Hukum Islam di Era Demokrasi
Tantangan dan Peluang bagi Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia
Pendahuluan
Di tengah kesulitan yang dihadapi oleh sebagian politisi Muslim untuk memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta[3] ( Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya) kedalam konstitusi Indonesia karena pada akhirnya gagasan itu ditolak oleh mayoritas suara, Sukarno, president pertama Indonesia pernah menyatakan bahwa jika sebagian besar orang Indonesia benar-banar Muslim dan jika benar bahwa Islam merupakan agama yang hidup di hati rakyat, maka silahkan setiap pemimpin menggerakkan orang-orangnya agar delegasi Muslim menempati kursi parlemen… Dengan demikian undang-undang yang dikeluarkan oleh lembaga perwakilan rakyat ini dengan sendirinya akan menjadi Islami. Jika orang Kristen, misalnya, menginginkan agar setiap kata-kata dalam peraturan Negara Indonesia sejalan dengan Bible , maka silahkan mereka bekerja dengan sungguh-sungguh agar sebagian besar delegasi yang menduduki badan perwakilan rakyat di Indonesia adalah orang-orang Kristen.[4]
Apa yang dikatakan oleh Sukarno mengandung
pengertian bahwa meskipun jaminan konstitusi untuk menjalankan syari’at Islam
gagal diperoleh oleh partai Islam, kesempatan untuk membuat undang-undang atau
aturan yang berdasar atau diilhami oleh syari’at Islam melalui mekanisme
demokrasi perwakilan di Indonesia
masih tetap terbuka luas.
Akan tetapi,
itu semua bukan berarti tanpa tantangan yang harus dihadapi. Tantangan itu
tampak dalam tulisan beberapa pengamat yang khawatir bahwa activist Islam akan
menggunakan demokrasi untuk mematikan demokrasi. Wendy Asbeek Brusse dan Jan
Schoonenboom dalam tulisannya yang
berjudul Islamic Activism and Democratization menyatakan bahwa regim-regim
di Timur Tengah serta pendukungnya di Barat enggan memberikan keleluasaan bagi
politik Islam untuk bergerak dan berberpartisipasi secara penuh dalam pemilihan
nasional dan pemilihan parlemen karena mereka beralasan bahwa bila gerakan itu mendapat akses ke politik dan memegang
kekuasaan maka mereka akan segera mengakhiri kompetisi demokrasi. Hal ini
karena mereka pada dasarnya menolak prinsip demokrasi dan hak asasi manusia
yang mereka pandang bertentangan dengan syari’at dan kedaulatan mutlak Tuhan. [5]
Dalam sebuah tulisan yang dimuat oleh surat kabar ibukota Ralf
Dahrendorf , anggota the British House of Lord dan mantan rector London School
of Economics, juga menulis sebagai
berikut : the return of religion to
politics – and to public life in general – is a serious challenge to the rule
of democratically enacted law and the civil liberties that go with it.[6] Makalah ini akan memaparkan perjalanan panjang perjuangan untuk
memasukkan syari’at Islam kedalam konstitusi dan undang-undang Indonesia,
tantangan yang dihadapi oleh sejumlah Muslim yang akan menetapkan syari’at
Islam melalui institusi Negara dan sejauh mana peluang yang diberikan oleh
iklim demokrasi yang ada di Indonesia yang bisa dimanfaatkan oleh Muslim untuk
menawarkan apa yang mereka anggap sebagai hukum Islam.
Perjuangan memasukkan syari’at Islam kedalam konstitusi dan undang-undang Indonesia
Perjuangan memasukkan syari’at Islam kedalam konstitusi dan undang-undang Indonesia
1)
Alasan perlunya jaminan konstitusi
Kiranya perlu
dipahami , mengapa sebagian umat Islam pada saat Negara Indonesia ini
akan didirikan merasa perlu membicarakan posisi syari’at Islam dalam konstitusi
Negara Indonesia .
Menurut penulis setidaknya ada tiga alasan yang mendorong sebagian umat Islam
merasa penting membicarakan posisi syari’at Islam dalam konstitusi. Pertama,
dalam konsep Negara modern hukum dasar yang akan dijadikan rujukan pembuatan
undang-undang adalah konstitusi. Konstitusi yang jelas dan tertulis akan
dijadikan acuan bagi pembuatan undang-undang di bawahnya mengningat konstitusi
merupakan hukum tertinggi dalam konteks kehidupan bernegara. Undang-undang yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan konstitusi Negara.
Kedua konsep
Negara Islam dalam literatur klasik ada hubungannya dengan jaminan melaksanakan
syari’at Islam bagi umat Islam. Negara yang memberikan kebebasan bagi umat Islam
untuk melaksanakan syari’at Islam bisa
disebut sebagai dar al-Islam ,sebaliknya
Negara yang tidak memberikan kebebasan bagi
umat Islam untuk menjalankan syari’at Islam tidak bisa disebut sebagai dar al-Islam. [7]
Ketiga adanya
anggapan bahwa hukum Islam paling tidak sebagian darinya tidak bisa
dilaksanakan tanpa adanya kekuasaan politik setingkat Negara, karena hukum
Islam menurut mereka tidak hanya mengatur urusan privat tapi juga urusan publik.
Oleh karena itu keberadaan Negara bagi umat Islam merupakan kemestian sesuai
dengan kaidah ma la yatimmu al-wajib illa
bihi fahuwa wajib.
2) Upaya
memasukkan syari’at Islam dalam konstitusi
Upaya
memasukkan syari’at Islam dalam konstitusi muncul sebelum Negara republik Indonesia
ini resmi dideklarasikan. Jauh sebelum itu para pendiri Negara telah berdebat tentang dasar Negara. Sebagian
mereka menginginkan agar dasar Negara Indonesia
adalah Islam sementara yang lain menghendaki agar dasar Negara Indonesia
ini nasionalisme. Kompromi pertama dicapai pada saat para pendiri Negara
menyetujui agar Piagam Jakarta yang menggabungkan unsur nasionalisme dan Islam
akan dijadikan sebagai pembukaan konstitusi negara.
Pada saat para
pendiri Negara ini akan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia ,
muncul keberatan dari penduduk bagian timur Indonesia yang kebanyakan
non-Muslim. Mereka khawatir bila Piagam Jakarta dijadikan dasar Negara maka
mereka yang non Muslim akan termarjinalisasikan dan akan menjadi warga Negara
kelas dua. Mereka mengancam akan keluar dari Indonesia bila hal itu dipaksakan.
Untuk itu melalui tindakan yang bijak, para pendiri Negara setuju agar sila
pertama dalam Piagam Jakarta
yang menyatakan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai sila pertama ditambah dengan
empat sila yang lain yang dikenal dengan sebutan Pancasila kemudian
dijadikan sebagai dasar Negara. Kompromi
seperti menjadikan Indonesia
tidak murni menjadi Negara sekuler tapi juga tidak menjadi Negara Islam. Indonesia
kemudian memperkanalkan dirinya sebagai Negara Pancasila. Dalam
Negara Pancasila semua pemeluk agama ditempatkan dalam posisi yang sama. Semua
warga berhak menjalankan agamanya dan beribadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
Akan tetapi keputusan yang ‘bijak’ ini tidak menjadikan semua umat Islam
merasa lega dan puas. Sebagian umat Islam masih menginginkan dan terus
memperjuangkan agar Piagam Jakarta
atau lebih tepatnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta masuk dalam konstitusi. Sebab
dengan masuknya tujuh kata dalam Piagam Jakarta maka Indonesia
dengan sendirinya , dilihat dari konstitusinya, telah menjadi Negara Islam.
Meskipun bukan menjadi satu-satunya faktor, keinginan untuk mendapatkan
jaminan pelaksanaan Syari’at Islam secara tegas dalam konstitusi merupakan
salah satu faktor yang mendorong Sekarmaji Kartosuwiryo memproklamirkan
berdirinya Negara Islam Indonesia
[8] di
Desa Cisampang, Cisayong Jawa Barat pada 7 Agustus 1949.[9]
Ketegasan dan
adanya jaminan konstitusional terhadap pelaksanaan Syari’at Islam ini juga
agaknya menjadi faktor penting yang mendorong Daud Beureu-eh pada bulan September 1953 menyatakan Aceh dan daerah-daerah yang
berbatasan dengannya menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan
Kartosuwiryo dan tidak mengakui Negara
Republik Indonesia pimpinan Soekarno. Karena sebelum Daud Beureu-eh bergabung
dengan Kartosuwiryo, saat Soekarno berkunjung ke Aceh pada tahun 1948 dalam
rangka mencari dukungan dari rakyat Aceh untuk mempertahankan kemerekaan
Republik Indonesia yang baru tiga tahun diproklamirkan, sebenarnya ada dialog atau pembicaraan menarik
antara Daud Beureu-eh dengan Soekarno.
Dalam
pembicaraan itu Daud Beureu-eh menyatakan kesanggupannya untuk membantu
Republik Indonesia
sambil minta jaminan kepada Soekarno agar rakyat Aceh nantinya diberi
kelonggaran untuk mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan tradisi dan
ajaran Islam.[10] Dalam
pandangan Daud Beureu-eh, Soekarno tidak bisa memenuhi janjinya,sehingga
menjadikan dia kecewa dan bergabung dengan Kartsuwiryo sebagai “pemberontak”.
Akan tetapi, “pemberontakan” ini tidak berlangsung lama. DI/TII berakhir secara
damai melalui musyawarah, setelah Pemerintah Pusat pada tahun 1959 memenuhi
tuntutan rakyat Aceh dan memberikan status Daerah Istimewa pada Provinsi Aceh
melalui Keputusan Perdana Menteri RI Nomor 1/Missi/1959 pada tanggal 26 Mei
1959.[11]
Itulah
sebabnya, pada saat konstitusi Indonesia
dibahas kembali dalam sidang konstituante, perdebatan ini muncul kembali. Sayangnya,
perdebatan mengalami deadlock dan
Sukarno , presiden republik Indonesia pada saat itu, mengambil inisiatif
membubarkan konstituante dan mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada Pancasila
dan Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam konsideran dekrit itu dikatakan bahwa
Piagam Jakarta
tetap menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UUD
1945.
Setelah dekrit
, perdebatan tentang hubungan Islam atau syari’at Islam dengan Negara masih
muncul di kalangan ulama mapun politisi. Sebagian politisi menganggap bahwa
adanya kata menjiwai menunjukkan bahwa Piagam Jakarta masih eksis sementara
bagi yang lain kata menjiwai tidak berarti Piagam Jakarta eksis. Ia hanya
memberikan spirit saja. Pro-kontra dalam memaknai Pancasila setelah dekrit ini
terus berlangsung sampai ada kesempatan untuk mengamandemen konstitusi.
Setelah
jatuhnya regim otoriter Soeharto, dan untuk pertama kalinya UUD 1945 dimungkinkan
untuk diamandemen, aspirasi politisi Islam yang ingin menembalikan “Piagam
Jakarta” masih muncul. Akan tetapi sampai dengan amandemen keempat UUD 1945,
upaya untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak berhasil.[12] Sungguhpun demikian upaya memasukkan
norma-norma syari’at Islam kedalam undang-undang masih terus berlangsung.
3)
Upaya memasukkan syari’at Islam dalam undang-undang dan
peraturan daerah
Tidak adanya
jaminan langsung dan tertulis dalam konstitusi yang menyebutkan bahwa umat
Islam berkewajiban menjalankan syari’at agamanya, bukan berarti norma-norma
syari’at Islam tidak bisa masuk dalam peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia .
Sekadar menyebut contoh untuk beberapa Peraturan Perundang-undangan yang
mengakomodasi Syari’at Islam adalah [1]
UU Nomor 1 Tahun 1971 tentang Perkawinan, [2] PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan, [3] UU Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, [4] UU Nomor 7 Tahun 1992 jo. UU Nomor 10 Tahun 1998 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya Bank Syari’ah, [5]
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, [6] UU Nomor 17 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan [7] UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat .
Di era
demokrasi, reformasi dan otonomi daerah yang sekarang sedang digalakkan di Indonesia
muncul beberapa peraturan daerah yang dalam pembuatannya mendapat inspirasi
dari syari’at Islam. Menurut catatan, sekarang ini lebih dari 20 kabupaten di
Indonesia yang mengeluarkan Peraturan Daerah yang mendapat inspirassi dari
syari’at Islam atau yang lebih dikenal dengan sebutan perda syari’at.[13]
Akan tetapi
Perda-perda itu pada umumnya dikritik sebagai Perda yang bermasalah meskipun
kalau dilihat dari prosedur penetapannya, peraturan itu ditetapkan melalui
mekanisme yang demokratis dan mendapat
dukungan suara mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Hal ini karena bagi para pengritik perda-perda itu
melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Sebab demokrasi bukan semata-mata
suara mayoritas dalam proses pengambilan keputusan atau dalam proses pemilihan.
Demokrasi mesti didasarkan pada aturan main
atau rule of law yang jelas. Demokrasi juga mesti bisa melindungi kebebasan sipil dan
hak-hak kaum minoritas. Demokrasi menurut Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel,
menuntut adanya perlindungan atas kebebasan sipil, penghormatan terhadap
hak-hak hukum, berpegang pada aturan main dan adanya jaminan bagi kebebasan
pers. Aturan yang dibuat mayoritas bila
mengabaikan hak asasi manusia dan kebebasan sipil maka akan mengarah pada apa
yang disebut oleh John Mill sebagai “tyranny majority” atau apa yang disebut
Fareed Zakaria sebagai “illiberal democracy”.[14]
Itulah sebabnya, meskipun Perda syari’at muncul di mana-mana tapi kritik dan
tantangan juga muncul dari mana-mana termasuk dari umat Islam sendiri.
Tantangan yang dihadapi umat Islam yang akan menetapkan syari’at Islam melalui institusi Negara
Sejak awal
periode sejarah pembentukan hukum Islam, perdebatan tentang apakah hukum Islam
perlu ditetapkan atau diundangkan oleh Negara sudah muncul. Upaya pertama
dilakukan pada abad pertama, ketika khalifah dari Dinasty Umayah memohon kepada
Imam Malik agar tulisan atau pandangan beliau tentang hukum Islam yang ada dalam
kitab al-Muwatha ditetapkan oleh khalifah (Negara) sebagai satu-satunya
buku standar untuk rujukan hukum Islam. Gagasan in mendapat inspirasi dari
pendahulunya , Usman bin Affan , yang telah sukses menyatukan umat Islam dalam
teks al-Qur’an yang seragam. Khalifah merasa , kiranya lebih maslahat bila umat
Islam juga memiliki buku tentang hukum Islam yang seragam.
Secara halus
Imam Malik menolak permohonan khalifah dengan menyatakan bahwa saya adalah
manusia biasa yang memiliki keterbatasan dalam memahami hadits nabi. Apa yang
saya himpun dalam kitab saya hanya sebagian dari hukum Islam. Para
sahabat nabi telah meninggalkan Madinah dan pengetahuan tentang hukum Islam
juga telah pergi menyertai mereka.Oleh karena itu kitab saya tidak memadai bila
dijadikan sebagai satu-satunya standar. Sejak itu, hukum Islam hidup dan berkembang
secara independen diluar mekanisme Negara. Setiap hakim memiliki kebebasan
untuk memilih hukum Islam yang akan ia terapkan dan Negara tidak memiliki
otoritas untuk mencampuri urusan mereka.[15]
Menetapkan
norma-norma syari’at Islam melalui institusi Negara atau qanunisasi mengandung aspek positip dan aspek negative. Aspek
positifnya bisa memberikan standar hukum Islam yang relative seragam. Tapi
aspek negatifnya bisa mengurangi kebebasan hakim dalam memilih ketentuan hukum
Islam yang paling cocok untuk kasus tertentu yang dia hadapi. Dalam tradisi
Islam klasik , hakimlah yang membuat hukum. Tradisi dan sejarah hukum Islam lebih
mirip dengan tradisi Common Law ketimbang Continental law. Tidak pernah ada kodifikasi hukum dalam
sejarah hukum Islam sampai akhir dinasti Usmani. Kodifikasi hukum Islam di
akhir dinasti Usmani adalah akibat dari
pengaruh Eropa Continental.
Dalam konteks Indonesia , hukum Islam yang cocok
dengan daerah tertentu belum tentu cocok dengan daerah lain. Hukum Islam yang
dirumuskan dalam kitab-kitab fiqih klasik
juga belum tentu cocok dengan kondisi masa kini. Oleh karena itu qonunisasi atau orang menyebut
formalisasi hukum Islam berpotensi mengekang perkembangan hukum Islam yang
selalu berkembang akibat dibukanya pintu ijtihad. Sebab hukum Islam yang ditetapkan
oleh Negara dalam bentuk qanun akan cepat ketinggalan zaman. Contohnya adalah
Kompilasi Hukum Islam yang dilegalkan atau disahkan penggunaannya melalui instruksi presiden pada tahun 1991.
Kompilasi yang baru berumur satu setengah dasa warsa ini telah menuai banyak
kritik dari banyak intelektual muda Islam di Indonesia karena beberapa bagiannya
sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Tantangan juga
datang dari mereka yang tidak setuju diformalkannya hukum Islam melalui
undang-undang Negara. Dengan diundangkannya hukum Islam melalui undang-undang Negara
menjadikan pelaksanaan hukum Islam seoalah-olah tergantung pada Negara. Jusuf
Kalla, saat memberikan sambutan pada seminar internasional bertema Translating Islam in the multicultural world
for peace, justice and welfare menyatakan bahwa dirinya akan amat
tersinggung kalau Perda-perda syari’at justru akan menjadikan kaum Muslim tidak lagi takut kepada Allah tapi
lebih takut pada Bupati atau walikota jadi bukan ittaqu Allah tapi ittaqu Bupati.[16] Dua
organisasi Islam terbesar di Indonesia
yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tidak mendukung proyek legislasi
syari’at Islam di daerah-daerah karena mereka lebih memilih hukum nasional.[17]
Hal ini karena
mereka pada umumnya menyadari bahwa syari’at Islam sebenarnya lebih merupakan
norma etika yang bersumber dari ajaran agama. Sebagai norma etik, Muslim baik
secara individu maupun kolektif sebenarnya bisa menjalankan semua norma-norma
etika yang ada dalam syari’at Islam tanpa adanya campur tangan atau paksaan penguasa.
Dalam
kritiknya terhadap formalisasi syari’at Islam di Aceh Aguswandi menyatakan
bahwa penerapan syari’at Islam yang konservatif di Aceh mesti jadi pelajaran
bagi setiap orang. Kita mestinya tidak mengulangi kegagalan dan membiarkan
kelomkpok konservatif mendikte syari’at Islam seperti yang terjadi di Aceh.
Banyak di antara kita yang tidak menyadari betapa Islam di Aceh telah
dieksploitasi sedemikian rupa oleh kelompok konservatif untuk mempromosikan
sesuatu yang baru yakni type Islam yang menindas wanita , membatasi kebebasan
berbicara , menerapkan aturan tingkah laku yang ketat yang sebenarnya
bertentangan dengan tradisi lokal dan watak Islam itu sendiri.[18]
Aturan yang
menindas , diskriminatif dan membelenggu kebebasan sipil kalaupun ditetapkan
melalui mekanisme atau prosedur demokrasi maka akan melahirkan apa yang disebut
tyranny majority dan ini jelas akan menghambat perkembangan demokrasi yang sehat. Umat Islam yang memaksakan paham atau
interpretasinya yang konservatif terhadap syari’at Islam akan dipandang sebagai
pendukung authoritrianism dalam Islam.
Khaled Abou
El-Fadl dalm bukunya Speaking in God’s name , Islamic Law, Authority and
Women (2003) sebagiumana dikutip oleh M.Hilaly Basya mengatakan : “ Authoritarianism is the act of locking or
captivating the will of Divine or the will of the text into the specific
determination as inevitable , final and conclusive” . Menurut Abou El-Fadl problem interpretasi adalah authoritarianism. Authoritarianism akan semakin kuat bila ia didukung oleh kekuasaan atau regim dan
elit agama yang sudah mapan atau terlembagakan. Authoritarianism semacam ini sering melayani kepentingan politik
sebuah regim yang ingin mempertahankan ststus quo dan hegemoninya terhadap rakyat. Sikap seperti inilah yang
akan menghancurkan peradaban Islam. Oleh karena itu kita harus mengkritisi
otoritas yang dogmatic karena sepanjang pengalaman sejarah interpretasi yang
dogmatic akan melahirkan kekerasan dan
penindasan.[19]
Dalam bahasa
M.Adhiatera authoritarianism bisa melahirkan apa yang disebut sebagai religious
totalitarianism dengan ciri-ciri antara lain sebagai berikut. Pertama otoritas
suatu regim didasarkan atas mandat suci “holy mandate” dari Tuhan sehingga
masayarakat luas tidak boleh mempertanyakan legitimasinya karena ia berasal
dari Tuhan. Sehinga penindasan tidak lagi dilakukan dengan senjata tapi melalui
atau atas nama Tuhan. Ciri kedua , regim itu akan memaksakan ajaran agama
secara ketat dan mengontrol cara rakyat mengamalkan agamanya. Ini semua akan
memberi peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh orang-orang yang menduduki
kekuasaan. [20]
Lily Zakiyah
Munir , direktur CPDS ( Centre for Pesantren and Democracy Studies) saat
diwawancarai oleh Yoginder Sikand , menyatakan penolakannya terhadap gagasan
yang akan memaksakan syari’at melalui pemaksaan dengan memaksa orang untuk
melakukan ini atau itu. Hal itu dinilainya tidak realistik bahkan tidak Islami karena al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa
dalam urusan agama tidak boleh ada paksaan. Orang bebas untuk percaya atau
tidak percaya. Memaksa orang agar mematuhi aturan hukum Islam tidak akan
menambah kesalehan orang itu. Itu hanya akan menjadikan dia menjadi munafik.[21]
Pengendalian diri dan dorongan untuk mengikuti jalan hidup yang etis baik dalam
Islam atau dalam agama lain harus melalui proses internalisasi. Itu harus datang
dari dalam bukan dari luar. Itu tidak bisa dipaksakan kepadamu., katanya. Saya
sendiri, katanya menambahkan, memakai jilbab
bukan karena negara atau suami saya memaksa saya tapi karena saya sendiri mau memakainya [22]
0 komentar:
Post a Comment