Monday, July 29, 2013

PSIKOLOGI NEWTONIAN

“PSIKOLOGI NEWTONIAN” DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BIMBINGAN KONSELING

A. Pendahuluan
“Psikologi” berasal dari kata Yunani “psycge” yang artinya jiwa dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi, psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, proses maupun latar belakangnya.

Psikologi Newtonian adalah istilah yang digunakan oleh Capra untuk menjelaskan tentang teori yang dipengaruhi oleh pandangan mekanistik Descartes-Newtonian. Menurut Capra (2002, 203), psikologi Newtonian adalah suatu psikologi tanpa kesadaran yang mereduksi semua tingkah laku menjadi rangkaian tanggapan kebiasaan mekanistik dan menganggap bahwa satu-satunya pemahaman hakekat manusia secara ilmiah adalah pemahaman yang tetap berada dalam kerangka fisika dan biologi klasik. Pandangan mekanistik ini menjelaskan bahwa alam laksana sebuah mesin yang dapat dipahami jika kita mereduksi melalui bagian-bagian pokoknya. Gambaran alam mekanik oleg Descartes ini semakin diperkuat oleh Newton ketika dia menciptakan metode yang sama sekali baru, yang kini dikenal dengan kalkulus diferensial untuk menggambarkan gerak benda-benda padat. Metode ini digunakan untuk merumuskan hokum-hukum gerak yang pasti bagi semua benda di bawah pengaruh kekuatan gravitasi. Newton memadukan penemuan Kepler tentang gerak planet dengan mempelajari table-tabel astronomi dan penemuan Galileo tentang hokum-hukum benda jatuh. Signifikansi hokum ini terletak pada penerapannya yang universal dan terbukti sahih si seluruh tata surya sehingga menguatkan pandangan Descartes tentang alam.

Pandangan mekanistik ini kemudian diperluas dalam pandangannya terhadap manusia, bahwa manusia hanya sekedar mesin yang juga dapat dipahami hanya dengan mereduksi bagian-bagiannya. Pandangan ini sangat berpengaruh di bidang psikologi mulai dari abad 17. Menurut Descartes, pikiran dan tubuh termasuk dua alam yang sejajar tetapi berbeda secara mendasar, masing-masing dapat dipelajari tanpa mengacu satu sama lain. Tubuh diatur oleh hokum-hukum mekanik, tetapi pikiran atau jiwa bersifat bebas dan kekal. Jiwa secara jelas dan khusus diidentifikasikan dengan kesadaran dan dapat mempengaruhi tubuh dengan cara berinteraksi dengannya melalui kelenjar pineal otak. Emosi manusia dipandang sebagai kombinasi enam “gairah” dasar dan digambarkan secara mekanis (Capra, 2002, 190). Paradigma Descartes menjadi inspirasi bagi banyak filsuf dan ilmuwan untuk beralih dari pandangan spiritual Spinoza ke formulasi matematis Newton mengenai paradigma mekanistik. Mereka mencoba menggunakan prinsip-prinsipnya untuk memahami hakikat manusia.

Mulai dari la Mattrie yang menerapkan model bintang mekanik Descartes secara langsung pada organisme manusia termasuk pikirannya. Hobbes dan Locke, bahwa pada waktu manusia lahir, pikiran manusia merupakan tabula rasa, sebuah meja kecil dan kosong untuk ditanami konsep-konsep melalui persepsi indra. David Hume, dengan mengangakat prinsip asosiasi menjadi prinsip sentral dalam analisis pikiran manusia dengan memandangnya sebagai suatu “gaya tarik di dalam dunia mental” yang perannya dapat dibandingkan dengan kekuatan gravitasi di dalam alam materi Newtonian. David Hartley, dengan menggabungkan konsep asosiasi pikiran dengan refleks neurologist untuk mengembangkan suatu model pikiran mekanistik yang rinci dan sederhana dimana semua aktivitas mental direduksi menjadi proses-proses neurofisiologis.

Di samping itu, pada awal abad dua puluh, pemikiran psikolog didominasi oleh dua aliran utama, yaitu psikoanalisis dan behavioristik yang masing-masing mempunyai metode dan pandangan kesadaran yang sangat berbeda tetapi pada dasarnya kedua aliran tersebut sama-sama lekat dan model realitas Newtonian.

Makalah ini akan membahas tentang Bagaimana teori psikoanalisis dan behaviorisme tersebut? Bagaimana pandangannya tentang manusia? Dan apa implikasinya dalam Bimbingan Konseling?

B. Manusia dalam Pandangan Psikoanalisis dan Implikasinya terhadap Bimbingan Konseling
1. Teori Psikoanalisis
Tokoh utama psikoanalisis adalah Sigmund Freud dan terkenal dengan teori psikodinamikanya. Ia adalah seorang dokter medis yang mengambil spesialis dalam bidang ilmu penyakit syaraf.

Asumsi yang mendasari teori psikoanalisis adalah bahwa kegiatan mental manusia terjadi pada tingkat kesadaran, yaitu: (a) kesadaran, mencakup apapun yang dipikirkan dan dikerjakan manusia; (b) Prasadar, mencakup segala pengetahuan dan ingatan yangs ewaktu-waktu dalam dikeluarkan kea lam sadar; (c) Ketidaksadaran, mencakup segala sesuatu yang tidak ingin disadari dengan dengan sengaja ditekan agar terlupa.

Asumsi berikutnya dari teori ini adalah bahwa banyak hal yang dilakukan manusia sebenarnya didorong oleh kekuatan di bawah sadar. Freud yakin bahwa kepribadian memiliki tiga struktur, yaitu id, ego dan superego. Pertama, Id adalah struktur kepribadian yang terdiri dari naluri (instinct), yang merupakan gudang energi psikis individu. Id ini tidak sadar secara mutlak, tidak memiliki kontak dengan realitas dan merupakan proses kejiwaan yang asli pada diri manusia untuk memenuhi kebutuhannya dalam prinsip kenyamanan atau hedonistic. Kedua, Ego adalah struktur kepribadian yang berurusan dengan tuntutan realitas. Ego disebut badan pelaksana kepribadian karena ego membuat keputusan-keputusan rasional. Ketiga, Superego adalah struktur kepribadian dan benar-benar memperhitungkan apakah sesuatu benar atau salah.

Bagaiman ego mengatasi konflik antara tuntutan realitas, keinginan id dan hambatan superego? Dalam pandangan Freud, tuntutan-tuntutan struktur kepribadian yang saling bertentangan menimbulkan kecemasan, keadaan tertekan berkembang ketika ego meras id sedang membahayakan individu. Untuk mengatasi konflik, maka melalui mekanisme pertahanan (defense mechanisms)

Mekanisme pertahanan diri tersebut meliputi: (a) Represi adalah mekanisme pertahanan yang paling kuat dan paling meresap. Represi bekerja menolak dorongan-dorongan id yang tidak diinginkan di luar kesadaran dan kembali ke pikiran sadar; (b) Proyeksi adalah mekanisme yang digunakan untuk mengubah kecemasan neurotic atau kecemasan moral menjadi ketakutan obyektif. Dalam proyeksi, orang cukup berkata “Ia membenci saya” sebagai pengganti “Saya membenci di” atau “Ia selalu mengancanm saya” sebagai pengganti “Suara hati saya selalu mengganggu saya”; (c) Pembentukan reaksi adalah penggantian suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan lawan atau kebalikannya dalam kesadaran. Misalnya benci diganti cinta; (d) Fiksasi adalah suatu ketakutan atau sejumlah frustasi yang dialami pada setiap langkah baru dalam setiap fase perkembangan sehingga menyebabkan terganggunya perkembangan normal. Misalnya, anak yang tergantung secara berlebihan merupakan contoh pertahanan lewat fiksaasi, kecemasan menghalanginya untuk belajar secara mandiri; (e) regresi adalah mekanisme pertahanan yang dilakukan seseorang karena mendapatkan pengalaman traumatis sehingga kembali ke suatu tahap perkembangan yang lebih awal. Misalnya, seorang anak yang takut pada hari pertama masuk sekolah bias melakukan tindakan infatil, seperti menangis, mengisap ibu jari, berpegangan pada guru atau bersembunyi di sudut; (f) bentuk-bentuk yang lain yaitu isolasi, introyeksi dan rasionalisasi.

Sedangkan tahap-tahap perkembangan individu menurut freud adalah tahap-tahap perkembangan secara psikoseksual, yaitu: tahap oral (0 – 1 th), tahap anal (1 – 3 th), tahap falik (3 – 5 th), tahap laten (5 – 11 th) dan tahap genital (usia remaja). Tahap oral adalah tahap dimana kenikmatan bayi berpusat di sekitar mulut. Tahap anal adalah tahap kenikmatan terbesar anak meluiputi daerah anus. Tahap falik adalah tahap dimana kenikmatan berfokus pada alat kelamin, pada tahap ini muncul Oedipus complex. Tahap laten adalah suatu tahap dimana anak menekan semua minat terhadap seks dan mengembangkan keterampilan social dan intelektual. Tahap genital adalah suatu masa kebangkitan seksual, sumber kenikmatan seksual sekarang menjadi seseorang yang berada di luar keluarga. 

2. Pandangan Psikoanalisis tentang Manusia
Berdasarkan penjelasan tentang teori psikoanalisis di atas, maka dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia berperilaku karena libido seksualnya (dorongan untuk memuaskan nafsu). Insting ini tidak mengenal batas, sehingga dapat dikatakan bahwa manusia asosial, cenderung agresif dan mementingkan diri sendiri.

Menurut Capra (2002, 212) dalam psikoanalisis tersirat behwa manusia bersifat deterministic. Setiap peristiwa psikologi memiliki penyebab yang pasti dan akan menimbulkan akibat yang pasti pula; dan keseluruhan keadaan psikologis seseorang secara unik ditentukan oleh “keadaan awal” pada masa kanak-kanak.

Pandangan-pandangan ini juga diperkuat oleh Corey (dalam Djawad Dahlan, 2002), yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya bersifat pesimistik, deterministic, mekanistik dan reduksionalistik. Manusia dipandang tidak mampu meraih kebebasan susila karena segala gerak dan ucapnya dipandang dating dan ditentukan oleh dorongan-dorongan instink yang tidak terbendung. Segala perilaku manusia, bahkan yang bersifat religius pun dipandangnya sebagai seublimasi dari dorongan-dorongan tidak disadari.

3. Implikasinya terhadap Bimbingan Konseling
Psikoanalisis memandang kejiwaan manusia sebagai ekspresi dari adanya dorongan yang menimbulkan konflik. Dorongan itu sebagian disadari dan sebagian besar tidak disadari. Konflik timbul karena adanya dorongan-dorongan yang saling bertentangan, sebagai manifestasi dari kenyataan bahwa manusia adalah mahluk social dan juga biologis.


Gejala neurotic seseorang timbul karena tertahannya ketegangan emosi yang ada, ketegangan yang ada kaitannya dengan ingatan yang ditekan, ingatan mengenai hal-hal yang traumatic dari pengalaman seksual masa kecilnya.

Adapun implikasinya terhadap tujuan, sasaran dan proses konseling serta konselor sebagai berikut.

o Tujuan konseling. Tujuan konseling adalah untuk membantu klien menemukan sebab musabab terjadinya konflik yang menimbulkan tingkah laku neurotik dan memperoleh pemahaman baru tentang kepribadian yang alami.

o Sasaran Konseling. Sasaran konseling adalah perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran, ingatan dan dorongan yang menjadi sumber konflik.

o Teknik Konseling. Teknik konseling digunakan untuk menggali penyebab tingkah laku neurotiknya dengan cara membiarkan klien mengemukakan segala hal yang ingin disampaikannya termasuk yang tadinya ditekan di bawah sadarnya tanpa dihambat atau dikritik.

o Konselor. Konselor perlu memiliki pemahaman tentang: (a) mekanisme pertahanan ego yang meliputi represi, proyeksi, regresi, fiksasi, reaksi formasi dan rasionalisasi, (b) lima tahun pertama dalam kehidupan individu merupakan masa yang penting untuk perkembangan kepribadian, (c) tahap-tahap perkembangan secara psikoseksual dan hal-hal yang terjadi pada masing-masing tahap.

C. Manusia dalam Pandangan Behavioristik dan Implikasinya terhadap Bimbingan Konseling 
1. Teori Behavioristik
Ada beberapa tokoh yang beraliran behavioristik, seperti Pavlov, Watson dan Skinner. Skinner menjadi tokoh penting dari pandangan behavioristik selama tiga dasa warsa yang lalu (Capra, 2002, 201). Teorinya lebih ketat dan tajam dan telah membantu behavioristik mempertahankan peran dominasi dalam psikologi akademik. Oleh karena itu, pada makalah ini hanya akan membahas tentang teori yang dikembangkan oleh Skinner, yaitu ”operant reinforcement”

Skinner mengembangkan teorinya dengan eksperimen menggunakan binatang sebagai ujicoba. Tingkah laku yang muncul pada binatang saat eksperimen kemudian digeneralisasikan pada tingkah laku manusia.

Beberapa konsep kunci untuk mengubah tingkah laku menurut teori ini adalah:
  • Operant conditioning adalah suatu pengkondisian pada tingkah laku operant –tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme yang aktif—dengan menggunakan metode-metode perkuatan, pembentukan respon, penghapusan, percontohan dan taken economy.
  • Reinforcement positive adalah suatu dorongan yang menyebabkan meningkatnya respon yang kita inginkan.
  • Reinforcement negatif adalah suatu dorongan yang menyebabkan melemahnya respon.
  • Extinction adalah pengurangan tingkah laku yang terjadi secara berangsur-angsur karena penarikan faktor penguat.
  • Schedule of reinforcement adalah suatu cara untuk membiasakan tingkah laku yang diinginkan. Cara-cara tersebut yaitu: 1) Continuous reinforcement, suatu penguatan yang diberikan kepada organisme setiap dia memberikan respon yang diinginkan; 2) interval fixed, suatu penguatan untuk memperoleh respon yang diinginkan dengan menggunakan interval khusus; 3) variable interval, suatu penguatan untuk memperoleh respon yang diinginkan dengan menggunakan waktu yang berbeda-beda tetapi dengan rata-rata khusus; 4) fixed rasio, suatu penguatan yang diberikan setelah organisme tersebut memberikan reaksi tertentu; 5) variabel ratio, suatu penguatan yang diberikan setelah organisme tersebut memberikan sejumlah reaksi yang bervariasi tetapi terletak pada rata-rata khusus.
Asumsi dasar behaviorisme adalah fenomena-fenomena kompleks (situasi dan penyesuaian) selalu dapat direduksi sekurang-kurangnya secara prinsip, menjadi kombinasi rangsangan dan tanggapan sederhana (Capra, 2002).

2. Pandangan Behavioristik tentang Manusia
Pendekatan behabioristik menganggap perilaku seseorang dengan semua aspeknya adalah hasil dari proses belajar dan hal ini diperoleh dalam interaksinya dengan dunia luar. Manusia dalam keadaan khusus, dianggap sebagai ”obyek’ yang dapat diperlakukan dan diubah menurut keinginan dari pengubahnya. Para ahli memandang manusia sebagai pemberi respon sebagai hasil dari proses kondisioning yang telah terjadi.

Menurut Dustin dan George, 1997 (dalam Gunarsa, 2003) bahwa pandangan behavioristik terhadap manusia, yakni:
  • Manusia dipandang sebagai individu yang pada hakikatnya bukan individu yang baik atau yang jahat, tetapi sebagai individu yang selalu berada dalam keadaan sedang mengalami, yang memiliki kemampuan untuk menjadi sesuatu pada semua jenis perilaku.
  • Manusia mampu mengkonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya sendiri.
  • Manusia mampu memperoleh perilaku yang baru.
  • Manusia bisa mempengaruhi perilaku orang lain sama halnya dengan perilakunya yang bisa dipengaruhi orang lain.
Pandangan ini berciri deterministik, sehingga perilaku manusia sepenuhnya dapat ditempa dan ditentukan dari luar melalui pembentukan hubungan stimulus respon, latihan, pembiasaan, reinforcement, extinction, desentisasi, merupakan tindakan-tindakan kunci untuk mengubah perilaku (Djawad Dahlan, 2002).

Namun konsep pendekatan behavioristik yang lebih baru menitikberatkan meningkatnya kebebasan dan pilihan melalui pemahaman terhadap dasar-dasar perilaku seseorang. Menurut Corey (Gunarsa, 2003) bahwa perilaku manusia adalah hasil belajar. Kita semua adalah hasil dari lingkungan sekaligus pencipta lingkunga. Tidak ada dasar yang berlaku umum bisa menjelaskan semua perilaku, karena setiap perilaku ada kaitan dengan sumber yang ada di lingkungan yang menyebabkan terjadinya sesuatu perilaku tersebut.

3. Implikasinya terhadap Bimbingan Konseling
Timbulnya masalah perilaku karena ada sesuatu gejala dalam kepribadian seseorang yang mempengaruhi pribadinya, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan untuk menyesuaikan diri, tidak bisa menerima keadaan baik di dalam maupun di luar dirinya. Karena ada gejala tertentu mengakibatkan keadaan tidak seimbang dan lebih lanjut terjadi malasuai dengan lingkungannya.

Hal tersebut berimplikasi terhadap layanan bimbingan konseling, baik terhadap tujuan konseling, proses konseling maupun sasaran serta peranan konselor.
  • Tujuan konseling. Tujuan konseling adalah untuk menghilangkan perilaku yang bermasalah dan kesalahan yeng telah terjadi melalui proses belajar dan menggantinya dengan pola perilaku yang lebih sesuai. Gejala perilaku yang menunjukkan adanya kekurangan, ditambah dan sebaliknya gejala perilaku yang berlebihan dikurangi agar tercapai keadaan seimbang dan harmonis.
  • Sasaran konseling. Konseling memusatkan perhatian pada faktor yang mempengaruhi tingkahlaku dan memahami apa yang bisa dilakukan terhadap perilaku yang menjadi masalah.
  • Proses konseling. Proses konseling berkaitan dengan teknik yang digunakan untuk menghilangkan perilaku yang bermasalah tersebut. Penggunaan teknik konseling bertujuan untuk menambah, mengurangi atau mengubah gejala tingkah laku yang bermasalah tersebut.
  • Konselor. Peran konselor yaitu: menciptakan kondisi-kondisi baru untuk belajar, dan konselor merupakan pihak yang aktif.
D. Penutup 
Perkembangan pendekatan newtonian terhadap psikologi semakin terlihat ketika mereka menggunakan konsep asosiasi –penggabungan antara pengindraan dengan struktur yang lebih kompleks—sehingga memungkinkan mereduksi kompleksitas fungsi mental menjadi aturan-aturan dasar tertentu (Capra, 2002).

Dua aliran besar yang dipengaruhi pendekatan newtonian adalah psikoanalisis dan behavioristik. Walaupun masing-masing aliran tersebut mempunyai metode dan pandangan kesadaran yang berbeda tetapi pada dasarnya kedua lairan sama-sama lekat dengan model realitas newtonian.

Kaum behavioris memandang bahwa fenomena mental direduksi menjadi pola-pola perilaku, dan perilaku menjadi proses-proses fisiologis yang diatur oleh hukum-hukum fisika dan kimia. Organisme hidup merupakan mesin kompleks yang bereaksi terhadap rangsangan dari luar. Mekanisme tanggapan terhadap rangsangan ini jelas meniru newton. Sedangkan psikoanalisis, dalam merumuskan teori jiwa dan perilaku manusia mencoba menggunakan sebanyak mungkin konsep-konsep dasar fisika klasik dalam menggambarkan fenomena psikologia sehingga terjadi hubungan konseptual antara psikoanalisis dengan mekanika Newtonian (Capra, 2002).


Secara umum kedua aliran tersebut memandang manusia sebagai organisme yang deterministik, agresif, mementingkan diri sendiri, pesimis, pasif, mekanistik dan reduksionis. Pandangan ini banyak mendapatkan kritik dari para psikolog, tetapi pendekatan psikoanalisis dan behavioristik ini juga banyak digunakan untuk praktek psikologi maupun konseling.

Pandangan manusia menurut psikoanalisis dan behavioristik serta teori yang melandasinya setidaknya membuat kita lebih memahami bahwa dalam beberapa hal, manusia seperti yang dipercayaai oleh kaum psikoanalis dan behavioris. Pandangan ini dapat digunakan sebagai rujukan untuk memahami klien dan menentukan tujuan, sasaran dan proses konseling yang tepat sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh klien.

DAFTAR PUSTAKA
Burks, Herbert and Stefflre, Buford. (1979). Theories of Counseling. (Third Edition). New York:McGraw-Hill Book Company.

Capra, Fritjof. (2002). Alih Bahasa, Thoyibi, M. Titik Balik Peradaban. Jogjakarta: Bentang Budaya.

Gunarsa, Singgih. (2003). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta:BPK Gunung Mulia.

Natawidjaya, Rochman. (1987). Pendekatan-pendekatan dalam Penyuluhan Kelompok. Bandung:CV. Diponegoro.

Nurihsan, Juntika. (2003). Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Bandung:Mutiara.

Rosidjan. (1988). Pengantar Teori-Teori Konseling. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ditulis Oleh : Unknown // 1:44 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment