorong negara-negara di kawasan Asia Tengah untuk saling bekerjasama, karena Asia Tengah menghadapi ancaman transnasional yang serius, umumnya berasal dari Afghanistan. Ancaman itu berupa gerakan kelompok teroris, Islam ekstrimis, penyelundupan narkotika dan senjata. Masalah-masalah politik-agama merupakan alasan pertama negara-negara Asia Tengah bergabung dengan koalisi anti terorisme pimpinan AS mengingat mayoritas negara di kawasan itu sering terlibat kekerasan sebagai akibat gerakan Islam domestik, yang mempunyai hubungan dengan Taliban dan Al-Qaeda[10]. Dengan mendukung AS dalam berperang melawan terorisme internasional, negara-negara ini ingin menumpas kelompok-kelompok ekstremis tersebut tanpa mendapat kritikan dunia internasional dan organisasi HAM lainnya, sekaligus mengatasi masalah kurangnya dana dan sumber daya militer[11].
Dari tujuan reformasi politik dan ekonomi, pada dasarnya, Amerika ingin mendorong demokratisasi dan dari institusi politik dan membangun sebuah sistem perekonomian pasar bebas agar tidak menghalangi investor dan pedagang asing, termasuk AS. Namun, sayangnya reformasi berjalan lambat. Pemerintah Turkmenistan tetap menjadi salah satu rezim represif, di Uzbekistan presiden Islam Karimov dengan tegas menolak reformasi ekonomi yang ditawarkan AS, dan meskipun Kazakhstan menyuarakan isu-isu demokrasi namun pengkapan terhadap kelompok oposisi, media massa dan aktivis NGO terus dilakukan. Serta Kyrgistan yang pernah menjadi pemimpin regional dalam hal demokratisasi dan pasar bebas, namun dalam dua tahun terakhir mengalami kemunduran[12]. Sedang Tajikistan, karena pemerintahan pusat yang kurang kuat, justru melahirkan kebebasan pers, keragaman partai politik, dan demokrasi.
Janji akan imbalan ekonomi jika mendukung perang AS melawan terorisme menjadi motivasi negara-negara kawasan Asia Tengah, karena situasi ekonomi kawasan tersebut (kecuali Kazakhstan) sulit pulih dari krisis paska lepas dari Soviet tanpa bantuan asing. Bantuan ekonomi AS berkontribusi besar[13] meski tarif untuk menyediakan pangkalan militer juga merupakan sumber pendapatan tersendiri bagi negara-negara tersebut[14]. Negara-negara Asia Tengah juga membutuhkan bantuan untuk mengekspor barang-barang dan sumber daya alamnya agar bisa menembus pasar internasional karena wilayahnya terisolasi.
Meski kehadiran militer AS di kawasan itu adalah untuk mengamankan kepentingan sumber energi, namun jika AS membangun pipa minyak dan gas dari Asia Tengah ke luar, hal itu tidak saja menguntungkan AS tetapi juga negara-negara Asia Tengah karena mendapatkan keuntungan ekonomis. Pembangunan jalur pipa minyak dari Asia Tengah yang melintasi Afghanistan menuju teluk akan membawa penghasilan, lapangan kerja, pelatihan dan pendidikan baik bagi rakyat Afghanistan dan Asia Tengah[15].
0 komentar:
Post a Comment