Essensi Pelayanan Publik : Salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa perangkat pemerintahan daerah dengan kewenangan-kewenangan otonominya harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, kewenangan yang diberikan kepada masyarakat dalam bentuk otonomi daerah itu adalah suatu ”alat” (means) untuk mencapai ”tujuan” (end) dalam wujud pelayanan publik guna mensejahterakan masyarakat.
Oleh karena itu argumen pertama untuk menentukan pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat adalah Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasi apa-apa saja input (masukan) sesuai kebutuhan masyarakat untuk diolah menjadi output (produk) yang perlu dihasilkan oleh Pemerintah Daerah sehingga menjadi outcome yang dapat memenuhi pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah, dan bagimana dampaknya yang ditimbulkan oleh pelayanan publik tersebut. ”Pada dasarnya output Pemda adalah untuk menghasilkan ”good and regulations” untuk kepentingan publik.Kelompok dari Goods adalah barang-barang atau fasilitas publik yang dihasilkan Pedmda seperti pasar, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dsb. Sedangkan dalam kelompok Regulations yang dihasilkan umumnya yang bersifat ’Regulatory” atau Pengaturan, seperti pengaturan untuk KPT, KK, Akte Kelahiran, IMB, Izin usaha , pengaturan tata tertib dan ketentraman, dlsb. Apabila dikaitkan dengan posisi Pemerintah Daerah sebagai lembaga yang memperoleh ”legitimasi” dari rakyat untuk menyelenggarakan ”good and regulations” tersebut, pertanyaanya adalah: ” Sejauh mana Pemerintah Daerah mampu mempertanggungjawabkan kuantitas dan kualitas output yang dihasilkannya, sehingga benar-benar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat? Untuk itulah rakyat membayar pajak dan mempercayakan penggunaan pajak tersebut kepada wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah. Dari dasar pemikiran ini lahir konsep yang sangat dikenal sebagai ”No Tax Without Representation”
Dalam pada itu, dalam penyelenggaraan otonomi daerah menurut semangat UU No. 32 Tahun 2004 yang menganut prinsip ”otonomi nyata dan bertanggungjawab” mengisyaratkan bahwa Pemerintahan Daerah dalam menentukan isi otonomi sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, bagaimanapun juga harus dikaitkan dengan ”kebutuhan riil masyarakat di daerah”, dengan perkataan lain seberapapun luasnya otonomi daerah yang diberikan, haruslah mampu memanifestasikan ”pelayanan publik” yang berkorelasi atau yang ”relevant” dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya, adalah tidak logis atau tidak riil-rasional, kalau Pemerintahan Daerah yang murni perkotaan, ditekankan kepada kegiatan urusan-urusan yang berkaitan dengan urusan kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian atau peternakan. Walaupun urusan-urusan tersebut ada di perkotaan, tapi relatif kecil sekali dibandingkan kebutuhan-kebutuhan yang merupakan ”core-competence” di perkotaan.
”Derasnya arus urbanisasi ke Jakarta seiring dengan kembalinya arus mudik Lebaran, merupakan bentuk kegagalan konsistensi Indonesia sebagai negara agraris. Salah satu akan persoalan yang mendasari adalah sempitnya akses petani kecil dan buruh tani terhadap tanah serta infrastruktur pertanian”
Kondisi ini semakin parah karena kebijakan pembangunan yang menitik beratkan kepada ”pertumbuhan” (growth) masih tetap menenmpatkan kota-kota besar seperti Jakarta sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan, di sisi lain berbagai persoalan di pedesaan seperti minimnya infrastruktur dan kesulitan lahan terus terjadi, sehingga tidak mengherankan jika warga desa terus mengalir ke kota untuk mencari nasib. Beberapa warga desa yang ikut bersama pemudik balik ke Jakarta mengaku, bahwa mengadu nasib ke Jakarta, karena kondisi lahan di desa mereka sangat memprihatinkan, kekeringan menyebabkan banyak lahan terlantar, tiadanya jaringan irigasi, jalan, dan listrik di pedesaan menyebabkan parahnya kehidupan ekonomi di pedesaan. Kalau begitu, buat apa kebijakan desentralisasi dengan memberikan otonomi yang luas dan bertanggung jawab kepada Daerah kalau bukan untuk mensejahterakan rakyat di pedesaan? Pertanyaan inilah yang harus terjawab, baik oleh penentu kebijakan di daerah maupun di pusat, terutama dalam mencari akar permasalahannya.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa dipakai dalam menentukan isi otonomi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sbb:
Pertama, pendekatan isi otonomi yang berorientasi kepada penyediaan pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan pokok (Basic needs) masyarakat, seperti : pelayanan kesehatan, pendidikan, lingkungan air minum, transportasi perkotaan, fasilitas untuk pejalan kaki (trotoir), fasilitas pencegah dan pemadam kebakaran, relokasi pedagang kaki lima, resetlement daerah2 kumuh dlsb.
Kedua, pendekatan atas dasar sektor unggulan (”core-competence”) daerah, yaitu kebutuhan daerah untuk melakukan kewenangan yang berdasarkan pertimbangan urusan-urusan ”unggulan” yang akan dilakukan daerah tersebut untuk memajukan daerahnya masing-masing. Penentuan core-competence ini didasarkan kepada perhitungan terhadap apa yang menjadi unggulan suatu daerah yang pengembangannya akan berdampak sangat besar terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah ybs, misalnya core-competence di bidang pertanian, peternakan, industri, pariwisata dlsb.
Untuk menentukan core-competence suatu daerah, bisa diukur dari 3 indikator sbb:
a. Komposisi penduduk menurut mata pencahariannya. Dari data statistik mata pencaharian penduduk, akan terlihat sektor mana yang paling menyerap tenaga kerja penduduk daerah ybs. Dengan demikian, Pemerintah Daerah sudah seharusnya memberikan perhatian untuk pengembangan sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja penduduk terbanyak;
b. Pemanfaatan lahan. Dari pemanfaatan lahan akan terlihat sektor mana yang dikembangkan di daerah yang bersangkutan;
c. Komposisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari komposisi PDRB dapat dilihat sektor mana yang memberikan kontribusi paling besar terhadap perekonomian daerah. Dari setiap sektor yang ada dalam komposisi PDRB, dilihat sektor mana yang mempunyai ”forward linkage” dan ”backward linkage” terbesar, terutama dampaknya terhadap kegiatan penduduk.
Pertimbangan dari ketiga faktor tersebut akan memberikan gambaran kepada Pemerintah Daerah, sektor-sektor mana yang menjadi andalan daerah yang bersangkutan untuk dikembangkan, sehingga pemahaman sektor unggulan tsb akan menjadi acuan bagi Daerah dalam menentukan isi otonomi atas dasar core-competence daerah ybs., sudah barang tentu termasuk fasilitas pelayanan umum yang harus disediakan oleh pemerintah, dalam bentuk infrastruktur, fasilitas umum dlsb.
Keleluasaan (diskresi) yang cukup luas yang diberikan kepada Daerah oleh UU No.32 Tahun 2004 untuk menentukan isi otonominya, dengan mengacu kepada pendekatan core-competence, maka isi otonomi daerah dari satu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya, tergantung dari sektor mana yang akan dikembangkan sebagai core competence diluar kewenangan yang menjadi kewajiban untuk penyediaan basic services.
Dari kondisi tersebut, maka Pemerintahan Daerah haruslah berhati-hati dalam menentukan urusan-urusan mana saja yang akan dijadikan ruang lingkup otonominya. Akan tetapi, bukan juga berarti bahwa Pemerintahan Daerah dapat mengenyampingkan urusan-urusan yang merupakan pelayanan terhadap kebutuhan pokok (basic services) masyarakat seperti: pendidikan, kesehatan, lingkungan, transportasi dlsb, dan juga urusan yang berkaitan dengan pengembangan core-competence daerah ybs. Disamping itu, harus juga menjadi perhatian Pemerintahan Daerah untuk menentukan pilihan (option) yang paling optimal dalam melaksanakan urusan otonominya, terutama yang menyangkut dengan pelayanan publik, apakah suatu urusan tersebut akan sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintahan Daerah sendiri public), atau diserahkan sepenuhnya kepada swasta (private), atau dilakukan kemitraan antara Pem.Daerah dengan Swasta (public private partnership) .
Dalam pada itu, perlu menjadi perfhatian bahwa urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan (option) dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa urusan itu adalah urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Walaupun pelaksanaan ketentuan tersebut dijanjikan dalam UU 32/2004 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, namun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebaiknya pro-aktif mengambil initiatif dan oto-aktivitas dalam menentukan option tersebut, karena kesempatan, serta kewenangan untuk mengatur dan mengurus pemerintahan sendiri dan kepentingan masyarakat setempat secara undang-undang telah diberikan kepada pemerintahan/masyarakat daerah. Initiatif tersebut bisa dilakukan, baik melalui pengembangan hubungan pemeriantahan, maupun peningkatan kerjasama antar daerah.
0 komentar:
Post a Comment