Friday, July 12, 2013

Makalah Guru Berprestasi

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU UNTUK MENINGKATKAN MINAT SISWA PADA BIDANG MIPA 

A. PENDAHULUAN 
Peningkatan minat siswa pada bidang MIPA dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya latar belakang orang tua, pergaulan, harapan masa depan, dan guru. Guru merupakan faktor dominan yang dapat mempengaruhi minat siswa. Jika gurunya dapat melakukan pembelajaran yang profesional, misalnya menyenangkan, memudahkan, mampu menumbuhkan aktivitas dan kreativitas siswa, serta membelajarkan siswa, maka siswa akan memiliki minat yang tinggi terhadap bidang MIPA. Sebaliknya apabila guru kurang profesional, menyajikan materi pelajaran berpusat pada dirinya, menyebabkan siswa sulit memahami, otoriter dan akhirnya membuat siswa malas belajar, maka siswa akan kehilangan minatnya terhadap bidang MIPA. 

Guru yang profesioal adalah guru yang memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Berdasarkan keprofesionalannya, guru dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yakni guru yang profesional (walau dia tidak tersertifikasi) dan guru yang belum profesional (termasuk yang tersertifikasi). 

Keprofesionalan guru dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor kepala sekolah dan pengawas, DIKNAS, Kebijakan Pemerintah (kurikulum, sertifikasi, kebijakan tentang buku, UN, dsb). Mengingat terbatasnya kesempatan, tidak semua faktor dibahas dalam makalah ini. 

B. MUTU PENDIDIKAN KITA MASIH RENDAH 
Kita harus mengakui bahwa mutu pendidikan di negara kita masih rendah. Kualitas pendididkan kita masih berada di bawah rata-rata negara berkembang lainnya. Hasil survai World Competitiveness Year Book tahun 1997-2007 menunjukkan bahwa dari 47 negara yang disurvai, pada tahun 1997 Indonesia berada pada urutan 39, pada tahun 1999, berada pada urutan 46. Tahun 2002, dari 49 negara yang disurvai, Indonesia berada pada urutan 47, dan pada 2007 dari 55 negara yang disurvai, Indonesia menempati posisi ke-53. Menurut laporan monitoring global yang dikeluarkan lembaga PBB, UNESCO, tahun 2005 posisi Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara berkembang di Asia Pasifik. Selain itu, menurut laporan United Nations Development Programme (UNDP), kualitas SDM Indonesia menempati urutan 109 dari 177 negara di dunia. Sedangkan menurut The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang merupakan lembaga konsultan dari Hongkong menyatakan kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah, di antara 12 negara Asia yang diteliti, Indonesia satu tingkat di bawah Vietnam. 

Khusus bidang MIPA, pendidikan di Indonesia juga masih cukup memprihatinkan. Hasil survai TIMSS tahun 2003 yang diikuti 46 negara, siswa-siswa Indonesia menempati urutan 34 untuk matematika, dan menempati urutan 36 untuk sains. Singapura menempati urutan pertama untuk dua-duanya, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Jepang, juga mendominasi peringkat atas, sementara Malaysia menempati urutan 10 untuk matematika, dan 20 untuk sains. 

Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan oleh data dari Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP), dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). 

Mudah diduga, jika mutu pendidikan rendah maka kualitas sumber daya manusia (SDM) juga akan rendah. Pada 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Ini sungguh memprihatinkan. Berbicara tentang kualitas pendidikan, Yusuf Kalla pernah mengatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia saat ini lebih buruk di banding 30-40 tahun yang lalu, bahkan menurut laporan hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) kualitas pendidikan Indonesia berada pada peringkat 16 di tingkat Asia dan berada di urutan 160 untuk tingkat dunia. Ironisnya, kedudukan itu berada di bawah negara Vietnam yang sering mengalami kekacauan politik dan peperangan itu. 

Walaupun demikian, berita menggembiarakan masih ada. Para anak bangsa ternyata cukup berprestasi di ajang olimpiade MIPA tingkat internasional, dan hampir setiap tahun para siswa kita yang mengikuti olimpiade matematika, Fisika, Kimia dan Biologi memperoleh medali emas. Mereka mengalahkan para siswa dari negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Belanda, Australia. 

Dari para peraih emas itu, terdapat mutiara hitam dari Indonesia Timur Irian Jaya yang mengharumkan nama bangsa. Ini untuk mempertegas bahwa sebenarnya, anak Indonesia, dari manapun asalnya, memiliki potensi kuat untuk menjadi juara olimpiade. Anak Indonesia memiliki potensi kuat juga untuk menjadi ahli MIPA, menyumbangkan ilmunya untuk kemajuan IPTEK di tanah air menyamai negara lainnya. 

Jika “bahan baku” yang berupa kecerdasan anak Indonesia memiliki potensi besar, tetapi setelah sekolah mereka prestasinya rendah, berarti ada sesuatu yang menyebabkannya, ada sesuatu yang keliru dalam sistem pendidikan kita. Seharusnya mutu pendidikan di Indonesia tidak kalah dengan negara-negara lain, tetapi mengapa kenyataannya tidak? Bahan baku berupa kecerdasan anak Indonesia itu baru berbuah emas ketika mereka digodok beberapa bulan, melalui suatu pelatihan untuk menjadi ilmuwan. Ini berarti bahwa kesalahan terletak pada proses pembelajaran di kelas, mengapa mutu pendidikan rendah. Dan proses pembelajaran di kelas itu, selain ditentukan oleh keprofesionalan guru, juga oleh kualitas kepala sekolah, kondisi sekolah, Dinas Pendidikan, dan kebijakan pemerintah mengenai pendidikan. Seandainya anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan bakat dan minatnya terhadap bidang MIPA, maka di Indonesia akan bertumbuh ahli-ahli MIPA yang tidak kalah dengan negara lain yang sudah maju. Kapan? 

C. GURU PROFESIONAL >< GURU BELUM PROFESIONAL 
Apakah guru kita sudah profesional? Mungkin jawabannya ya, karena guru tersebut memang melakukan upaya pembelajaran secara profesional dan memiliki kompetensi sebagai pendidik yang baik, meskipun dia belum tersertifikasi. Guru yang demikian masih langka. Namun masih banyak juga guru yang belum profesional meskipun tekah tersertifikasi. Untuk mengetahui sampai di tingkat mana keprofesionalan guru, diadakanlah survai di Malang, dengan asumsi sekolah di kota Malang sudah cukup memadai dan dapat dijadikan sebagai “contoh” bagi sekolah di sekitarnya. Survai serupa diselenggarakan di Padang dan Banjarbaru. 

Berdasar survai yang diselenggarakan penulis bekerjasama dengan JICA pada bulan Februari dan Maret 2010 menghasilkan kesimpulan bahwa masih perlu adanya Inservice Training guru (pembinaan guru dalam jabatan) dalam bentuk pendampingan oleh para ahli. Survai yang diselenggarakan di kota Malang, mengambil sampel 11 SMP terdiri dari 1 RSBI, 2 SSN, 3 SMPN non SSN, 3 SMP Swasta, 1 MTs N dan 1 MTs Swasta, bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara kebijakan Pemerintah (DIKNAS Pusat, Provinsi, Kota) tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan implementasinya di sekolah beserta permasalahan yang ada. Responden terdiri dari Tim Pengembang Kurikulum (TPK) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Kepala Bidang Pendidikan Menegah (DIKMEN) Dinas Pendidikan Kota Malang dan beberapa anggota TPK Kota Malang (KASI Kurikulum dan 3 orang pengawas SMP), Kepala MAPENDA Kantor Departemen Agama Kota Malang dan Staf, 11 Kepala Sekolah SMP/MTs negeri dan swasta, dan sejumlah orang guru matematika dan IPA, serta beberapa orang guru non MIPA. Pengumpulan data survai dilakukan melalui wawancara terhadap responden, meminta dokumen KTSP, dan observasi pembelajaran di kelas. 

Secara umum dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi KTSP dari Tingkat Pusat, Provinsi, ke Kota dan Sekolah berlangsung baik. Setiap Tim Pengembang mulai dari Pusat hingga ke Kota melakukan DIKLAT Penyusunan KTSP. Pendek kata, secara normatif dan administratif segalanya berjalan baik. Namun bagaimana hasilnya? 

Beberapa temuan survai tersebut diuraikan berikut ini: 
Umumnya para guru masih menyusun KTSP Buku II (silabus, RPP dan LKS) dengan teknik “copy paste”, yang berarti mereka belum menyusun silabus, RPP dan LKS berdasar keperluan dan kondisi mereka sendiri; 
Meskipun mereka mengaku memiliki RPP, namun ketika proses pembelajaran siswanya diobservasi, semua guru tidak membawa RPP dengan alasan tertinggal di rumah; 
Dari analisis RPP yang diperoleh ternyata terdapat perbedaan antara apa yang dituliskan dengan apa yang diimplementasikan di kelas. Di RPP guru menuliskan penggunaan pendekatan konstruktivistik, guru berperan selaku fasilitator, namun dari observasi di kelas dapat diketahui bahwa guru lebih dominan, banyak menggunakan ceramah, para siswa pasif, dan guru tidak memahami bagaimana mengimplementasikan pendekatan konstruktiivistik di kelas sebagaimana disarankan kurikulum 2006; 
Pengelolaan kelas dilakukan secara konvensional sehingga tidak memungkinkan terjadinya interaksi antar siswa, kecuali ada 2 SMP yang menggunakan pengelolaan kelas yang memungkinkan terjadinya saling belajar antar siswa. 
Dalam melakukan evaluasi/assesmen, umumnya guru menggunakan tes secara tertulis, sehingga tes hanya berorientasi ke ranah kognitif, hanya beberapa guru yang menggunakan rubrik untuk assesmen. Ini berarti bahwa pemahaman guru tentang asesmen hanya pada ranah kognitif, tidak sampai pada ranah afektif dan psikomotor 

Hasil survai ini menunjukkan juga bahwa tidak ada perbedaan keprofesionalan antara guru sekolah “bermutu” dengan sekolah yang “tidak bermutu”, yang artinya bahwa baik sekolah “bermutu” maupun sekolah “tidak bermutu” memiliki keprofesionalan yang sama yaitu sama-sama belum profesional. Rupaya prestasi siswa sekolah “bermutu” selama ini bukan karena hasil desain pembelajaran gurunya, melainkan karena mutu masukan siswanya yang memiliki nilai DANEM tinggi. 

Dalam rangka meningkatkan mutu guru, Pemerintah telah berupaya maksimal untuk melakukan inservis training dengan menyelenggarakan penataran, pelatihan, workshop dalam beberapa minggu sehingga guru meninggalkan kelasnya, namun setelah kembali ke sekolah para guru tidak menerapkan ilmunya untuk mengefektifkan pembelajaran. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan yang sering dikemukakan para guru sebagai berikut:: 
Latar belakang siswa (DENEM rendah, dari keluarga menengah ke bawah, dari desa/daerah terpencil) yang sulit untuk diajak aktif dan kreatif; 
Guru tidak memiliki waktu cukup untuk menerapkan metode, pendekatan dan model-model pembelajaran yang disarankan. Jika diterapkan, waktunya lama sehingga guru tidak dapat menyelesaikan penyampaian materi pembelajaran yang cukup banyak kepada siswa. 
Jika menghadapi Ujian Nasional, guru cenderung mengadakan drill dan latihan soal-soal ujian. 
Media dan laboratorium tidak mencukupi/tidak ada; 
Jam mengajar guru terlalu banyak 

Melihat alasan yang dikemukakan guru nampak bahwa guru lebih berorientasi pada faktor dari luar dirinya alias lebih menyalahkan faktor luar daripada dirinya. Dengan pendampingan oleh dosen melalui kegiatan Lesson Study, alasan guru itu akhirnya dapat diatasi sendiri oleh mereka, kecuali alasan Ujian Nasional. 

D. FAKTOR KEPALA SEKOLAH 
Faktor Kepala Sekolah (juga Pengawas, DIKNAS) memiliki hubungan komando yang tegas dalam menentukan bentuk kegiatan guru di kelas. Berdasar ketentuan DEPDIKNAS, KS hendaknya memiliki lima aspek kompetensi, yaitu kompetensi kepribadian, sosial, manajerial, supervisi, dan kewirausahaan. Hasil uji kompetensi yang dilakukan oleh Dirjen PMPTK menunjukkan bahwa 70% dari 250.000 KS tidak kompeten, terutama di bidang manajerial dan supervisi, sebagai kompetensi yang paling menentukan kualitas pendidikan. Menurut Direktur Tenaga Kependidikan, Surya Dharma, dua kompetensi itu merupakan kekuatan kepala sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik. Sebagai pembanding, uji kompetensi terhadap 50 KS dari sebuah yayasan juga menunjukkan hasil yang sama. 

Bagaimana KS dapat melakukan supervisi terhadap guru jika mereka tidak kompeten? Apakah supervisi dilakukan oleh para Pengawas?. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa para Pengawas juga tidak melakukan pengawasan sesuai dengan TUPOKSInya. Mengapa hal ini terjadi? Jawabannya karena perekrutan KS (juga Pengawas, DIKNAS Kabupaten/Kota) tidak dilakukan berdasarkan keprofesionalan mereka sesuai dengan ketentuan, melainkan berdasar faktor-faktor lain, misalnya faktor politik. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pengangkatan KS (juga DIKNAS Kabupaten/Kota) ditentukan oleh Bupati atau Walikota. Pengawas yang diangkat oleh DIKNAS biasanya terdiri dari guru yang sudah hampir pensiun, bukan atas dasar kemampuannya dalam melakukan supervisi pembelajaran. 

Dalam kondisi demikian, para guru melakukan pembelajaran di kelas tanpa adanya supervisi yang memadai. Para KS tidak pernah menjenguk proses pembelajaran di kelas (di Kabupaten Pasuruan hanya 5 KS dari 125 KS yang pernah mengunjungi guru mengajar di kelas, 2008), Pengawas tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap problem guru di kelas. 

Rendahnya kompetensi KS dapat dilihat dari keberadaan Laboratorium dan Perpustakaan Sekolah. Laboratorium ada tetapi terbatas, peralatan dan bahan tidak lengkap, sementara di dalam perpustakaan yang ada hanyalah buku yang digunakan guru dalam proses pembelajaran. Tidak ada pilihan buku yang ditawarkan kepada siswa yang dapat digunakan sebagai sumber belajar. Kebijakan Pemerintah tentang pengadaan buku cenderung mengarahkan sekolah untuk memiliki buku seragam, tanpa variasi yang memadai. 

E. FAKTOR KEBIJAKAN PEMERINTAH 
1. Payung Hukum 
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, mulai dari upaya pengubahan kurikulum (sekarang berlaku KTSP), peningkatan guru (penataran, seminar, pelatihan), manajemen sekolah, melengkapi media, laboratorium (sarana, prasarana), hingga ke penerbitan payung hukum dalam peningkatan mutu pendidikan dengan dikeluarkannya UU No 14 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam UU no 14 Tahun 2005, guru dianggap sebagai tenaga profesional yang memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Di antara 4 kompetensi tersebut, terdapat 2 kompetensi yang terkait langsung dengan tugas guru yaitu kompetesi pedagogik dan profesional. 

Peraturan dan undang-undang tentang pendidikan memuat norma-norma baku, dan pelaksanaan memiliki faktanya tersendiri. Misalnya berdasar Peraturan Pemerintah RI No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 19 menyatakan: 
  1. Proses Pemebelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, menyenangkan, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik; 
  2. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan; 
  3. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. 
Untuk menyukseskan upaya peningkatan mutu pendidikan tersebut, Pemerintah (KEMENDIKNAS) melakukan kerjasama dengan berbagai negara misalnya dengan Australia, Amerika, Jepang, Jerman, dsb. Namun kerjasama tersebut umumnya kurang berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Hasil-hasil survai menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. Biasanya, para guru bersemangat ketika “proyek” berlangsung, namun mereka akan kembali ke kebiasaan aslinya ketika “proyek” itu usai. 

Untuk mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pemerintah telah melakukan penataran, pelatihan serta upaya-upaya lain misalnya memberikan block grant dsb. Dengan kata lain, apa yang dilakukan Pemerintah pada tataran ini sudah cukup memadai. 

Mengingat payung hukum sudah baik, pelatihan, penataran sudah dilaksanakan, maka seharusnya kualitas pendidikan berangsur membaik pula. Namun kenyataan menunjukkan lain. Kualitas pendidikan kita (termasuk pendidikan bidang MIPA) tetap rendah. Mengapa? 

2. Ujian Nasional Membelenggu Guru 
Faktor Kebijakan Pemerintah yang cukup mengganggu proses pembelajaran adalah Ujian Nasional (UN). Menjelang UN, semua perhatian sekolah tertuju pada persiapan menghadapi UN. Para guru yang biasanya aktif di MGMP menjadi tidak aktif. Mereka sibuk mengadakan dril dan latihan menyelesaikan soal untuk para siswanya. Para kepala sekolah diperintahkan oleh DIKNAS agar serius melakukan persiapan dengan melakukan dril, sebab kelulusan dalam UN menunjukkan kualitas sekolah. Para Walikota/Bupati juga sering menghimbau (menginstruksikan) para KaDIKNAS untuk melakukan persiapan menjelang UN. Seringkali para Bupati/Walikota/KaDinas dalam pidatonya menyinggung kelulusan siswa dalam UN, karena jika semua siswa di suatu daerah lulus UN, maka daerah tersebut dikatakan sebagai daerah yang pendidikannya berhasil. Peringkat kelulusan juga menjadi kebanggaan tersendiri. Karena itu, UN tidak lagi menjadi prestasi pendidikan melainkan menjadi prestise daerah. 

Itulah sebabnya mengapa dalam menghadapi UN terjadi berbagai tindakan yang mencoreng dunia pendidikan itu sendiri. Guru, Kepala sekolah, melakukan kecurangan agar siswanya lulus UN demi meningkatkan prestise daerah. Kalau tidak, DIKNAS dan Kepala Daerah akan marah. 

Menyimak dari upaya yang dilakukan sebelum UN, yakni melakukan dril dan latihan penyelesaian soal, kita cukup prihatin karena dril dan latihan soal bukanlah upaya pembelajaran siswa. Dril dan latihan mengerjakan soal bukanlah pendidikan. Tidak heran jika setelah seminggu mengikuti UN, semua yang dihafalkan siswa hilang terlupakan. Siswa hanya disuruh menghafal fakta-fakta dalam ilmu melalui dril, padahal kemampuan seseorang menghafal ada batasnya. Menghafal tidak dapat bertahan lama. 

Ironisnya lagi, soal-soal dalam UN yang hanya berupa soal kognitif tidak banyak mengungkap apa saja yang dilakukan siswa ketika belajar di laboratorium dan menggunakan media. Di kelas para guru melatih siswa melakukan pengamatan, menganalisis, merumuskan hipotesis, melakukan eksperimen, tetapi soal-soal UN tidak pernah mempermasa-lahkannya. Mungkin guru biologi pernah mengajak siswa ke kebun atau sungai, guru kimia melakukan eksperimen dengan tabung-tabung reaksinya, guru fisika mengajak siswa membuat percobaan dengan menggunakan arus listrik, tetapi soal-soal UN tidak pernah mempermasalahkan kegiatan siswa tersebut. Akibatnya para guru enggan untuk melatih siswa berkegiatan. Untuk apa ke sungai sampai digigit lintah kalau soal UN tidak pernah beranjak dari hafalan di buku? Begitulah kira-kira apa yang ada di benak guru. Akhirnya guru kembali ke pola lama: berceramah, menyajikan semua materi yang banyak agar target tercapai dan melakukan drill untuk para siswanya. 

Dari uraian ini nampak bahwa UN memberikan andil yang tidak sedikit kepada guru dan menentukan keputusan guru dalam proses pembelajarannya. Segala teori belajar, pendekatan, metode, dan model pembelajaran yang dilatihkan ke guru dianggap menghambat guru dalam menyelesaikan target sesuai dengan tuntutan UN. Ceramah dan dril adalah metode yang dianggap guru paling cocok dan mudah untuk itu. Jika demikian maka UN yang seharusnya dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (sebagaimana harapan Zakaria, T Ramli dari Balitbang, DEPDIKNAS Jakarta), tidak akan pernah tercapai, melainkan justru menurunkan mutu pendidikan itu sendiri. 

Memang ada yang berpendapat bahwa UN mendorong siswa belajar lebih giat, guru mengajar lebih baik, kepala sekolah memperbaiki mutu sekolah, dan orang tua lebih memperhatikan anak belajar (Hasil Seminar PPS Psikologi UI), tetapi yang perlu dikritisi adalah dengan adanya UN pendidikan di sekolah hanya bermuara pada tingkat kelulusan, pada nilai UN, bukan pada seberapa bermakna materi pelajaran itu bagi kehidupan dirinya, masyarakat dan lingkungannya. Di dukung oleh media informasi, masyarakat kita masih memandang bahwa hasil UN menjadi penentu kualitas pendidikan, meskipun menurut Pasal 72 PP No 19 tahun 2005, UN bukan satu-satunya penentu kelulusan. Kebiasaan mengejar nilai hasil tes terbawa hingga ke perguruan tinggi, sehingga mahasiswa hanya mengejar IP tinggi, lalu bekerja, dan tidak berbuat apa-apa untuk kemajuan bangsanya. Berapa banyak sarjana MIPA yang kita miliki, namun kenapa permasalahan yang berkaitan dengan ke-MIPA-an di masyarakat tidak tertangani?. 

Sekiranya UN masih dipertahankan agar terjadi pemerataan mutu pendidikan dan Pemerintah dapat mendiagnosis secara tepat permasalahan pendidikan di sekolah, maka: 1) UN diberikan tidak terbatas di kelas 3, melainkan juga di kelas 2 dan kelas 1. 2) Hasil UN tidak untuk kenaikan kelas/kelulusan, melainkan untuk mendiagnosis permasalahan pembelajaran di sekolah; 3). Soal-soal UN tidak hanya terbatas pada prinsip-prinsip yang tertera di buku pelajaran melainkan juga mempermasalahkan kegiatan siswa di laboratorium/di luar kelas. Jika hal ini dilakukan, maka perlu adanya perubahan rumusan dalam pasal 68 PP 19 Tahun 2005 itu. 


3. Sertifikasi Guru, Sebuah Dilemma 
Kebijakan Pemerintah tentang sertifikasi guru dan dosen, pada dasarnya memiliki niatan yang luhur. Guru profesional, yang memiliki 4 kompetensi, perlu dihargai, diberi sertifikat dengan imbalan gaji yang memadai. Namun sayangnya, implementasi dari UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen itu terkesan ada unsur “balas budi”, “bergiliran” dan mengaburkan upaya untuk mencari bibit unggul berupa guru profesional yang tanpa dibatasi usia, pangkat dan senioritas. 

Sertifikat sudah dibagikan dan sebagian gaji sudah dibayarkan. Apakah ada kemajuan proses pembelajaran antara sebelum dan setelah sertifikasi? Mana yang lebih profesional, guru yang disertifikasi melalui portofolio ataukah melalui PLPG? Mengingat uang gaji yang disampaikan ke guru tersertifikasi adalah uang dari rakyat, apakah rakyat berhak untuk melihat proses pembelajaran oleh guru profesional tersertifikasi tersebut? 

Ditulis Oleh : Unknown // 8:55 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment