PENDIDIKAN
DEMOKRASI
Adalah John Dewey ( dalam Tilaar, 2003)
filosof pendidikan yang melihat hubungan yang begitu erat antara pendidikan dan
demokrasi. Dewey mengatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai demokrasi
maka kita memasuki wilayah pendidikan. Pendidikan merupakan sarana bagi tumbuh
dan berkembangnya sikap demokrasi. Oleh karena itu, pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari penyelenggaraan negara yang demokratis.
Pendidikan demokrasi sebagai upaya sadar
untuk membentuk kemampuan warga negara berpartisipasi secara bertanggung jawab
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatpenting. Hal ini bisa dilihat
dari nilai - nilai yang terkandung di dalam demokrasiakan membawa kehidupan
berbangsa dan negara yang lebih baik, dibandingkan dengan ideologi
non-demokrasi. Menurut Dahl (2001) keuntungan dari demokrasi sebagai berikut :
1. Demokrasi
menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan
licik.
2. Demokrasi
menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah HAM yang tidak diberikan dan
tidak dapat diberikan oleh sistem-sitem yang tidak demokratis.
3. Demokrasi
menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warga negaranya daripada
alternatif lain yang memungkinkan.
4. Demokrasi
membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya.
5. Hanya
pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar -
besarnya bagi orang - orang untuk menggunakan kebebasan untuk menentukan
nasibnya sendiri, yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka pilih sendiri.
6. Hanya
pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya
untuk menjalankan tanggung jawab moral.
7. Demokrasi
membantu perkembangan manusia lebih total daripada alternatif lain yang
memungkinkan.
8. Hanya
pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan
politik yang relatif tinggi.
9. Negara - negara demokrasi perwakilan modern tidak
berperang satu sama lain.
10.Negara -
negara dengan pemerintahan demokratis cenderung lebih makmur daripada negara -
negara dengan pemerintahan yang tidak demokratis.
Dalam pendidikan demokrasimenekankan
pada pengembangan ketrampilan intelektual (intellectual
skill), ketrampilan pribadi dan sosial (personal
and social skill) (Zamroni, 2003). Ketrampilan intelektual menekankan pada
pengembangan berpikir kritis siswa. Selama ini tampak ditekankan pada kegiatan
mengakumulasi/menabung pengetahuan sebanyak mungkin kepada siswa (knowledge deposite).
Ketrampilan pribadi ditekankan pada
pengembangan kepercayaan diri dan harapan-harapan diri terhadap sistem
politiknya. Harapan itu misalnya bahwa sistem politik akan mengakomodasi
berbagai kepentingan dirinya sebagai warga negara. Dalam kenyataan ada
kecenderungan siswa dipolakan pada ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
pemerintah atau pihak lain.Sedangkan ketrampilan sosial ditekankan pada
kemampuan emphatic dan respek pada orang lain, berkomunikasi dan toleransi.
Dalam pendidikan demokrasi tampak ada
tuntutan kepada sekolah untuk mentransfer pengajaran yang bersifat akademis ke
dalam realitas kehidupan yang luas di masyarakat. Dengan perkataan lainpraktek
pembelajaran dilakukan dengan materi yang substansial (konsep teori yang sangat
selektif) tetapi kaya dalam implementasi.
Untuk keberhasilan pendidikan demokrasi
diperlukan kondisi berkembangnya kultur demokrasi. Ruy ( dalam Zamroni, 2003)
mengemukakan ada 4 ciri kultur demokrasi, 1) merupakan budaya campuran dari
berbagai nilai-nilai dari ideologi politik yang berbeda - beda; 2) bersumber
pada budaya umum dan bersifat horizontal; 3) didasarkan pada masyarakat sipil (civil society); 4) merupakan keterpaduan
dari berbagai segmen masyarakat (kelompok kecil masyarakat tercermin dalam
norma dan perilaku masyarakat secara keseluruhan).
Di Indonesia kini berkembang ideologi
Islam, social democrat, dan nasionalis seperti tercermin pada ideologi
partai-partai politik (lihat Tabel di bawah ini).
Tabel
1. Peta Ideologis Partai - partai Politik
(official-unofficial,
declared-undeclared)
Ideologi Islam
|
Ideologi Sosial Demokrat
|
Ideologi Nasionalis
|
-Islam Orthodoks : Partai Bulan Bintang;
-Islam
Progresif : Partai Keadilan Sejahtera;
-Islam
Tradisionalis: Partai Persatuan Nahdlatul Ummah, Partai persatuan
pembangunan, Partai Bintang ;
-Islam
Modernis : Partai Amanat Nasional. Progessif Kiri : Partai Merdeka dan
Partai Buruh Sosial democrat;
|
-Progesif Kanan : Partai Perhimpunan
Indonesia Baru;
-Progressif Kiri : Partai Merdekas dan
Partai Buruh Sosial Demokrat;
-Konservatif
Tengah : Partai Sarikat Indonesia.
|
-Nasionalis
Populis (Marhaenisme; Sosialisme Indonesia) : PNI Marhaenisme; Partai
Nasional Banteng Kemerdekaan; Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai
Pelopor;
-Nasionalisme
Negara (State Developmentalism)
:Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Patriot Pancasila; Partai Keadilan dan
Persatuan.
-Nasionalis Religi (Islam Kebangsaan) :
Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera, Partai Karya Peduli
Bangsa;
-Nasionalis Demokrat (Nation State) : Partai Demokrat;
-Nasionalis Progesif (National
Pluralis) : Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan dan Partai Persatuan
Daerah.
|
Sumber :Diolah
dari Daniel Sparringa . Pemilu 2004: Taksonomi Tema dan Isu Relevan, dalam M.
Farid Cahyono dan Lambang Triyono ,Editor. (2004). Pemilu 2004 Transisi Demokrasi dan Kekerasan, h. 21-22.
Ideologi - ideologi politik di Indonesia
memang beragam tetapi kini kian mencair. Hal itu bisa dilihat begitu mudahnya
terjadi koalisi antara partai politik yang berbeda ideologi. Sayangnya koalisi
itu dibangun tidak atas dasar platform tetapi lebih didasarkan atas bagi - bagi
kekuasaan ('politik dagang sapi'). Dalam kenyataan pragmatisme dan
materialisme-lah yang menjadi ideologi partai politik.Berpolitik untuk
memperjuangkan idealisme seperti yang tercermin dalam ideologi politik
merupakan barang langka. Berpolitik untuk meperjuangkan kepentingan publik
telah berganti sebagaimata pencahariaan.
Dalam kondisi perpolitikan tersebut di
atas, maka pendidikan demokrasi telah kehilangan referensi bagaimana berpolitik
yang berorientasi pada idealisme dan berpolitik yang etis. Oleh karena itu di
kalangan masyarakat dewasa ini seperti tampak dalam pemilihan presiden ada
fenomena melemahnya politik aliran dan menguatnya mesianisme (memilih karena
figure, pemimpin yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan atau ratu
adil). Namun baik pemilih yang masih berkutat pada pertimbangan domain politik
aliran dan mesianisme sama -sama masih dalam tataran pemilih emosional. Pemilih
rasional tampak belum berkembang. Ini merupakan tantangan bagi
pendidikandemokrasi yang berkehendak untuk mengembangkan berpolitik (memilih)
secara rasional.
Pada sisi lain budaya umum yang bersifat
horizontalyang penting bagi pendidikan demokrasi masih belum berkembang. Kultur
feodalistik-lah yang berkembang. Hal ini terlihat hubungan patron-klien masih
sangat kuat. Penguasa yang semestinya menjadi pelayan publik justru minta
dilayani oleh masyarakat. Egalitarianisme tidak berkembang. Budaya politik
demokrasi atau budaya politik kewarganegaraan (Almond & Verba, 1984) yang
merupakan budaya campuran dari budaya politik partisipan, subyek dan parokhial
tidak berkembang secara proporsional. Budaya politik subyek yang ditandai oleh
kepatuhan tanpa sikap kritis terhadap penguasa berkembang melampaui dua budaya
politik yang lain. Hal ini disebabkan antara lain kuatnya obsesi elite baik
pada masa Orde Lama dan Orde Barupada kekuasaan.
Dalam masa Orde Baru Ong Hok Ham (2002)
mengambarkan bahwa obsesi elite Orde Baru (kekuasaan Soeharto yang terdiri dari
berbagai aliansi militer , politik, bisnis, dll.) terhadap kekuasaan, jabatan,
dan status segila obsesi orang Cina terhadap uang. Obsesi - obsesi tersebut
turut menegakkan orde patrimonial dan praetorian di Indonesia. Adnan Buyung
Nasution (Kompas, 15 Agustus 2004) dalam konteks ini menyatakan pada zaman Orde
Lama siapa dekat kekuasaan selamat, dan akan maju. Akhirnya orang tersebut
menjilat pada kekuasaan. Di zaman Soeharto kekuasaan itu ditambah dengan
materi. Kalau di zaman Soekarno kekuasaan itu memiliki tujuan yang dianggap
luhur karena waktu itu untuk revolusi. Dalam revolusi masih ada sesuatu
yang ideal. Lepas benar atau tidak,
revolusi untuk sesuatu yang dianggap luhur. Dalam zaman Soeharto kekuasaan
lebih ditekankan pada tujuan ekonomi, orang mengejar materi kekayaan, kemewahan
ataupun uang.
Budaya politik yang horizontal belum
berkembang masih diperparah oleh masyarakat sipil yang masih lemah. Hal ini
ditandai antara lain (1) mudahnya berkembang tindakan kekerasan baik
oleh pemerintah maupun masyarakat, seperti tampak
dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM); (2) belum kuatnya penghargaan dan
toleransi terhadap pluarlisme tampak pada mudahnya berkembang konflik sosial;
(3) asosiasi dalam masyarakat yang mestinya independen tetapi mampu
mengendalikan masyarakat politik (political society) kenyataannya mudah
dihegemoni oleh penguasa maupun menjadi kepanjangan kepentingan kekuatan
politik. Hal ini diperparahkarena ternyata sosialisasi politik yang berkembang
seperti dinyatakan Afan Gafar ( dalam Cholisin, 2004) belum memunculkan civil
society. Indikatornya antara lain (1)dalam masyarakat kita, anak-anak tidak
didik menjadi insan mandiri. Anak - nak bahkan mengalami alienasi politik dalam
keluarga. Sejumlah keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan nasib si
anak, merupakan domain orangdewasa, anak - anak tidak dilibatkan sama sekali.
(2) tingkat politisasi sebagain besar masyarakat kita sangat rendah. Ikut
terlibat dalam wacana publik tentang hak - hak dan kewajiban warga negara, hak
asasi manusia dan sejenisnya, bukanlah skala prioritas penting.
Budaya demokrasi juga belum merupakan
keterpaduan dari segmen masyarakat sebagaimana tercermin dalam norma dan
perilaku masyarakat. Hal ini disebabkan terutama kelompok kecil sulit masuk
dalam akses kekuasaan dalam kultur masih kuat budaya patron-kliennya.
IV. PENUTUP
Kebijakan pendidikan yang demokratis
atau demokratisasi pendidikan dan pendidikan demokrasi belum berkembang sesuai
yang diharapkan. Hal ini disebabkan terutama dalam realitas sistem politik yang
berkembang justru otoriter. Ketika memasuki era reformasi, memang demokrasi
berkembang dengan pesat terutama demokrasi prosedural. Demokrasi substansial
atau dalam arti kultur belum tampak berkembang menggembirakan. Dengan demikian
tampak bahwa untuk mengembangkan demokratisasi pendidikan dan pendidikan
demokrasi dibutuhkan kondisi berkembangnya kultur demokrasi di kalangan elit
maupun masyarakat dan berkembangnya masyarakat madani (civil society).Jika ini terjadi maka harapan terwujudnya
konsolidasi demokrasi sebagai basis untuk demokratisasi pendidikan dan
pendidikan demokrasi memiliki prospek yang cerah.
Bacaan:
Almond, Gabriel A., Verba,
Sydney.(1984). Budaya Politik. (Judul
Asli : The Civic Culture), Penerjemah
Oleh Sahat Simamora. Jakarta : Bina Aksara.
Cholisin.(2004). Konsolidasi
Demokrasi Melalui Pengembangan Karakter Kewarganegaraan, dalam Jurnal Civics : Media Kajian
Kewarganegaraan, Volume 1, Nomor 1, Juni 2004. Yogyakarta : Jurusan PPKn
FIS UNY.
Dahl, Robert A., (2001). Demokrasi : Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi . Jakarta
Yayasan Obor Indonesia.
Daniel Sparringa.(2004). Pemilu 2004 : Taksonomi
Tema dan Isu Relevan, dalam M. Faried Cahyono dan Lambang Triyono (Editor). Pemilu 2004 : Transisi demokrasi dan
Kekerasan. Yogyakarta : Center for Security and Peace Studies (CSPS) UGM
bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiffung (FES) Indonesia.
H.A.R. Tilaar.(2003). Kekuasaan & Pendidikan : Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi
Kultural. Magelang : Indonesiatera.
Maarif, Ahmad
Syafii.(1985). Islam dan Masalah
Kenegaraan. Jakarta : LP3ES
Mayo,Henry B. (1960). An Introduction to Democracy Theory. New York : Oxford University
Press.
Ong Hok Ham.(2002). Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong : Refleksi Historis Nusantara.
Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Sorenso, Georg (2003). Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar kerjasama
dengan Center for Critical Social Studies.
Zamroni .(2003). Demokrasi dan Pendidikan dalam
Transisi : Perlunya Reorientasi Pengajaran Ilmu - Ilmu Sosial di Sekolah Menengah,
dalam Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan INOVASI,No.2
Th. XII/2003. Yogyakarta : LP3 UMY.
0 komentar:
Post a Comment