Monday, August 5, 2013

UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE

UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE 
Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara restorasi/rehabilitasi. Restorasi dipahami sebagai usaha mengembalikan kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara alami. Campur tangan manusia diusahakan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang dipahami/diingini manusia. Dengan demikian, usaha restorasi semestinya mengandung makna memberi jalan/peluang kepada alam untuk mengatur/memulihkan dirinya sendiri. Kita manusia pelaku mencoba membuka jalan dan peluang serta mempercepat proses pemulihan terutama karena dalam beberapa kondisi, kegiatan restorasi secara fisik akan lebih murah dibanding kita memaksakan usaha penanaman mangrove secara langsung. Restorasi perlu dipertimbangkan ketika suatu sistem telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami. Dalam kondisi seperti ini, ekositem homeastatis telah berhenti secara permanen dan proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan secara alami setelah kerusakan terhambat oleh berbagai sebab. Secara umum, semua habitat bakau dapat memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15 - 20 tahun jika: (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu, dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi adalah normal atau mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan cara penanaman. Oleh karena itu habitat bakau dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan bakau (Kusmana, 2005). Dahuri dkk (1996) menyatakan, terdapat tiga parameter lingkungan yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu: (1) suplai air tawar dan salinitas, dimana ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik dari ekosistem hutan mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung pada (a) frekuensi dan volume air dari system sungai dan irigasi dari darat, (b) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfer. (2) Pasokan nutrien: pasokan nutrient bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral an-organik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien. Secara internal melalui jaringan-jaringan makanan berbasis detritus (detrital food web). 

SILVOFISHERY SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PELESTARIAN MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT 
Pendekatan teknis yang dilakukan dalam kegiatan Perhutanan Sosial adalah dengan sistem silvofishery (Perum Perhutani,1993). Sistem ini merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah yang cukup efektif dan ekonomis. Aspek keuntungan yang diperoleh dengan model silvofishery ini antara lain dapat meningkatkan lapangan kerja (aspek sosial), dapat mengatasi masalah pangan dan energi (aspek ekonomi) serta kestabilan iklim mikro dan konservasi tanah (aspek ekologi).Pola ini dipandang sebagai pola pendekatan teknis yang dianggap cukup baik, karena selain petani dapat memanfaatkan lahan untuk kegiatan pemeliharaan ikan, pihak Perum Perhutani secara tidak langsung menjalin hubungan kerja sama yang saling menguntungkan. Pola silvofishery yang digunakan adalah pola komplangan (Gambar 1) dan empang parit (Gambar 2) (Perum Perhutani, 1994; Sumarhani, 1994; Amir, dkk, 1994). Perhutanan Sosial yang dilakukan oleh Perum Perhutani merupakan program pembangunan, pemeliharaan dan pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi- fungsi hutan secara optimal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perbaikan lingkungan dan kelestariannya yang pelaksanaannya terbatas dikawasan hutan. Berdasarkan pengertian tersebut diharapkan Perhutanan Sosial dapat memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan tekanan sosial budaya penduduk di sekitar hutan yang berakibat turunnya produktivitas lahan dan fungsihutan maupun kualitas lingkungan biofisik di sekitarnya. 

Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 60.2/Kpts/DIR/1988 merupakan Pedoman Pelaksanaan Perhutanan Sosial. Penggarap empang dianggap sebagai mitra sejajar dalam pembangunan hutan atas dasar saling menguntungkan. Perhutanan Sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pola agroforestry. Agroforestry merupakan suatu alternatif yang cukup efektif dalam upaya untuk menyatukan kepentingan antara kehutanan dengan masyarakat sekitar hutan, khususnya Kelompok Tani Hutan sehingga terjalin hubungan mitra pembangunan yang harmonis yang saling menguntungkan. Dalam system agroforestry, penggunaan lahan pada dasarnya dititikberatkan pada salah satu usaha tanaman pangan, peternakan atau kehutanan (Setiawan 1991). Jika tanaman kehutanan dikombinasikan dengan pertambakan ikan atau udang disebut silvofishery. Tujuan kegiatan Perhutanan Sosial di hutan mangrove ini sama halnya dengan di kawasan hutan produksi, yaitu : untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memelihara ekosistem hutan mangrove. Hal ini dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan teknis dan non teknis. 

1. Pendekatan Teknis 
Keterangan : 
a. pintu air 2 buah (pintu masuk dan keluar) 
b. tanggul pemisah 
c. areal bertegakan hutan dengan pasang surut bebas 
d. empang pemeliharaan ikan 

Keuntungan 
- cahaya matahari yang menyinarinya cukup baik 
- dapat diterapkan budidaya semi intensif 
- perkembangan hutan dan ikan tidak saling menghambat 

Hambatan : 
- membutuhkan biaya investasi untuk pembuatan empang 

Keterangan : 
a. pintu air untuk pemeliharaan ikan 
b. saluran air pasang surut bebas untuk hutan 
c. empang tempat pemeliharaan ikan lebar maksimum 5 meter 
d. areal tegakan hutan dengan pasang surut bebas 
e. tanggul 

Keuntungan : 
- cahaya matahari yang menyinari cukup baik 
- biaya penyempurnaan empang parit dapat dilaksanakan secara bertahap setiap pemeliharaan 

Hambatan : 
- pemeliharaan ikan kurang terintegrasi 
- lebar parit terbatas sehingga cahaya matahari yang menyinari tidak cukup banyak 

2. Pendekatan Non Teknis 
Dalam melaksanakan pendekatan non teknis ini perlu dibentuk suatu organisasi penggarap kawasan hutan ialah “Kelompok Tani Hutan” (KTH), dimana para petani penggarap membangun hutan mangrove bersama-sama dengan kelompoknya dan membentuk program kerja yang akan di laksanakannya. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, perlu adanya pembentukan organisasi dan tanggung jawab masing-masing seksi dari kelompok tani hutan. KTH ini perlu pula dilengkapi dengan koperasi sebagai wadah penyediaan sarana produksi pertanian atau sarana pengolahan hasil. Untuk mempermudah pembinaan petani empang parit, para petani dikelompokkan dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) dan diberikan penyuluhan secara intensif. Tugas dari Kelompok Tani Hutan (KTH) antara lain : 
  1. Melaksanakan tanaman hutan disetiap lokasi garapan masing-masing. 
  2. Ikut menerbitkan pemukiman/perambah dalam kawasan hutan mangrove 
  3. Gotong royong memperbaiki saluran air yang dangkal untuk memperlancar pasang surut air laut dan aliran sungai 
  4. Secara rutin mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan yang dihadapi, diantaranya cara budidaya ikan, udang, kepiting dikawasan hutan mangrove. 
  5. Disamping itu melakukan usaha koperasi simpan pinjam, pelayanan saprodi, pemasaran hasil ikan dan pengembangan pengolahan ikan. 
  6. Produksi ikan dari silvofishery seluruhnya menjadi hak penggarap anggota KTH.
VI. PENDEKATAN BUTTOM UP DALAM RANGKA PELESTARIAN HUTAN MANGROVE
Usaha pemulihan ekosistem mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah sering kita lihat. Upaya ini  biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan ataupun dari  Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia  bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran    serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat masih cenderung dijadikan obyek, bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing, 1995).   
Dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya  rencana itu  senantiasa datangnya dari atas; sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung  tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan  istilah populer dengan pendekatan top-down (Gambar 3). Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek tersebut, yaitu saat dana telah habis tentu saja  pelaksana proyek tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung jawabnya.
Di  sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut. Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang  mengawasinya, sehingga mereka dapat mengambil atau memotong hutan  mangrove tersebut secara bebas. Masyarakat beranggapan bahwa hutan  mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika  masyarakat membutuhkan mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek. Begitulah pengertian yang ada pada benak masyarakat pesisir yang dekat dengan hutan mangrove yang telah mereka  rehabilitasi (Savitri dan Khazali, 1999). Seyogyanya upaya pemulihan ekosistem mangrove adalah atas biaya  pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan   semuanya dipercayakan kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan lain-lain. Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir.  Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang  dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh  masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa  ikut merencanakan penanaman dan lain-lain.
Masyarakat merasa mempunyai  andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Dari sini akan tergambar andaikata ada sekelompok orang yang bukan  anggota masyarakat yang ikut menaman hutan mangrove tersebut ingin  memotong sebatang tumbuhan mangrove saja, maka mereka tentu akan ramai- ramai mencegah atau mengingatkan bahwa mereka menebang pohon tanpa ijin. Ini merupakan salah satu contoh kasus kecil dalam perusakan hutan mangrove yang telah dihijaukan, kemudian dirusak oleh anggota masyarakat lainnya yang  bukan anggota kelompoknya. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan  istilah pendekatan bottom- up (Gambar 4). 






Masyarakat

Pemerintah Kabupaten
Perangkat Desa

Pemerintah

 















Gambar 4.   Pendekatan Buttom-up
Menurut Sudarmadji (2001) Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang  telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya; karena masyarakat  sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka  bersama.  Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum  dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam  jangka panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom up relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatan top down dalam pelaksanan pemulihan ekosistem, selain  itu “pemerintah atau pemilik  modal” tidak terlalu berat melakukannya, karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses pelaksanaan  pemulihan tersebut, dan pada  masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan demikian  pelaksanaan suatu proyek dengan pendekatan bottom up atau menumbuhkan  adanya partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan proses  pendidikan pada masyarakat secara tidak langsung (Savitri dan Khazali, 1999).
DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R.  2002.  Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan  Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002
Golar, 2002. Presfektif Pengolahan Hutan Berbasis masyarakat: Antara Harapan  dan Kenyataa. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kolaboratif. Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Kusmana, C.  2005.  Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai  Pasca Tsunami di NAD dan Nias.  Makalah dalam Lokakarya Hutan mangrove Pasca sunami, Medan, April 2005
Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics. The Economics of Real Estate. 3rd ed.
Printice-Hall, Inc. NJ.
Departemen Kehutanan. 2001. Eksekutif. Data Strategis Kehutanan. Badan Planologi
Kehutanan. Jakarta.
Dixon, J.A., K.W. Easter. 1986. Economic Analysis at the Watershed Level. In. K.W.
Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Watershed Resources  Management.
An Integrated Framework with Studies from Asia and the Pasific. Studies in
Water Policy and Mngt, No. 10. Westview Press and Lond.
Fletcher, J.R., R.G. Gibb. 1992. Land Resource Survey Kandbook for Soil Conservation Planning in Indonesia. Alih Bahasa. 
Paimin, E. Savitri, S. Hartati. Pedoman Survai Sumberdaya Lahan Untuk Perencanaan Konservasi Tanah di Indonesia. Cet. Ke-3. Project Report No 2. Sci. Report No.11. MOF-DENGANRLR and DSIR. Hudson, N. 1971.  Soil Conservation. BT Basford Ltd.
Shaxson, F. 1999. New Consept and Approach to Land Management in the Tropics with Emphasis on Steeplands. FAO Soil Bul. 75. FAOUN. Rome.

Ditulis Oleh : Unknown // 6:01 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment