Kesenian Debus
1. Definisi Kata Debus
Ada beberapa yang mendefinisikan kata Debus diantaranya :
Mardiana (penulis lepas , 2004)
“ Debus dalam bahasa Arab berarti senjata tajam dari besi yang ujungnya runcing dan memiliki hulu bundar. Dengan alat ini tubuh pemain debus dilukai, yang biasanya tidak dapat ditembus walaupun hulu debus dipukul berkali-kali oleh orang lain. Atraksi-atraksi kekebalan badan yang menakjubkan merupakan variasi lain dalam pertunjukan debus. “
Ada juga yang menyebutkan bahwa debus berasal dari kata gedebus, yaitu nama salah satu benda tajam yang digunakan dalam pertunjukan kekebalan tubuh. Benda tajam tersebut tebuat dari besi, dan digunakan untuk melukai diri sendiri. Oleh karena itu kata debus dapat diartikan sebagai tidak tembus.”
Sumber sejarah lainnya menyebutkan, debus ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah yang dibawa oleh Nuruddin Ar-Raniry ke Aceh pada abad ke-16. Tarikat ini berprinsip bahwa ketika seseorang dalam kondisi epiphany, yaitu kegembiraan yang tidak terhingga karena ‘bertatap muka’ dengan Tuhan, ia kerap menghantam berbagai benda tajam ke tubuhnya. Filosofi yang dapat ditangkap adalah ‘la haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adhiim’, atau tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Maksudnya, jika Allah tidak mengizinkan pisau, golok, parang atau peluru sekalipun melukai tubuh seseorang, maka orang itu tidak akan terluka.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa debus merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Banten yang menggambarkan jiwa patriotik masyarakat Banten, yang digabungkan dengan nilai-nilai budaya Islam. Selain debus, kesenian khas Banten lainnya yang masuk ke dalam kategori ini adalah patingtung dan rudat.
2. Sejarah Debus
Seni & Budaya merupakan komponen penting yang tidak dapat terlepas dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Seni & Budaya juga merupakan suatu hal yang tak terlepaskan dalam mewujudkan identitas kebanggaan dan keberadaan bangsa di tengah-tengah bangsa lain yang harus selalu dipertahankan dan dikembangkan, agar tidak hilang termakan peradaban modern. Selain memiliki banyak potensi objek wisata alam yang memikat, masyarakat Banten juga memiliki kegiatan seni dan budaya, yang masih terus berlangsung dalam kehidupan masyarakatnya dan menarik untuk dipertunjukan. Masyarakat Banten yang berjumlah kurang lebih 7.500.000 orang, mayoritas beragama Islam dan memiliki akar spiritual yang kuat, sehingga seni dan budaya masyarakatnya banyak dipengaruhi oleh budaya Agama Islam. Selain Islam, seni dan budaya Banten dipengaruhi pula oleh budaya China, Budha, Jawa dan Sunda serta Arab, yang dipadukan dan dikemas oleh masyarakat Banten menjadi suatu pertunjukan yang dinamis dan aktraktif. Masyarakat Indonesia, sesuai dengan yang tercantum pada sila pertama Pancasila, dikenal sebagai masyarakat relijius. Di samping itu, tak dapat disangkal pula bahwa mereka masih percaya akan hal-hal yang berbau mistis, gaib, atau magic. Dunia mistis dalam masyarakat kita lantas dikaitkan erat dengan ibadah atau praktik ritual yang dilakukan oleh setiap masyarakat daerah atau suku bangsa yang ada di Indonesia; seperti upacara pembakaran mayat atau ngaben yang merupakan akulturasi kebudayaan masyarakat Bali dengan ajaran agama Hindu, atau perayaan sekaten yang merupakan perpaduan antara upacara keraton Jogjakarta dengan peringatan hari lahir Nabi Muhammad dalam ajaran agama Islam. Bentuk nyata hasil perpaduan kebudayaan daerah dengan ajaran agama juga terdapat pada kesenian debus yang dimiliki oleh masyarakat Banten. Debus merupakan kesenian asli masyarakat Banten yang diciptakan pada abad ke-16, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570), dalam rangka penyebaran agama Islam. Agama Islam diperkenalkan ke Banten oleh Sunan Gunung Jati, salah satu pendiri Kesultanan Cirebon, pada tahun 1520, dalam ekspedisi damainya bersamaan dengan penaklukan Sunda Kelapa. Kemudian, ketika kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Apalagi, di masa pemerintahannya tengah terjadi ketegangan dengan kaum pendatang dari Eropa, terutama para pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC. Kedatangan kaum kolonialis ini di satu sisi membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata, yaitu terjadinya percampuran akidah dengan tradisi pra-Islam. Hal ini yang terdapat pada kesenian debus.
3. Tokoh Pelopor Debus
Banyak orang merasa ngeri ketika menyaksikan pertunjukkan debus. Bayangkan, di tengah arena, publik penonton disuguhi permainan yang tak gampang dijumpai di sembarang tempat. Golok tajam berkelebatan ibarat dalam film silat. Bara api dan senjata tajam lainnya jadi mainan tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun pada para pemainnya.
Di balik seni pertunjukan yang mengerikan itu, Haji Moch Idris (92), orang yang selama ini menjadi syeh pertunjukkan debus, Tubuhnya memang kecil, tetapi kemampuannya dalam memimpin debus tidak perlu diragukan lagi. Dialah orang di belakang layar yang membuat para pemain kebal terhadap api dan senjata tajam apa pun dan memiliki rasa percaya diri tinggi.
Debus adalah kesenian khas Banten yang ditampilkan di arena terbuka. Kesenian itu sekaligus mencerminkan sikap dan perilaku masyarakatnya yang keras namun agamis. Lihat saja ketika atraksi pertunjukan mencapai puncaknya.
Para pemain dengan tanpa ragu mengiris lidah atau pergelangan tangannya dengan golok tajam dan mengkilap, tanpa gentar sedikit pun. Mereka bahkan memakan api yang berkobar dan kemudian menggunakan kepalanya untuk menggoreng, tanpa memperlihatkan rasa panas sedikit pun.
Masih belum cukup, penonton yang terpana dan dibayangi rasa ngeri itu kemudian disuguhi atraksi paling khas, tatkala dua pemain bertelanjang dada tampil di tengah arena. Seorang di antaranya memegang almadad, yakni sejenis alat yang terbuat dari besi berdiameter sekitar 12 mm dan panjangnya sekitar 45-50 cm. Ujung yang satu sengaja dibuat tajam sehingga menyerupai jarum besar. Sementara ujung lainnya dimasukkan ke dalam gagang kayu bergaris tengah sekitar 15 cm dan tebal 10 cm.
Dengan sikap seolah-olah menantang, ujung almadad yang tajam ditempelkan ke perut. Sementara pemain lainnya mengayunkan gada memukul gagang almadad. Alat pemukul tersebut terbuat dari kayu dengan garis tengah sekitar 15 cm dan tebal 10 cm. Di bagian tengah dipasang gagang.
Namun sekeras apa pun pukulannya, ternyata tidak membuat ujung besi almadad menembus perut pemain tersebut, walaupun gada dihantamkan beberapa kali. Bahkan kulit perut di mana ujung almadad ditempelkan, tidak sedikit pun meninggalkan luka. Padahal dalam keadaan normal, besi almadad yang menyerupai jarum besar itu bisa dengan mudah menembus perut sampai belakang tubuh seseorang.
Dalam debus, penonton bukan hanya disuguhi perpaduan antara seni dan keterampilan, dalam hal ini keterampilan seni bela diri. Tetapi debus yang berasal dari kata "dzikir, bathin dan salawat" itu merupakan seni yang erat kaitannya dengan pengolahan batin dan keislaman. Seni debus mengandung unsur-unsur dakwah sebagaimana awal kesenian tersebut didirikan pada masa Sultan Maulanan Hasanudin dan Sultan Banten berikutnya.
Pada masa itu, seni debus dimainkan oleh dua pemain secara bergantian. Sementara pemain lainnya duduk sambil membaca salawatan dan dzikiran seraya diiringi musik terbang besar dan kendang.
Setelah lebih daripada satu abad terpendam, salah satu alat seni debus yang disebut almadad akhirnya ditemukan Moch Idris ketika bertugas piket di rumah kediaman Residen Banten yang terletak di Banten Lama pada tahun 1949. Ketika itu tidak seorang pun tahu akan nama dan kegunaan barang tersebut.
Seni debus barulah dikembangkan setelah tentara Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1949. Setelah tahun 1950-an ia mulai melatih calon pemain.
Para pemain debus bukan sembarang orang. Idris menyebut syarat utama harus beragama Islam dan menjalani puasa selama 40 hari.
Tidur tidak boleh terlentang karena khawatir menelan ludah dan membatalkan puasa.
Selama menjalankan puasa, ia harus membaca amalan yang diambil dari ayat Al Quran. Menurut dia, debus juga merupakan tarekat Qadariyah.
4. Bentuk Atraksi Debus
Permainan debus merupakan bentuk kesenian yang dikombinasikan dengan seni tari, seni suara dan seni kebatinan yang bernuansa magis. Kesenian debus biasanya dipertunjukkan sebagai pelengkap upacara adat, atau untuk hiburan masyarakat. Pertunjukan ini dimulai dengan pembukaan (gembung), yaitu pembacaan sholawat atau lantunan puji-pujian kepada Nabi Muhammad, dzikir kepada Allah, diiringi instrumen tabuh selama tiga puluh menit. Acara selanjutnya adalah beluk, yaitu lantunan nyanyian dzikir dengan suara keras, melengking, bersahut-sahutan dengan iringan tetabuhan. Bersamaan dengan beluk, atraksi kekebalan tubuh didemonstrasikan sesuai dengan keinginan pemainnya : menusuk perut dengan gada, tombak atau senjata almadad tanpa luka; mengiris anggota tubuh dengan pisau atau golok; makan api; memasukkan jarum kawat ke dalam lidah, kulit pipi dan angggota tubuh lainnya sampai tebus tanpa mengeluarkan darah; mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tapi dapat disembuhkan seketika itu juga hanya dengan mengusapnya; menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang dikenakan hancur lumat namun kulitnya tetap utuh. Selain itu, juga ada atraksi menggoreng kerupuk atau telur di atas kepala, membakar tubuh dengan api, menaiki atau menduduki tangga yang disusun dari golok yang sangat tajam, serta bergulingan di atas tumpukan kaca atau beling. Atraksi diakhiri dengan gemrung, yaitu permainan alat-alat musik tetabuhan.
1. Definisi Kata Debus
Ada beberapa yang mendefinisikan kata Debus diantaranya :
Mardiana (penulis lepas , 2004)
“ Debus dalam bahasa Arab berarti senjata tajam dari besi yang ujungnya runcing dan memiliki hulu bundar. Dengan alat ini tubuh pemain debus dilukai, yang biasanya tidak dapat ditembus walaupun hulu debus dipukul berkali-kali oleh orang lain. Atraksi-atraksi kekebalan badan yang menakjubkan merupakan variasi lain dalam pertunjukan debus. “
Ada juga yang menyebutkan bahwa debus berasal dari kata gedebus, yaitu nama salah satu benda tajam yang digunakan dalam pertunjukan kekebalan tubuh. Benda tajam tersebut tebuat dari besi, dan digunakan untuk melukai diri sendiri. Oleh karena itu kata debus dapat diartikan sebagai tidak tembus.”
Sumber sejarah lainnya menyebutkan, debus ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah yang dibawa oleh Nuruddin Ar-Raniry ke Aceh pada abad ke-16. Tarikat ini berprinsip bahwa ketika seseorang dalam kondisi epiphany, yaitu kegembiraan yang tidak terhingga karena ‘bertatap muka’ dengan Tuhan, ia kerap menghantam berbagai benda tajam ke tubuhnya. Filosofi yang dapat ditangkap adalah ‘la haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adhiim’, atau tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Maksudnya, jika Allah tidak mengizinkan pisau, golok, parang atau peluru sekalipun melukai tubuh seseorang, maka orang itu tidak akan terluka.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa debus merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Banten yang menggambarkan jiwa patriotik masyarakat Banten, yang digabungkan dengan nilai-nilai budaya Islam. Selain debus, kesenian khas Banten lainnya yang masuk ke dalam kategori ini adalah patingtung dan rudat.
2. Sejarah Debus
Seni & Budaya merupakan komponen penting yang tidak dapat terlepas dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Seni & Budaya juga merupakan suatu hal yang tak terlepaskan dalam mewujudkan identitas kebanggaan dan keberadaan bangsa di tengah-tengah bangsa lain yang harus selalu dipertahankan dan dikembangkan, agar tidak hilang termakan peradaban modern. Selain memiliki banyak potensi objek wisata alam yang memikat, masyarakat Banten juga memiliki kegiatan seni dan budaya, yang masih terus berlangsung dalam kehidupan masyarakatnya dan menarik untuk dipertunjukan. Masyarakat Banten yang berjumlah kurang lebih 7.500.000 orang, mayoritas beragama Islam dan memiliki akar spiritual yang kuat, sehingga seni dan budaya masyarakatnya banyak dipengaruhi oleh budaya Agama Islam. Selain Islam, seni dan budaya Banten dipengaruhi pula oleh budaya China, Budha, Jawa dan Sunda serta Arab, yang dipadukan dan dikemas oleh masyarakat Banten menjadi suatu pertunjukan yang dinamis dan aktraktif. Masyarakat Indonesia, sesuai dengan yang tercantum pada sila pertama Pancasila, dikenal sebagai masyarakat relijius. Di samping itu, tak dapat disangkal pula bahwa mereka masih percaya akan hal-hal yang berbau mistis, gaib, atau magic. Dunia mistis dalam masyarakat kita lantas dikaitkan erat dengan ibadah atau praktik ritual yang dilakukan oleh setiap masyarakat daerah atau suku bangsa yang ada di Indonesia; seperti upacara pembakaran mayat atau ngaben yang merupakan akulturasi kebudayaan masyarakat Bali dengan ajaran agama Hindu, atau perayaan sekaten yang merupakan perpaduan antara upacara keraton Jogjakarta dengan peringatan hari lahir Nabi Muhammad dalam ajaran agama Islam. Bentuk nyata hasil perpaduan kebudayaan daerah dengan ajaran agama juga terdapat pada kesenian debus yang dimiliki oleh masyarakat Banten. Debus merupakan kesenian asli masyarakat Banten yang diciptakan pada abad ke-16, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570), dalam rangka penyebaran agama Islam. Agama Islam diperkenalkan ke Banten oleh Sunan Gunung Jati, salah satu pendiri Kesultanan Cirebon, pada tahun 1520, dalam ekspedisi damainya bersamaan dengan penaklukan Sunda Kelapa. Kemudian, ketika kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Apalagi, di masa pemerintahannya tengah terjadi ketegangan dengan kaum pendatang dari Eropa, terutama para pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC. Kedatangan kaum kolonialis ini di satu sisi membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata, yaitu terjadinya percampuran akidah dengan tradisi pra-Islam. Hal ini yang terdapat pada kesenian debus.
3. Tokoh Pelopor Debus
Banyak orang merasa ngeri ketika menyaksikan pertunjukkan debus. Bayangkan, di tengah arena, publik penonton disuguhi permainan yang tak gampang dijumpai di sembarang tempat. Golok tajam berkelebatan ibarat dalam film silat. Bara api dan senjata tajam lainnya jadi mainan tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun pada para pemainnya.
Di balik seni pertunjukan yang mengerikan itu, Haji Moch Idris (92), orang yang selama ini menjadi syeh pertunjukkan debus, Tubuhnya memang kecil, tetapi kemampuannya dalam memimpin debus tidak perlu diragukan lagi. Dialah orang di belakang layar yang membuat para pemain kebal terhadap api dan senjata tajam apa pun dan memiliki rasa percaya diri tinggi.
Debus adalah kesenian khas Banten yang ditampilkan di arena terbuka. Kesenian itu sekaligus mencerminkan sikap dan perilaku masyarakatnya yang keras namun agamis. Lihat saja ketika atraksi pertunjukan mencapai puncaknya.
Para pemain dengan tanpa ragu mengiris lidah atau pergelangan tangannya dengan golok tajam dan mengkilap, tanpa gentar sedikit pun. Mereka bahkan memakan api yang berkobar dan kemudian menggunakan kepalanya untuk menggoreng, tanpa memperlihatkan rasa panas sedikit pun.
Masih belum cukup, penonton yang terpana dan dibayangi rasa ngeri itu kemudian disuguhi atraksi paling khas, tatkala dua pemain bertelanjang dada tampil di tengah arena. Seorang di antaranya memegang almadad, yakni sejenis alat yang terbuat dari besi berdiameter sekitar 12 mm dan panjangnya sekitar 45-50 cm. Ujung yang satu sengaja dibuat tajam sehingga menyerupai jarum besar. Sementara ujung lainnya dimasukkan ke dalam gagang kayu bergaris tengah sekitar 15 cm dan tebal 10 cm.
Dengan sikap seolah-olah menantang, ujung almadad yang tajam ditempelkan ke perut. Sementara pemain lainnya mengayunkan gada memukul gagang almadad. Alat pemukul tersebut terbuat dari kayu dengan garis tengah sekitar 15 cm dan tebal 10 cm. Di bagian tengah dipasang gagang.
Namun sekeras apa pun pukulannya, ternyata tidak membuat ujung besi almadad menembus perut pemain tersebut, walaupun gada dihantamkan beberapa kali. Bahkan kulit perut di mana ujung almadad ditempelkan, tidak sedikit pun meninggalkan luka. Padahal dalam keadaan normal, besi almadad yang menyerupai jarum besar itu bisa dengan mudah menembus perut sampai belakang tubuh seseorang.
Dalam debus, penonton bukan hanya disuguhi perpaduan antara seni dan keterampilan, dalam hal ini keterampilan seni bela diri. Tetapi debus yang berasal dari kata "dzikir, bathin dan salawat" itu merupakan seni yang erat kaitannya dengan pengolahan batin dan keislaman. Seni debus mengandung unsur-unsur dakwah sebagaimana awal kesenian tersebut didirikan pada masa Sultan Maulanan Hasanudin dan Sultan Banten berikutnya.
Pada masa itu, seni debus dimainkan oleh dua pemain secara bergantian. Sementara pemain lainnya duduk sambil membaca salawatan dan dzikiran seraya diiringi musik terbang besar dan kendang.
Setelah lebih daripada satu abad terpendam, salah satu alat seni debus yang disebut almadad akhirnya ditemukan Moch Idris ketika bertugas piket di rumah kediaman Residen Banten yang terletak di Banten Lama pada tahun 1949. Ketika itu tidak seorang pun tahu akan nama dan kegunaan barang tersebut.
Seni debus barulah dikembangkan setelah tentara Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1949. Setelah tahun 1950-an ia mulai melatih calon pemain.
Para pemain debus bukan sembarang orang. Idris menyebut syarat utama harus beragama Islam dan menjalani puasa selama 40 hari.
Tidur tidak boleh terlentang karena khawatir menelan ludah dan membatalkan puasa.
Selama menjalankan puasa, ia harus membaca amalan yang diambil dari ayat Al Quran. Menurut dia, debus juga merupakan tarekat Qadariyah.
4. Bentuk Atraksi Debus
Permainan debus merupakan bentuk kesenian yang dikombinasikan dengan seni tari, seni suara dan seni kebatinan yang bernuansa magis. Kesenian debus biasanya dipertunjukkan sebagai pelengkap upacara adat, atau untuk hiburan masyarakat. Pertunjukan ini dimulai dengan pembukaan (gembung), yaitu pembacaan sholawat atau lantunan puji-pujian kepada Nabi Muhammad, dzikir kepada Allah, diiringi instrumen tabuh selama tiga puluh menit. Acara selanjutnya adalah beluk, yaitu lantunan nyanyian dzikir dengan suara keras, melengking, bersahut-sahutan dengan iringan tetabuhan. Bersamaan dengan beluk, atraksi kekebalan tubuh didemonstrasikan sesuai dengan keinginan pemainnya : menusuk perut dengan gada, tombak atau senjata almadad tanpa luka; mengiris anggota tubuh dengan pisau atau golok; makan api; memasukkan jarum kawat ke dalam lidah, kulit pipi dan angggota tubuh lainnya sampai tebus tanpa mengeluarkan darah; mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tapi dapat disembuhkan seketika itu juga hanya dengan mengusapnya; menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang dikenakan hancur lumat namun kulitnya tetap utuh. Selain itu, juga ada atraksi menggoreng kerupuk atau telur di atas kepala, membakar tubuh dengan api, menaiki atau menduduki tangga yang disusun dari golok yang sangat tajam, serta bergulingan di atas tumpukan kaca atau beling. Atraksi diakhiri dengan gemrung, yaitu permainan alat-alat musik tetabuhan.
Kesenian debus tidak hanya terdapat di Banten, namun telah merambah ke daerah-daerah lainnya seperti Garut dan Sidoarjo. Perguruan Debus Pancawarna yang terletak di Garut mempelajari gabungan lima jenis ilmu bela diri, yaitu pencak silat, rudat, lais, sucipta dan debus itu sendiri. Pada awalnya, Mi’an, guru utama perguruan, mewajibkan kepada setiap penonton melafalkan syahadat untuk meyakinkan keteguhan mereka pada Islam. Namun, seiring perkembangan zaman, aturan itu dihapus. Ada pula kelompok debus yang tergabung dalam grup musik Alga Nada pimpinan Gus Kholiq. Bentuk kesenian yang berasal dari daerah Waru ini tidak jauh berbeda dengan atraksi kesenian debus Banten, namun diawali dengan adegan meminum air putih yang telah diberi doa-doa oleh Gus Kholiq. Atraksi kelompok ini pernah dipertunjukan di Pendopo Delta Krida Budaya, Kantor Dinas Pariwisata, Budaya, Pemuda dan Olahraga Sidoarjo, dalam acara pengukuhan Dewan Kesenian Sidoarjo periode 2001-2004.
Debus juga merupakan salah satu unsur dalam kesenian terebang sejak dan gebes, sejenis kesenian perkusi di desa Cikeusal, wilayah Priangan Timur, yang bersifat kontemplatif, yaitu bentuk kesenian yang mengajak masyarakat untuk merenung atau ber-tafakkur. Lagu-lagu yang ditembangkan adalah sholawat Al-Barjanzi dan Al-Daiba.
0 komentar:
Post a Comment