Thursday, June 27, 2013

PENINGKATAN KAPASITAS MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

PENINGKATAN KAPASITAS MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT 

Modal Sosial dalam Pengembangan Masyarakat 
Modal sosial adalah hubungan yang sifatnya mutual, kepercayaan, kelembagaan, nilai dan norma sosial lainnya yang berperanan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hubungan tersebut dapat bersifat formal maupun informal. Hubungan formal dalam masyarakat misalnya yang terjadi melalui organisasi masyarakat, kelompok keagamaan, koperasi, partai politik dan sebagainya, sedangkan hubungan sosial yang informal misalnya interaksi sosial antara masyarakat dalam satu lingkungan. Hal yang sangat menentukan dalam penguatan modal sosial adalah intensitas interaksi antara warga masyarakat atau dengan pihak terkait, yang dapat berperan menjadi ruang publik yang partisipatif dan efektif. 

Modal sosial adalah kekuatan yang menggerakkan masyarakat, terbentuk melalui berbagai interaksi sosial dan institusi sosial. Menurut salah satu penggagas modal sosial, Robert Putnam, modal sosial adalah bagian dari organisasi sosial berupa hubungan sosial dan rasa saling percaya yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama (Putnam 1995). Seperti halnya modal yang lain, modal sosial dapat meningkat dan dapat pula menurun bahkan menghilang. Selanjutnya dikatakan bahwa hasil penelitian Putnam di Italia menggambarkan adanya korelasi positif antara modal sosial dan kinerja pemerintah daerah. Putnam menyimpulkan bahwa modal sosial mempunyai peranan penting dalam penciptaan pemerintah daerah yang responsif dan efisien, yang ditandai dengan adanya masyarakat yang kuat dan dinamis. Selain itu arus balik kekuasaan dari pusat ke daerah dalam kerangka desentralisasi mensyaratkan partisipasi lokal dalam pembangunan daerah dan modal sosial merupakan kekuatan tidak terlihat yang dapat mendorong keberhasilan partisipasi lokal tersebut. Dengan demikian penting sekali bagi pemerintah daerah memahami ide modal sosial terlebih dalam implementasi kebijakan-kebijakan di daerah dalam kerangka desentralisasi. 

Konsep modal sosial berasal dari James Coleman dalam tulisannya yang berjudul ‘Social Capital in the Creation of Human Capital’ yang diterbitkan oleh American Journal of Sociology tahun 1988. Modal sosial diartikan sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antara individu-individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru. Konsep ini kemudian dielaborasi terkait dengan isu-isu pembangunan ekonomi masyarakat yang partisipatif, maupun politik. Dikatakan modal sosial apabila mengandung tiga komponen inti, yaitu: 1) kemampuan merajut kelembagaan (crafting institution); 2) adanya partisipasi yang setara dan adil, dan 3) adanya sikap saling percaya. 

Agar pengembangan masyarakat berkelanjutan maka model pembangunan yang partisipatif seyogyanya menekankan konsep pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan modal sosial (social capital). Pada saat ini Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) merupakan suatu kasus program yang menampilakn proses pengembangan keswadayaan masyarakat dengan membangun ketiga komponen modal sosial, maupun penggalian pengetahuan lokal tersebut atas inisiatif masyarakat, yang diserta penanaman nilai baru pembangunan ke dalam kebudayaan masyarakat. 

Peningkatan Kapasitas Manusia dalam Modal Sosial 
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pengembangan kesempatan, kemauan/motivasi, dan kemampuan masyarakat untuk dapat lebih akses terhadap sumber daya, serta mengembangkan kewenangan untuk itu, sehingga meningkatkan kapasitasnya untuk menentukan masa depan sendiri dengan berpartisipasi dalam mempengaruhi dan mewujudkan kualitas kehidupan diri dan komunitasnya. Tujuan jangka pendek pemberdayaan sebaiknya jelas (specific), terukur (measurable) dan sederhana (relistic), sehingga merupakan kondisi yang mendorong minat masyarakat untuk mewujudkannya (achievable) dalam waktu tertentu. Tujuan pemberdayaan yang lebih kompleks perlu ada dan sebaiknya ditetapkan sebagai tujuan dalam jangka panjang (vision). Visi yang jelas berpotensi untuk menjadi pemandu kegiatan kerjasama diantara masyarakat untuk menetapkan tujuan-tujuan jangka pendek pemberdayaan, sehingga proses pemberdayaan menjadi lebih terarah, efektif dan efisien. Hal ini disebabkan setiap proses pemberdayaan menuju pada suatu kondisi kehidupan di masa yang mendatang yang lebih jelas. 

Tujuan pemberdayaan seyogyanya didasarkan pada kebutuhan riil (real-needs) masyarakat dan bukan hanya sekedar kebutuhan yang dirasakan (felt-need). Idealnya kebutuhan yang dirasakan masyarakat adalah kebutuhan riilnya. Oleh karena itu, siapapun pelaku pemberdayaan semestinya mampu mengenali dengan baik kebutuhan riil masyarakat dan secara dialogis dikomunikasikan sedemikian rupa dengan masyarakat, sehingga menjadi kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat. 

Dalam kontek penerapan tanggungjawab sosial perusahaan yang akhir-akhir ini cukup banyak dikembangkan, kebutuhan yang diangkat sebagai tujuan dalam pemberdayaan seyogyanya merupakan konsensus antara pihak-pihak yang mendefinisikan kebutuhan, misalnya pemerintah, perusahaan, masyarakat/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemberdaya atau pemberi pelayanan serta akademisi/peneliti. Peran pemberdaya mengupayakan dialog antara para pendefinisi kebutuhan sehingga diperoleh konsensus mengenai kebutuhan masyarakat secara partisipatif. Diutamakan, pendefinisian kebutuhan oleh masyarakat sendiri, dengan cara mengajak orang untuk berdialog dan mengembangkan kemampuan warga untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka yang sesungguhnya (Sumardjo 2009). 

Pasang-surut dalam Pengembangan Kapasitas Manusia Pembangunan 
Salah satu prinsip penting dalam pemberdayaan adalah menghargai nilai lokal (valuing the local). Prinsip-prinsip ini tersirat oleh gagasan pembangunan yang bersifat “bottom up”. Prinsip-prinsip ini berpusat pada gagasan untuk menghargai pengetahuan lokal, nilai-nilai, keyakinan, keterampilan, proses dan sumber daya suatu masyarakat. Dengan demikian lebih mudah meyakinkan masyarakat dan mengembangkan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan tersebut (Sumardjo 2007). 

Pemahaman paradigma dalam pengembangan kapasitas petani bergeser dari masa ke masa. Pada masa sistem pembangunan pertanian yang sentralistik tampak prioritas dalam penyuluhan adalah (Sumardjo 2009) Better farming, better business, better living; Masa Transisi Agribisnis-Reformasi adalah Better business, better farming, better living; dan Masa Reformasi adalah Better living, better business, better farming. 

Pada masa pembangunan yang sentralistik teknik produksi dikembangkan secara intensif melalui kegiatan penyuluhan, penelitian dan pelayanan untuk mencapai target-target produksi. Dengan teknik produksi yang baik maka akan terjadi bisnis usahatani yang baik yang selanjutnya diharapkan meningkatkan kualitas hidup. Dalam penyuluhan saat itu dikenal istilah dipaksa-terpaksa-terbiasa, sehingga menjadi apatis. Faktanya, kesejahteraan petani kurang terwujud, bisnis pun kurang berkembang meskipun petani sudah menggunakan teknologi pertanian inovatif. 

Konsep agribisnis demikian gencar digerakkan pada awal reformasi dengan prinsip better business, better farming dan better living. Utamanya adalah pengembangan kemampuan bisnis, karena dengan kemampuan bisnis yang baik maka petani akan memilih menerapkan teknologi pertanian yang terbaik. Faktanya, sistem agribisnis yang asimetris menyebabkan kemampuan bisnis tetap lemah, karena tersekat-sekat oleh terputusnya informasi hulu-hilir dalam sistem agribisnis. Hasilnya, kesejahteraan petani juga kurang terwujud, karena tidak efektif terjadi perubahan perilaku bisnis, posisi tawar petani tetap rendah. 

Dewasa ini, pada akhir dekade reformasi hipotesis muncul yang perlu diutamakan adalah better living, dengan kualitas hidup yang baik maka perilaku konsumtif terkendali dan perilaku produktif berkembang, tingkat pendidikan dan pengelolaan keuangan keluarga menjadi kondusif, maka keputusan-keputusan bisnis usahatani menjadi terdukung. Pada kondisi seperti itu, inovasi teknologi lebih dapat dicerna karena daya nalar yang semakin baik. Pada musim-musim panen raya petani tidak harus buru-buru menjual hasil produksinya dengan harga murah, tetapi melakukan pengolahan hasil untuk mendapatkan nilai tambah. Hasil usahatani ditabung dan diinvestasikan pada usaha produktif, sehingga penghasilan meningkat dan pada gilirannya tersedia dana untuk akses informasi dan akses inovasi di dalam berusahatani.


DAFTAR PUSTAKA 
Ban VDAW, Hawkins HS. 1996. Agricultural Extension (second edition). Blackwell Science, Osney Mead, Oxford OX2 OEL. 

Coleman J. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology Supplement 94: S95-S120. 

Craig G, Mayo (ed.) 1995. Community Empowerment: A Reader in Participation and Development. Zed Books. London. 

Dasgupta P. 1997. Social Capital and Economic Performance. Washinton DC: The World Bank. 

Ghosh PK. 1984. Third World Development: A Basic Needs Aproach. Westport: Greenwood Press. 

Hikmat H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora. 

Narayan D. 1999. Bonds and Bridges; Social Capital and Poverty. Washinton DC: World Bank. 

Putnam RD. 1995. Bowling alone: America's declining social capital. Journal of Democracy Vol. 6 (1995) 1, 64-78. 

Sumardjo. 1992. Pembangunan dan Kemiskinan di Timor Tengah Selatan. Dalam Sayogyo (penyunting) “Pembangunan dan Kemiskinan di Propinsi Nusa Tenggara Timar”. Yogyakarta: Gama Press. 

___________. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 

___________. 2000. Mencari Bentuk Pengembangan Sumberdaya Manusia Mandiri dalam Pertanian Berbudaya Industri di Era Globalisasi. Hasil Penelitian Hibah Bersaing Kerjasama IPB dengan Dirjen Dikti Depdiknas RI. Bogor. 

___________. 2006. Kompetensi Penyuluh. Makalah disampaikan dalam rapat koordinasi Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional, Batam. 

___________. 2007. Metoda Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Magister Profesional Pengembangan Masyarakat, Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 

___________. 2008. Penyuluhan Pembangunan sebagai Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat. Dalam Sudrajat dan Yustina “Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat”. Sydex Plus. Bogor. 

___________. 2009. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Agribisnis. Makalah dalam Kuliah Umum Di Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang. Banten. 

Todaro PM, Stephen. 2009. Economic Development. Tenth Edition. New York: Pearson, Addison Wesley. 

UNDP. 2003. Human Development Report, 2003: Mellenium Development Goals: A Compact among Nations to End Human Poverty. New York: Oxford University Press. 

Widodo S. 2008. Kelembagaan Kapital Sosial dan Pembangunan. [terhubung berkala]. http://learning-of.slametwidodo.com/2008/02/01/kelembagaan-kapital-sosial-dan-pembangunan/ 

Ditulis Oleh : Unknown // 6:27 PM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment