Saturday, July 27, 2013

Hukum Islam di Era Demokrasi

Hukum Islam di Era Demokrasi
Tantangan dan Peluang bagi Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia
Pendahuluan

Di tengah kesulitan yang dihadapi oleh sebagian politisi Muslim untuk memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta[3] ( Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya) kedalam konstitusi Indonesia karena pada akhirnya gagasan itu ditolak oleh mayoritas suara, Sukarno, president pertama Indonesia pernah menyatakan bahwa jika sebagian besar orang Indonesia benar-banar Muslim dan jika benar bahwa Islam merupakan agama yang hidup di hati rakyat, maka silahkan setiap pemimpin menggerakkan orang-orangnya agar delegasi Muslim menempati kursi parlemen… Dengan demikian undang-undang yang dikeluarkan oleh lembaga perwakilan rakyat ini dengan sendirinya akan menjadi Islami. Jika orang Kristen, misalnya, menginginkan agar setiap kata-kata dalam peraturan Negara Indonesia sejalan dengan Bible , maka silahkan mereka bekerja dengan sungguh-sungguh agar sebagian besar delegasi yang menduduki badan perwakilan rakyat di Indonesia adalah orang-orang Kristen.[4] 
 Apa yang dikatakan oleh Sukarno mengandung pengertian bahwa meskipun jaminan konstitusi untuk menjalankan syari’at Islam gagal diperoleh oleh partai Islam, kesempatan untuk membuat undang-undang atau aturan yang berdasar atau diilhami oleh syari’at Islam melalui mekanisme demokrasi perwakilan di Indonesia masih tetap terbuka luas.
Akan tetapi, itu semua bukan berarti tanpa tantangan yang harus dihadapi. Tantangan itu tampak dalam tulisan beberapa pengamat yang khawatir bahwa activist Islam akan menggunakan demokrasi untuk mematikan demokrasi. Wendy Asbeek Brusse dan Jan Schoonenboom  dalam tulisannya yang berjudul Islamic Activism and Democratization menyatakan bahwa regim-regim di Timur Tengah serta pendukungnya di Barat enggan memberikan keleluasaan bagi politik Islam untuk bergerak dan berberpartisipasi secara penuh dalam pemilihan nasional dan pemilihan parlemen karena mereka beralasan bahwa bila gerakan itu  mendapat akses ke politik dan memegang kekuasaan maka mereka akan segera mengakhiri kompetisi demokrasi. Hal ini karena mereka pada dasarnya menolak prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang mereka pandang bertentangan dengan syari’at dan kedaulatan mutlak Tuhan. [5]
 Dalam sebuah tulisan yang dimuat oleh surat kabar ibukota Ralf Dahrendorf , anggota the British House of Lord dan mantan rector London School of Economics, juga menulis  sebagai berikut : the return of religion to politics – and to public life in general – is a serious challenge to the rule of democratically enacted law and the civil liberties that go with it.[6]  Makalah ini akan memaparkan  perjalanan panjang perjuangan untuk memasukkan syari’at Islam kedalam konstitusi dan undang-undang Indonesia, tantangan yang dihadapi oleh sejumlah Muslim yang akan menetapkan syari’at Islam melalui institusi Negara dan sejauh mana peluang yang diberikan oleh iklim demokrasi yang ada di Indonesia  yang bisa dimanfaatkan oleh Muslim untuk menawarkan apa yang mereka anggap sebagai hukum Islam.

Perjuangan memasukkan syari’at Islam kedalam konstitusi dan undang-undang Indonesia
1)      Alasan perlunya jaminan konstitusi
Kiranya perlu dipahami , mengapa sebagian umat Islam pada saat Negara Indonesia ini akan didirikan merasa perlu membicarakan posisi syari’at Islam dalam konstitusi Negara Indonesia. Menurut penulis setidaknya ada tiga alasan yang mendorong sebagian umat Islam merasa penting membicarakan posisi syari’at Islam dalam konstitusi. Pertama, dalam konsep Negara modern hukum dasar yang akan dijadikan rujukan pembuatan undang-undang adalah konstitusi. Konstitusi yang jelas dan tertulis akan dijadikan acuan bagi pembuatan undang-undang di bawahnya mengningat konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam konteks kehidupan bernegara. Undang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan konstitusi Negara.
Kedua konsep Negara Islam dalam literatur klasik ada hubungannya dengan jaminan melaksanakan syari’at Islam bagi umat Islam. Negara yang memberikan kebebasan bagi umat Islam untuk melaksanakan syari’at Islam  bisa disebut sebagai dar al-Islam ,sebaliknya Negara yang tidak memberikan kebebasan bagi  umat Islam untuk menjalankan syari’at Islam tidak bisa disebut sebagai dar al-Islam. [7]
Ketiga adanya anggapan bahwa hukum Islam paling tidak sebagian darinya tidak bisa dilaksanakan tanpa adanya kekuasaan politik setingkat Negara, karena hukum Islam menurut mereka tidak hanya mengatur urusan privat tapi juga urusan publik. Oleh karena itu keberadaan Negara bagi umat Islam merupakan kemestian sesuai dengan kaidah ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib.   

2) Upaya memasukkan syari’at Islam dalam konstitusi

Upaya memasukkan syari’at Islam dalam konstitusi muncul sebelum Negara republik Indonesia ini resmi dideklarasikan. Jauh sebelum itu para pendiri Negara  telah berdebat tentang dasar Negara. Sebagian mereka menginginkan agar dasar Negara Indonesia adalah Islam sementara yang lain menghendaki agar dasar Negara Indonesia ini nasionalisme. Kompromi pertama dicapai pada saat para pendiri Negara menyetujui agar Piagam Jakarta yang menggabungkan unsur nasionalisme dan Islam akan dijadikan sebagai pembukaan konstitusi negara.
Pada saat para pendiri Negara ini akan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, muncul keberatan dari penduduk bagian timur Indonesia yang kebanyakan non-Muslim. Mereka khawatir bila Piagam Jakarta dijadikan dasar Negara maka mereka yang non Muslim akan termarjinalisasikan dan akan menjadi warga Negara kelas dua. Mereka mengancam akan keluar dari Indonesia bila hal itu dipaksakan. Untuk itu melalui tindakan yang bijak, para pendiri Negara setuju agar sila pertama dalam Piagam Jakarta yang menyatakan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama ditambah  dengan empat sila yang lain yang dikenal dengan sebutan Pancasila kemudian dijadikan  sebagai dasar Negara. Kompromi seperti menjadikan Indonesia tidak murni menjadi Negara sekuler tapi juga tidak menjadi Negara Islam. Indonesia kemudian memperkanalkan dirinya sebagai Negara Pancasila.  Dalam Negara Pancasila semua pemeluk agama ditempatkan dalam posisi yang sama. Semua warga berhak menjalankan agamanya dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Akan tetapi keputusan yang ‘bijak’ ini tidak menjadikan semua umat Islam merasa lega dan puas. Sebagian umat Islam masih menginginkan dan terus memperjuangkan agar Piagam Jakarta atau lebih tepatnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta masuk dalam konstitusi. Sebab dengan masuknya tujuh kata dalam Piagam Jakarta maka   Indonesia dengan sendirinya , dilihat dari konstitusinya, telah menjadi Negara Islam.
Meskipun bukan menjadi satu-satunya faktor, keinginan untuk mendapatkan jaminan pelaksanaan Syari’at Islam secara tegas dalam konstitusi merupakan salah satu faktor yang mendorong Sekarmaji Kartosuwiryo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia [8]   di Desa Cisampang, Cisayong Jawa Barat pada 7 Agustus 1949.[9]
Ketegasan dan adanya jaminan konstitusional terhadap pelaksanaan Syari’at Islam ini juga agaknya menjadi faktor penting yang mendorong Daud Beureu-eh  pada bulan September 1953  menyatakan Aceh dan daerah-daerah yang berbatasan dengannya menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo  dan tidak mengakui Negara Republik Indonesia pimpinan Soekarno. Karena sebelum Daud Beureu-eh bergabung dengan Kartosuwiryo, saat Soekarno berkunjung ke Aceh pada tahun 1948 dalam rangka mencari dukungan dari rakyat Aceh untuk mempertahankan kemerekaan Republik Indonesia yang baru tiga tahun diproklamirkan,  sebenarnya ada dialog atau pembicaraan menarik antara Daud Beureu-eh dengan Soekarno.
Dalam pembicaraan itu Daud Beureu-eh menyatakan kesanggupannya untuk membantu Republik Indonesia sambil minta jaminan kepada Soekarno agar rakyat Aceh nantinya diberi kelonggaran untuk mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan tradisi dan ajaran Islam.[10] Dalam pandangan Daud Beureu-eh, Soekarno tidak bisa memenuhi janjinya,sehingga menjadikan dia kecewa dan bergabung dengan Kartsuwiryo sebagai “pemberontak”. Akan tetapi, “pemberontakan” ini tidak berlangsung lama. DI/TII berakhir secara damai melalui musyawarah, setelah Pemerintah Pusat pada tahun 1959 memenuhi tuntutan rakyat Aceh dan memberikan status Daerah Istimewa pada Provinsi Aceh melalui Keputusan Perdana Menteri RI Nomor 1/Missi/1959 pada tanggal 26 Mei 1959.[11]
Itulah sebabnya, pada saat konstitusi Indonesia dibahas kembali dalam sidang konstituante, perdebatan ini muncul kembali. Sayangnya, perdebatan mengalami deadlock dan Sukarno , presiden republik Indonesia pada saat itu, mengambil inisiatif membubarkan konstituante dan mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam konsideran dekrit itu dikatakan bahwa Piagam Jakarta tetap menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UUD 1945.
Setelah dekrit , perdebatan tentang hubungan Islam atau syari’at Islam dengan Negara masih muncul di kalangan ulama mapun politisi. Sebagian politisi menganggap bahwa adanya kata menjiwai menunjukkan bahwa Piagam Jakarta masih eksis sementara bagi yang lain kata menjiwai tidak berarti Piagam Jakarta eksis. Ia hanya memberikan spirit saja. Pro-kontra dalam memaknai Pancasila setelah dekrit ini terus berlangsung sampai ada kesempatan untuk mengamandemen konstitusi.
Setelah jatuhnya regim otoriter Soeharto, dan untuk pertama kalinya UUD 1945 dimungkinkan untuk diamandemen, aspirasi politisi Islam yang ingin menembalikan “Piagam Jakarta” masih muncul. Akan tetapi sampai dengan amandemen keempat UUD 1945, upaya untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak berhasil.[12]  Sungguhpun demikian upaya memasukkan norma-norma syari’at Islam kedalam undang-undang masih terus berlangsung.

3)      Upaya memasukkan syari’at Islam dalam undang-undang dan peraturan daerah

Tidak adanya jaminan langsung dan tertulis dalam konstitusi yang menyebutkan bahwa umat Islam berkewajiban menjalankan syari’at agamanya, bukan berarti norma-norma syari’at Islam tidak bisa masuk dalam peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Sekadar menyebut contoh untuk beberapa Peraturan Perundang-undangan yang mengakomodasi Syari’at Islam adalah  [1] UU Nomor 1 Tahun 1971 tentang Perkawinan, [2] PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan, [3] UU Nomor 7 Tahun  1989 tentang Peradilan Agama, [4] UU Nomor 7 Tahun 1992 jo. UU Nomor 10 Tahun 1998 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya Bank Syari’ah, [5] Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, [6] UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan [7] UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat .
Di era demokrasi, reformasi dan otonomi daerah yang sekarang sedang digalakkan di Indonesia muncul beberapa peraturan daerah yang dalam pembuatannya mendapat inspirasi dari syari’at Islam. Menurut catatan, sekarang ini lebih dari 20 kabupaten di Indonesia yang mengeluarkan Peraturan Daerah yang mendapat inspirassi dari syari’at Islam atau yang lebih dikenal dengan sebutan perda syari’at.[13]
Akan tetapi Perda-perda itu pada umumnya dikritik sebagai Perda yang bermasalah meskipun kalau dilihat dari prosedur penetapannya, peraturan itu ditetapkan melalui mekanisme yang demokratis dan  mendapat dukungan suara mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Hal ini karena bagi para pengritik perda-perda itu melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Sebab demokrasi bukan semata-mata suara mayoritas dalam proses pengambilan keputusan atau dalam proses pemilihan. Demokrasi  mesti didasarkan pada aturan main atau rule of law yang jelas. Demokrasi juga  mesti bisa melindungi kebebasan sipil dan hak-hak kaum minoritas. Demokrasi  menurut Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel, menuntut adanya perlindungan atas kebebasan sipil, penghormatan terhadap hak-hak hukum, berpegang pada aturan main dan adanya jaminan bagi kebebasan pers. Aturan yang dibuat  mayoritas bila mengabaikan hak asasi manusia dan kebebasan sipil maka akan mengarah pada apa yang disebut oleh John Mill sebagai “tyranny majority” atau apa yang disebut Fareed Zakaria sebagai “illiberal democracy”.[14] Itulah sebabnya, meskipun Perda syari’at muncul di mana-mana tapi kritik dan tantangan juga muncul dari mana-mana termasuk dari umat Islam sendiri.

Tantangan yang dihadapi umat Islam yang akan menetapkan syari’at Islam melalui institusi Negara
Sejak awal periode sejarah pembentukan hukum Islam, perdebatan tentang apakah hukum Islam perlu ditetapkan atau diundangkan oleh Negara sudah muncul. Upaya pertama dilakukan pada abad pertama, ketika khalifah dari Dinasty Umayah memohon kepada Imam Malik agar tulisan atau pandangan beliau tentang hukum Islam yang ada dalam kitab al-Muwatha   ditetapkan oleh khalifah (Negara) sebagai satu-satunya buku standar untuk rujukan hukum Islam. Gagasan in mendapat inspirasi dari pendahulunya , Usman bin Affan , yang telah sukses menyatukan umat Islam dalam teks al-Qur’an yang seragam. Khalifah merasa , kiranya lebih maslahat bila umat Islam juga memiliki buku tentang hukum Islam yang seragam.
Secara halus Imam Malik menolak permohonan khalifah dengan menyatakan bahwa saya adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan dalam memahami hadits nabi. Apa yang saya himpun dalam kitab saya hanya sebagian dari hukum Islam. Para sahabat nabi telah meninggalkan Madinah dan pengetahuan tentang hukum Islam juga telah pergi menyertai mereka.Oleh karena itu kitab saya tidak memadai bila dijadikan sebagai satu-satunya standar.  Sejak itu, hukum Islam hidup dan berkembang secara independen diluar mekanisme Negara. Setiap hakim memiliki kebebasan untuk memilih hukum Islam yang akan ia terapkan dan Negara tidak memiliki otoritas untuk mencampuri urusan mereka.[15]
Menetapkan norma-norma syari’at Islam melalui institusi Negara atau qanunisasi mengandung aspek positip dan aspek negative. Aspek positifnya bisa memberikan standar hukum Islam yang relative seragam. Tapi aspek negatifnya bisa mengurangi kebebasan hakim dalam memilih ketentuan hukum Islam yang paling cocok untuk kasus tertentu yang dia hadapi. Dalam tradisi Islam klasik , hakimlah yang membuat hukum. Tradisi dan sejarah hukum Islam lebih mirip dengan tradisi Common Law ketimbang Continental law.  Tidak pernah ada kodifikasi hukum dalam sejarah hukum Islam sampai akhir dinasti Usmani. Kodifikasi hukum Islam di akhir dinasti Usmani adalah  akibat dari pengaruh Eropa Continental.
 Dalam konteks Indonesia, hukum Islam yang cocok dengan daerah tertentu belum tentu cocok dengan daerah lain. Hukum Islam yang dirumuskan dalam kitab-kitab fiqih klasik juga belum tentu cocok dengan kondisi masa kini. Oleh karena itu qonunisasi atau orang menyebut formalisasi hukum Islam berpotensi mengekang perkembangan hukum Islam yang selalu berkembang akibat dibukanya pintu ijtihad. Sebab hukum Islam yang ditetapkan oleh Negara dalam bentuk qanun akan cepat ketinggalan zaman. Contohnya adalah Kompilasi Hukum Islam yang dilegalkan atau disahkan penggunaannya  melalui instruksi presiden pada tahun 1991. Kompilasi yang baru berumur satu setengah dasa warsa ini telah menuai banyak kritik dari banyak intelektual muda Islam di Indonesia karena beberapa bagiannya sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Tantangan juga datang dari mereka yang tidak setuju diformalkannya hukum Islam melalui undang-undang Negara. Dengan diundangkannya hukum Islam melalui undang-undang Negara menjadikan pelaksanaan hukum Islam seoalah-olah tergantung pada Negara. Jusuf Kalla, saat memberikan sambutan pada seminar internasional bertema Translating Islam in the multicultural world for peace, justice and welfare menyatakan bahwa dirinya akan amat tersinggung kalau Perda-perda syari’at justru akan menjadikan kaum  Muslim tidak lagi takut kepada Allah tapi lebih takut pada Bupati atau walikota jadi bukan ittaqu Allah tapi ittaqu Bupati.[16] Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tidak mendukung proyek legislasi syari’at Islam di daerah-daerah karena mereka lebih memilih hukum nasional.[17]
Hal ini karena mereka pada umumnya menyadari bahwa syari’at Islam sebenarnya lebih merupakan norma etika yang bersumber dari ajaran agama. Sebagai norma etik, Muslim baik secara individu maupun kolektif sebenarnya bisa menjalankan semua norma-norma etika yang ada dalam syari’at Islam tanpa adanya campur tangan atau paksaan penguasa.
Dalam kritiknya terhadap formalisasi syari’at Islam di Aceh Aguswandi menyatakan bahwa penerapan syari’at Islam yang konservatif di Aceh mesti jadi pelajaran bagi setiap orang. Kita mestinya tidak mengulangi kegagalan dan membiarkan kelomkpok konservatif mendikte syari’at Islam seperti yang terjadi di Aceh. Banyak di antara kita yang tidak menyadari betapa Islam di Aceh telah dieksploitasi sedemikian rupa oleh kelompok konservatif untuk mempromosikan sesuatu yang baru yakni type Islam yang menindas wanita , membatasi kebebasan berbicara , menerapkan aturan tingkah laku yang ketat yang sebenarnya bertentangan dengan tradisi lokal dan watak Islam itu sendiri.[18]  
Aturan yang menindas , diskriminatif dan membelenggu kebebasan sipil kalaupun ditetapkan melalui mekanisme atau prosedur demokrasi maka akan melahirkan apa yang disebut tyranny majority dan ini jelas akan menghambat  perkembangan demokrasi yang sehat.  Umat Islam yang memaksakan paham atau interpretasinya yang konservatif terhadap syari’at Islam akan dipandang sebagai pendukung authoritrianism dalam Islam. 
Khaled Abou El-Fadl dalm bukunya Speaking in God’s name , Islamic Law, Authority and Women (2003) sebagiumana dikutip oleh M.Hilaly Basya mengatakan :  “ Authoritarianism is the act of locking or captivating the will of Divine or the will of the text into the specific determination as inevitable , final and conclusive . Menurut Abou El-Fadl problem interpretasi adalah authoritarianism. Authoritarianism akan semakin kuat bila ia didukung oleh kekuasaan atau regim dan elit agama yang sudah mapan atau terlembagakan. Authoritarianism semacam ini sering melayani kepentingan politik sebuah regim yang ingin mempertahankan ststus quo dan hegemoninya  terhadap rakyat. Sikap seperti inilah yang akan menghancurkan peradaban Islam. Oleh karena itu kita harus mengkritisi otoritas yang dogmatic karena sepanjang pengalaman sejarah interpretasi yang dogmatic  akan melahirkan kekerasan dan penindasan.[19]  
Dalam bahasa M.Adhiatera authoritarianism bisa melahirkan apa yang disebut sebagai religious totalitarianism dengan ciri-ciri antara lain sebagai berikut. Pertama otoritas suatu regim didasarkan atas mandat suci “holy mandate” dari Tuhan sehingga masayarakat luas tidak boleh mempertanyakan legitimasinya karena ia berasal dari Tuhan. Sehinga penindasan tidak lagi dilakukan dengan senjata tapi melalui atau atas nama Tuhan. Ciri kedua , regim itu akan memaksakan ajaran agama secara ketat dan mengontrol cara rakyat mengamalkan agamanya. Ini semua akan memberi peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh orang-orang yang menduduki kekuasaan. [20]
Lily Zakiyah Munir , direktur CPDS ( Centre for Pesantren and Democracy Studies) saat diwawancarai oleh Yoginder Sikand , menyatakan penolakannya terhadap gagasan yang akan memaksakan syari’at melalui pemaksaan dengan memaksa orang untuk melakukan ini atau itu. Hal itu dinilainya tidak realistik bahkan tidak Islami  karena al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa dalam urusan agama tidak boleh ada paksaan. Orang bebas untuk percaya atau tidak percaya. Memaksa orang agar mematuhi aturan hukum Islam tidak akan menambah kesalehan orang itu. Itu hanya akan menjadikan dia menjadi munafik.[21] Pengendalian diri dan dorongan untuk mengikuti jalan hidup yang etis baik dalam Islam atau dalam agama lain harus melalui proses internalisasi. Itu harus datang dari dalam bukan dari luar. Itu tidak bisa dipaksakan kepadamu., katanya. Saya sendiri, katanya menambahkan, memakai jilbab  bukan karena negara atau suami saya memaksa saya  tapi karena saya sendiri mau memakainya [22]

Ditulis Oleh : Unknown // 5:08 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment