Hubungan Masyarakat Madani dan
Negara
Dalam
pengembangan konsep masyarakat madani para intelektual Muslim menjadikan
Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil
society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa
mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum
(Azizi, 2000: 87).
Kalau kita melihat secara jeli
masyarakat madani yang diciptakan Nabi berbentuk suatu negara, sehingga tidak
sepenuhnya benar bila kita ingin mewujudkan masyarakat madani berati menjadikan
kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah seperti yang terjadi di Amerika. Kesan
tersebut muncul karena konsep civil
society lahir bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan:
Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16
di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar
sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48):
…the state
as an association between the members of a society rather than as the personal
domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all
the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of
the state as an association between all members of a society means ascribing to
it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate
social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a
role, and if it is to be a genuine association between all members of the
community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon
the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which
rulers are related to the ruled.
Dari
penjelasan di atas Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup
dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the problem of the
relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait dengan tema
kedua itu, yaitu;
…how
government should ralate to the private, individualist world of civil society
organised around commodity production, individual exchange and money; what
policies and puposes it should pursue and how the general interest should be
defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to
be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was
seen as a sphere which included but also transcended civil society and
countered its harmful effects. These different conceptions were later to form
one of the major dividing lines in modern liberalism.
Hegel dan Rousseau memandang negara
modern lebih dari sekedar penjamin bagi berkembangknya civil society, karena
negara modern didirikan atas dasar persamaan semua warga negara, maka negara
tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti
penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya;
melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan
pada individu melainkan pada kehidupan bersama (Gamble, 1988: 56).
Adam
Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan
kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena
dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai
perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk
memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik (Azizi, 2000:
88-89), yaitu:
(1)
the freedom to form and join organizations, (2)
freedom od expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public
office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes,
(6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7)
free and fair elections, and (8) institutions for making government policies
depend on votes and other expressions of preference.
Dari delapan karakteristik
demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara
mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani.
Penggunaan
istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan pada
nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban
modern. Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan
alasan seperti yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90).
Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk
dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara
dunia mitos dan dunia modern.
Era Reformasi yang melindas
rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai
presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat
madanikarena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang
konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres
No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu dengan tugas
untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep
masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang
menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi.
Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari
gerakan Reformasi yang sudah muak dengan pemerintahan militer Soeharto yang
otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan
konsep civil society dengan tema
pokok Hak Asasi Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari
ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua
Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam
mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam
politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan
Soeharto. Dengan demikian pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah
satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian
konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi,
agamawan, dan media massa
karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi
yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.
Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar
Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999)
yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan
atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman
dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan
terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi
kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada
aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga
demokrasi, terutama pelembagaan politik, disamping birokrasi yang efektif, yang
menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.
Keteganggan di Indonesia tidak hanya
dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa
terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka.
Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan
ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan
pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan kerusuhan sosial yang sering
membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum
dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), disamping penegakkan hukum
yang masih belum memuaskan.
Gus Dur memerankan diri sebagai
penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang
dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun
kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada
toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat
Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983),
tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv).
Oleh karena itu Gus Dur sangat mendukung dialong antar agama/antar imam, bahkan
ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembagai yang bernama Interfidie, yaitu
suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antar
agama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang
berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan dan ketulusannya
untuk pengabdian pada sesama (Effendi, 1999).
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan
sebuah problem tentang prospek Masyarakat madanidi kalangan NU karena NU yang
dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini
telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi
tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam
konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal
bahwa timbulnya civil society pada
abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus
memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara
ataupun melakukan sesuatu yang tidak didapat dilakukan oleh negara, misalnya
pengembangan pesantren Rumadi, 1999: 3). Sementara Gus Dur harus mendukung
terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat
madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas
kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).
4. Simpulan
Ekses
dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal
21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu
terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman
dalam berdemokrasi sehingga pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi
hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah
distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan,
bukan pada aturan main
Konsep
civil society lahir di Eropa pada
abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Lahirnya konsep ini
berbarengan dengan lahirnya konsep negara modern, yaitu bertujuan untuk
menghindari pemerintahan yang absolut. Dengan kata lain mereka ingin mewujudkan
masyarakat yang demokratis. Untuk mewujudkan negara demokratis tidak dapat
dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik
juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang
menjadi kewajiban negara modern.
Kalau kita menerjemahkan civil society dengan referensi model
pemerintahan Nabi Muhammad SAW periode Madinah maka kita tahu bahwa Nabi
bertindak juga sebagai kepala negara. Hal ini menunjukkan tidak perlu
mempertentangkan antara negara dengan masyarakat madani. Contohnya Gus Dur yang
menjadi pelopor strategi Islam budaya, kini dalam jabatan sebagai presiden
harus menciptakan pemerintahan yang demokratis supaya masyarakat madani juga
berkembang pesat.
Daftar Pustaka
Abdillah, Masykuri.
1999. Islam dan Masyarakat madani. Kompas
Online. 27 Februari 1999.
Abdurrahman, Moeslim. 1999. Peran Masyarakat Akademis sebagai Bagian
Masyarakat madani. Kompas Online. 29
dan 30 April 1999 .
Ahmadi, H. 2000.
Reformasi Sistem Pendidikan Islam dan Era Reformasi: Telaah Filsafat
Pendidikan. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Azizi, A Qodri
Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian
Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Dabashi, Hamid. 1993. Theology of Discontent: The Ideological
Foundation of the Islamic Revolution in
Iran .
New York and London : New York University
Press.
Departemen Agama.
1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang :
PT Tanjung Mas Inti.
Hamim, Thoha. 2000.
Islam dan Civil society (Masyarakat
madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious
Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hikam, Muhammad
A.S. 1999. Telaah tentang Kebebasan di Indonesia Menjelang Tahun 2000. Dalam ABRI dan Kekerasan. Yogyakarta :
Interfidie.
Gamble, Andrew.
1988. An Introduction to Modern Social
and Political Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd.
Hidayat, Komaruddin
dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over:
Melintas Batas Agama. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv.
Ismail SM. 2000.
Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat madani. Dalam Ismail
SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Ismail, Faisal.
1999. NU, Gusdurism, dan Politik Kyai.
Yogyakarta : Tiara Wacana.
Madjid, Nurcholish.
1998. Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam. Dalam Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
McKeon, Richard.
1990. Freedom and History and Other
Eassys. Chicago :
The University of
Chicago Press.
Mas’ud,
Abdurrahman. 2000. Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat “Madani”. Dalam
Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan
Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Rumadi. 1999. Civil
Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas
Online. 5 November 1999 .
Schacht, Joseph and
C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of
Islam. London :
Oxford University Press.
Wahid, Abdurrahman.
1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian
(eds.). Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta : BP 7 Pusat.
Wahid, Abdurrahman.
1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam.
11/9/99. Hal. 1.
Wahid, Abdurrahman.
2000. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta : LkiS.
0 komentar:
Post a Comment