AGAMA DAN GLOBALISASI
Oleh Pdt. Tony Tampake
1. Pengantar.
Dunia kita sudah,
sedang, dan akan terus berubah. Kemajuan teknologi informasi dan jaringan
komunikasi massa di abad ini telah membuat kehidupan di atas planet bumi
menjadi terintegrasi ke dalam sebuah komunitas global yang polisentris,
multi-kultural dan multi religius. Manuel
Castelo menyebut masyarakat ini sebagai “Network
Society” yang dicirikan oleh globalisasi ragam aktivitas ekonomi dan
transformasi sejarah.
Globalisasi sebagai
sebuah proses sejarah dan sekaligus sebuah proyek ekonomi tentu saja memberi pengaruh terhadap struktur sosial dan
tingkat kesejahteraan manusia. Ada pengaruh
yang bersifat positif seperti tersedianya informasi yang dapat diakses
secara cepat, massif, dan ekonomis serta terjalinnya kehidupan manusia oleh
jaringan komunikasi dan transaksi global. Namun ada pula pengaruh yang bersifat
negatif seperti persaingan sosial, budaya, agama, politik, dan bisnis. Menguatnya
sentiment antar suku, ras, agama, dan bangsa-bangsa di beberapa tempat,
melebarnya kesenjangan dan ketimpangan ekonomi antara yang kaya dengan yang
miskin, dan kerusakan lingkungan alam
akibat eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam yang berlebihan adalah
dampak-dampak negatif dari proses sejarah dan proyek ekonomi global yang sedang
berputar sekarang ini.
Dalam konteks perubahan
inilah kita akan mengkaji secara positif, kritis, dan konstruktif peran agama-agama
sebagai sumber moral, etika, dan
spiritual bagi kehidupan manusia. Namun sebelum itu, kita akan mencoba untuk
memahami realitas dan permasalahan globalisasi yang aktual sekarang ini. Makalah
ini akan diakhiri dengan paparan tentang solusi etik yang ditawarkan oleh
agama-agama pada umumnya dan kekristenan pada khususnya dalam meredam dampak
negatif globalisasi terhadap kehidupan manusia.
2. Memahami Globalisasi dan Permasalahannya.
Globalisasi sering dipandang sebagai sebuah konsep kolektif yang mencakup dimensi-dimensi tertentu, seperti yang dapat dilihat melalui pemaknaan berikut ini:
- Globalisasi sebagai internasionalisasi. Definisi ini menekankan relasi saling tergantung antar negara dalam bidang ekonomi dan perdagangan.
- Globalisasi sebagai Liberalisasi. Definisi ini merujuk pada upaya negara-negara kapitalis besar untuk menembus proteksi ekonomi negara-negara lain dalam rangka terciptanya sebuah pasar bebas dan dunia ekonomi tanpa batas.
- Globalisasi sebagai universalisasi. Segi ini berhubungan dengan upaya negara-negara atau asosiasi bisnis multinasional dalam memasarkan produknya.
- Globalisasi sebagai westernisasi. Dengan sudut pandang ini, struktur sosial kapitalisme, konsumerisme, materialisme, dan hedonisme diwacanakan sebagai sebuah opini dunia yang terbaik, sehingga tak jarang membawa perubahan yang radikal pada tatanan sosial dan nilai-nilai kultural suatu bangsa.
- Globalisasi sebagai deteritorialisasi. Dalam perspektif ini pergaulan manusia sejagad tidak dapat lagi dibatasi oleh pagar-pagar geografis, bahasa, budaya, idelogi, dan agama. Masyarakat dunia telah melebur menjadi satu komunitas sejati.
Menurut Dewan Gereja-Gereja se Dunia (DGD), globalisasi dapat dilihat sebagai suatu proses sejarah yang multi wajah dan sebagai suatu proyek ekonomi dan politik kapitalisme global yang destruktif. Ia sedang mendekatkan dan menyatukan semua orang di “globe” ini ke dalam sebuah sistem ekonomi, sosial, budaya, politik yang terintegrasi dan termediasi oleh teknologi dan komputerisasi informasi.
Sosiolog seperti Manuel
Castelo melihat adanya tiga proses yang menjadi momentum globalisasi, yaitu:
Ø Revolusi
teknologi informasi,
Ø Krisis
ekonomi yang disusul oleh lahirnya sistem neo-liberalisme,
Ø Berkembangnya
gerakan-gerakan sosial budaya.
Interaksi antara ketiga
proses ini dan cetusan-cetusan reaktifnya menimbulkan sebuah strutktur sosial
dominan yang baru yang disebut “network
society”, ekonomi global baru, dan budaya baru. Anthony Giddens memahami
globalisasi tidak sekedar sebuah fenomena ekonomi dan tidak dapat disamakan
dengan munculnya sebuah tata dunia baru, akan tetapi yang jauh lebih mendasar
adalah bahwa globalisasi adalah sebuah proses transformasi kehidupan individu
dan komunitasnya. Hal ini terkait dengan
munculnya media-media konsumsi baru yang menawarkan secara massif
identitas-identitas dominan global bagi individu dan komunitas lokal. Oleh
sebab itu Globalisasi dapat dilihat sebagai sebuah konsep kolektif yang mau
menjelaskan ragam fenomena sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang terjadi
pada millenium ketiga ini.
Akhir-akhir ini
globalisasi mulai disikapi secara kritis oleh para sosiolog, budayawan, dan
ulama. Hal ini terkait dengan persoalan-persoalan sosial, budaya, ekonomi, dan
politik yang disebabkan oleh globalisasi tersebut.
a.
Masalah
Kemiskinan dan Kesenjangan di era Globalisasi.
Krisis ekonomi yang melanda dunia, khususnya di
Eropa pada pasca Perang Dunia II telah memunculkan sebuah konsep ekonomi yang
baru yang disebut Neo-liberalisme. Konsep
ekonomi ini lebih mementingkan modal swasta yang dinamakan “pasar” yang tidak
terkekang untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan meningkatkan
pertumbuhan. Ia kemudian menggerakan kapitalisme neoliberal dan globalisasi
neoliberal sehingga pemerintahan
nasional tidak berdaya melindungi barang dan jasa publik. Dengan demikian
fungsi negara dan pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan sosial yang
berdasarkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan kesetiakawanan hilang.
Ideologi politik ekonomi inilah yang menjadikan
orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Atau dengan kata lain,
ia telah memperlebar kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta memperjelas
ketimpangan dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Para pengusaha mendapat
keuntungan yang berlipat ganda sementara para buruh menderita di dalam
kemiskinan mereka. Negara-negara kaya semakin kaya karena dapat menguasai
modal, sistem produksi dan distirubusi barang/jasa melalui
perusahaan-perusahaan multinasional, sementara negara-negara miskin terbelit
hutang dan menjadi tergantung terhadap negara-negara kaya.
Peran pemerintah dalam mengawasi sistem produksi dan
sistem distribusi barang/jasa demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat menjadi
lemah oleh liberalisasi ekonomi dan
sistem pasar bebas. Data yang dikeluarkan oleh UNICEF menunjukan dengan jelas
bahwa seperlima orang terkaya di dunia mengkonsumsi 45 persen sumber protein
dunia, sementara seperlima orang termiskin hanya mengkonsumsi 5 persen.
Seperlima orang terkaya mengkonsumsi 58 persen dari total energi, sementara seperlima
orang miskin mengkonsumsi kurang dari 4 persen.
Pada dekade ini ada 7,7 juta orang kaya yang
memiliki kekayaan lebih dari 1 juta dolar AS. Jumlah kekayaan mereka mencapai
28,9 triliun dolar AS. Tetapi tragis, pada saat yang sama 840 juta orang di
dunia menderita kelaparan. Enam juta anak-anak di bawah usia lima tahun
meninggal setiap hari karena kelaparan. 1,2 milyar orang di dunia bertahan
hidup dengan pendapatan kurang dari 1 dolar AS setiap hari. 12 juta orang
meninggal setiap tahun karena kekurangan air dan 1,1 milyar tidak mempunyai
akses air bersih. 40 juta orang mengidap AIDS. Lebih dari 113 juta anak-anak di
dunia berkembang tidak mengenyam pendidikan dasar. 60 persen di antaranya
adalah anak-anak perempuan. Di negara-negara miskin usia harapan hidup hanya
sekitar 38 tahun, sementara di negara-negara maju usia harapan hidup mencapai
80 tahun. Asset 200 orang terkaya di dunia bernilai lebih dari total pendapatan
tahunan 41 persen penduduk dunia. UN Human Development Index menyatakan bahwa
20 persen orang kaya dari total penduduk dunia memperoleh 150 kali kekayaan
dari 20 persen orang termiskin.
Institute for Global Justice (IGJ) dalam sosialisasi
dan kritiknya terhadap globalisasi dan dampaknya bagi Indonesia menunjukkan
secara gamblang kemiskinan dan penderitaan para buruh pabrik yang bekerja “overtime” tetapi dengan upah yang tidak
dapat diandalkan untuk menopang kehidupan pribadi apalagi keluarganya sendiri.
Sebagai hal yang tragis dilaporkan bahwa apabila gaji semua buruh pabrik sepatu
Nike yang ada di Indonesia dijumlahkan, bayaran terhadap Tiger Woods sebagai
bintang iklan sepatu Nike masih jauh lebih besar. Sedemikian halnya dengan
sebuah keluarga kaya di Jakarta yang melangsungkan resepsi pernikahan di salah
satu hotel berbintang dengan biaya lebih dari satu milyar yang dalam dua jam
habis seketika, sementara itu ada lebih dari 70 juta orang di Indonesia hidup
dalam kemiskinan dan kelaparan.
b.
Masalah
Konsumerisme dan Materialisme di Era
Globalisasi.
Di bidang sosio kultural, globalisasi menghasilkan
ragam media konsumsi baru yang segera menjadi godaan dan tantangan bagi setiap
individu dan masyarakat dewasa ini. Beberapa
media konsumsi baru yang umum dapat ditemukan dalam masyarakat kita
adalah restoran makanan cepat saji (KFC, McDonald, Pizza Hut, Starbucks Coffee),
produk-produk eksklusif perusahaan multi nasional (GAP, Nike, Adidas, Levi’s,
Reebok, Calvin Klein Jeans), Supermarket dan Mall (hypermart dan carefour), jaringan
televisi global, dan telephone seluler (Nokia, Siemens, Samsung, Motorola, LG,
D-One). Ragam media konsumsi baru ini menyediakan identitas global dominan yang
praktis, ekonomis, dan trendy serta
dapat menaikan prestise individu di dalam masyarakat. Karena itu maka
kecenderungan orang untuk meraih identitas global dominan tersebut kelihatan
dengan jelas melalui penambahan jumlah restoran cepat saji, pembangunan mega
mall, maraknya iklan di berbagai media,
dan meledaknya jumlah pemakai telephone seluler dan jaringan internet. Atau
sebaliknya, karena tidak setuju dan merasa terancam dengan identitas dominan
tersebut, maka orang melakukan resistensi dengan cara yang membangkitkan
semangat primordialisme yang radikal.
Proses sejarah dan proyek ekonomi yang sedang
berjalan dewasa ini melahirkan sebuah gaya hidup dan budaya global (Global Culture) yang merasuki setiap
sudut dunia dan mempengaruhi setiap orang. Budaya ini biasa disebut sebagai budaya pop (Pop culture) yang menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik
melalui reklame di media TV dan internet. Budaya pop inilah yang menjadi
momentum utama menguatnya paham dan gaya hidup konsumerisme ala Amerika.
Orang berlomba-lomba untuk meraih identitas dominan
dari berbagai media konsumsi baru tersebut yang diekspor oleh negara-negara
kapitalis seperti Amerika. Seseorang akan merasa memiliki prestise di tengah
komunitasnya apabila ia mempunyai akses dengan simbol-simbol identitas dominan
tersebut. Misalnya saja, adalah sebuah kebanggaan apabila seseorang dapat
berakhir pekan di sebuah mega mall, terlebih lagi apabila ia dapat membeli beberapa
barang eksklusif dan makan di lobi-lobi
mall tersebut. Seseorang akan merasa terpandang
apabila berbelanja di mall dengan memakai kartu kredit. Seorang mahasiswa akan
merasa percaya diri apabila pergi ke kampus dengan memakai produk perusahaan
terkenal seperti Adidas, Nike, Live’s, Reebok, Calvin Clein Jeans, GAP atau
yang lainnya yang dibelinya dari sebuah mall.
Inilah gaya hidup global dengan sebuah budaya baru yang disebut “Mallcondo culture.” Budaya material yang baru ini melahirkan
sebuah penyakit sosial yang baru yang disebut “affluenza”, sebuah istilah yang dipakai oleh para kritikus sosial
terhadap materialisme dan konsumerisme ala Amerika. Gejala “affluenza” kelihatan melalui kegelisahan
dan stress yang dialami oleh orang-orang yang tidak bisa mengendalikan
keinginan untuk berbelanja dan memakai produk-produk eksklusif yang dibeli di
mall sehingga harus mengabaikan kebutuhan-kebutuhan pokok, meminjam uang dan
menanggung tagihan kartu kredit yang tidak dapat terbayarkan lagi.
c.
Masalah
Militerisme dan Terorisme di Era Globalisasi.
Dalam konteks sosial politik, globalisasi tidak
dapat dilepaskan dari semangat militerisme. Negara-negara maju yang merasa
kepentingannya terancam oleh negara-negara lain akan mengembangkan sistem
pertahanan dan keamanan dengan kekuatan senjata dan mereka tidak segan-segan untuk
melakukan aksi offensif terhadap negara lain. Sementara negara-negara miskin
dan berkembang terpaksa melakukan resistensi dan perlawanan dengan pendekatan dan
metode terorisme. Infasi Amerika di Irak secara populer diperkenalkan sebagai
upaya untuk menghentikan proyek senjata pemusnah masal dan demi membela
serta menegakan sistem demokrasi. Akan
tetapi pada akhirnya sulit untuk dibantah kalau infasi tersebut terutama
berkaitan dengan kepentingan politik dan ekonomi Amerika dan Barat di Timur
Tengah. Amerika dan Barat ingin tetap menguasai sumber-sumber energy
konvensional dan mengamankan kelompok-kelompok radikal yang mengancam kepentingan dagang mereka di Timur Tengah.
Selama masa pemerintahan George W. Bush, Amerika
melakukan sejumlah besar operasi militer di Irak dan Afghanistan dengan
melibatkan sejumlah besar tentara dan menghabiskan sejumlah besar biaya untuk
perang. Hasil yang diperoleh dari aksi
militerisme tersebut bukanlah kedamaian dan kesejahteraan, tetapi meningkatnya
aksi-aksi kekerasan dan aksi-aksi terror berdarah yang memakan sejumlah besar
korban jiwa yang tidak bersalah.
d.
Masalah
Pluralisme dan Eksklusifisme Agama.
Dalam konteks sosial keagamaan, globalisasi melahirkan
masyarakat polisentris yang multi kultural dan multi religius. Istilah-istilah
ini menunjuk tersedianya ruang publik yang lapang bagi keberadaan ragam
identitas sosial seperti budaya, agama, ras, dan gender dalam proses interaksi
yang setara dan koperatif. Dalam konteks kehidupan semacam ini maka
satu-satunya jalan bagi terciptanya keadilan, perdamaian, dan integritas
ciptaan adalah persaudaraan dan persahabatan di dalam perbedaan. Namun sayang
sekali, di beberapa tempat visi ini tidak dapat diwujudkan, karena alih-alih
menumbuhkan semangat dan sikap toleransi
yang inklusif transformatif, komunitas-komunitas primordial justru
mempertebal kesadaran subjektif universalistik dan
eksklusifisme yang radikal. Karena itu tidak jarang masyarakat mengalami
konflik terbuka atas nama identitas primordial seperti agama.
Di pihak lain, globalisasi dengan visi
multi-kultural dan multi-religiusnya mengancam identitas-identitas lokal dan
primordial. Tidak sedikit orang yang mengalami krisis identitas dan kehilangan
orientasi nilai-nilai moral, etika, dan spiritual. Dalam konteks inilah peluang
bagi lahirnya gerakan-gerakan keagamaan baru terbuka dengan lapang. Sistem
kepercayaan dan komunitas iman yang lama ditanggalkan dan ditinggalkan lalu
berpaling pada agama-agama modern yang bersifat mistik personalistik atau sebaliknya
rasionalistik materialistik. Kedua kategori agama modern ini bersifat
artifisial dan menjauhkan manusia dari eksistensi dan transendensi dirinya.
David Ray Griffin mengatakan bahwa globalisasi telah membuat kita terancam oleh
bahaya kehilangan banyak kualitas penting. Manusia dapat terlempar di dalam
kekosongan tak bermakna dan menjadi makhluk asing bagi dirinya dan bagi
lingkungannya.
e.
Masalah
Lingkungan.
Ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagai salah satu motor penggerak proses globalisasi telah
mengancam kelestarian dan keseimbangan alam sebagai tempat tinggal yang aman
dan sehat bagi manusia. Muncullah ragam masalah lingkungan seperti pemanasan
global, penipisan sumber daya alam, punahnya keanekaragaman hayati, dan polusi
tanah, air, dan udara. Sebagai akibatnya bumi bukan lagi tempat yang aman untuk
didiami.
Dengan memahami globalisasi dan berbagai
permasalahan yang ditimbulkannya maka menjadi jelas bagi kita bahwa globalisasi
harus disikapi secara positif, kritis, realistis, dan konstruktif. Pertanyaan
yang urgen dan krusial bagi agama-agama sebagai dasar dan pilar kehidupan
moral, etika, dan spiritual masyarakat
adalah sikap-sikap etis dan praktis seperti apakah yang ditawarkan oleh
agama kepada masyarakatnya?
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut maka dalam pasal
yang berikutnya akan dipaparkan beberapa prinsip etis dan konsep pembangunan
yang dipikirkan oleh kekristenan dalam konteks globalisasi.
Kepustakaan
Castello, Manuel. The Power of Identity. Oxford: Blackwell Publishing, 2004.
Cobb, Kelton Theology and Popular Culture. Oxford: Blackwell Publishing, 2005.
Dewan Gereja-Gereja Se-Dunia. Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi.
Diterjemahkan oleh Boni Sagi & Nina Hutagalung. Jakarta: PMK HKBP, 2006.
Kung, Hans & Karl Josef Kuschel. Etik Global. Diterjemahkan oleh Ahmad Murtajib.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Ritzer, George. “The Postmodern Social Theory”. Diterjemahkan oleh Muhammad Taufik,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.
Seabrook, Jeremy. Kemiskinan Global, Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme. Yogyakarta:
Resist Book, 2006.
Stuckelberger, Christoph (Ed.), Responsible Leadership, Global dan Contextual Ethical
Perspective. Geneva: WCC, 2007.
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2004.
Therik, Tom. “Masa Depan Agama dalam Budaya Global”. Makalah dalam Seminar Agama- Agama – PGI Cipayung Bogor, September 2008. (Tidak dipublikasikan)
0 komentar:
Post a Comment