Konsep Hutan Mangrove : Kata mangrove merupakan kombinasi anatara kata Mangue (bahasa portugis)
yang berarti tumbuhan dan kata Grove (bahsa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil. Ada yang menyatakan mangrove dengan kata Mangal yang menunjukan komunitas suatu tumbuhan. Atau mangrove yang berasal dari kata Mangro, yaitu nama umum untuk Rhizophora mangle di Suriname. Di Prancis padanan yang digunakan untuk mangrove adalah kata Manglier (Phurnomobasuki dalam Ghufran :2012). Untuk lebih jelas alagi mengenai devinisi hutan mangrove dapat kita lihat pendapat menurut para ahli sebagai berikut:
yang berarti tumbuhan dan kata Grove (bahsa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil. Ada yang menyatakan mangrove dengan kata Mangal yang menunjukan komunitas suatu tumbuhan. Atau mangrove yang berasal dari kata Mangro, yaitu nama umum untuk Rhizophora mangle di Suriname. Di Prancis padanan yang digunakan untuk mangrove adalah kata Manglier (Phurnomobasuki dalam Ghufran :2012). Untuk lebih jelas alagi mengenai devinisi hutan mangrove dapat kita lihat pendapat menurut para ahli sebagai berikut:
a. Mangrove menurut Ghuffran (2012), hutan mangrove sering disebut sebagai hutan bakau atau hutan payau (mangrove forest atau mangrove swamp forest) sebuah ekosistem yang terus-menerus mengalami tekanan
pembangunan.
pembangunan.
b. Mangrove menurut arief dalam Ghufran (2012), hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosh, kemudian dikenal dengan istilah “payau” karena sifat habitatnya yang payau, yaitu daerah dengan kadar garam antara 0,5 ppt dan 30 ppt. Disebut juga ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Berdasarkan jenis pohonnya, yaitu bakau, maka kawasan mangrove juga disebut hutan bakau.
c. Mangrove menurut Supriharyono dalam Ghufran (2012), kata mangrove memiliki dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap garam/salinitas dan pasang surut air laut, dan kedua sebagai individu spesies.
d. Mangrove menurut Tomlinson dalam Ghufran (2012) adalah istilah umum untuk kumpulan pohon yang hidup di daerah berlumpur, basah, dan terletak di perairan pasang surut daerah tropis.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang devinisi mangrove, maka yang dimaksud dengan mangrove dalam penelitian ini adalah kelompok tumbuhan berkayu yang tumbuh di sekelilinh garis pantai dan memiliki adaptasi yang tinggi terhadap salinitas payau dan harus hidup pada kondisi lingkungan yang demikian.
Penggunaan istilah hutan mangrove diganti dengan hutan bakau, mengingat persepsi dan pengetahuan hutan mangrove oleh masyarakat Desa Pematang Pasir adalah “Hutan Bakau”. Alternatif ini dilakukan dengan pertimbangan agar penelitian ini tidak mengalami bias pembahasan.
Zonasi Ekosistem Hutan Bakau
Bakau merupakan tipe tumbuhan tropik dan subtropik yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan bakau banyak dijumpai di pesisir pantai yang terlindungi dari gempuran ombak dan daerah landai. Hutan bakau tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur, sedangkan diwilayah pesisir yang tidak memiliki muara sungai pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Hutan bakau tidak atau sulit tumbuh diwilayah yang terjal dan berombak besar yang berarus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat (media) bagi pertumbuhannnya (Dahuri:2003).
Bakau merupakan tipe tumbuhan tropik dan subtropik yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan bakau banyak dijumpai di pesisir pantai yang terlindungi dari gempuran ombak dan daerah landai. Hutan bakau tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur, sedangkan diwilayah pesisir yang tidak memiliki muara sungai pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Hutan bakau tidak atau sulit tumbuh diwilayah yang terjal dan berombak besar yang berarus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat (media) bagi pertumbuhannnya (Dahuri:2003).
Ada lima faktor menurut Sukardjo dalam Ghufran (2012) yang mempengaruhi zonasi hutan bakau di kawasan pantai tertentu yaitu:
1. Gelombang air laut yang menentukan frekwensi tergenang.
2. Salinitas, kadar garam yang berkaitan dengan hubungan osmosis hutan bakau.
3. Substrata tau media tumbuh.
4. Pengaruh darat, seperti aliran air masuk dan rembasan air tawar.
5. Keterbukaa terhadap gelombang, yang menentukan jumlah substrat yang dapat dimanfaatkan.
1. Gelombang air laut yang menentukan frekwensi tergenang.
2. Salinitas, kadar garam yang berkaitan dengan hubungan osmosis hutan bakau.
3. Substrata tau media tumbuh.
4. Pengaruh darat, seperti aliran air masuk dan rembasan air tawar.
5. Keterbukaa terhadap gelombang, yang menentukan jumlah substrat yang dapat dimanfaatkan.
Meskipun tidak ada cara universal dalam menuntukan zonasi hutan bakau di suatu kawasan, tetapi skema umum hutan bakau untuk penggunaan secara luas pada daerah Indonesia dapat digunakan seperti konsep yang di berikan oleh Supriharyono dalam Ghufran (2012), ia membagi zona hutan bakau berdasrkan jenis pohon kedalam enam zona, yaitu: (1) zona perbatasan dengan daratan; (2) zona semak-semak tumbuhan ceriops;(3) zona hutan Lacang;(4) zona hutan Bakau;(5)zona Api-api yang menuju ke laut; dan (6) zona Pedada. Sementara Watson dalam Ghufran (2012) membagi zona hutan hutan bakau berdasarkan frekwensi air menjadi lima zona, yaitu:
1. Hutan yang paling dekat dengan laut ditumbuhi oleh Api-api dan Pedada. Pedada tumbuh pada lumpur yang lembek dengan kandungan organic yang tinggi. Sedangkan Api-api tumbuh pada substrat yang liat agak keras.
2. Hutan pada subtrat yang lebih tinggi biasanya ditumbuhi oleh Lacang. Hutan ini tumbuh pada tanah liat yang cukup keras dan dicapai oleh beberapa air pasang saja.
3. Ke arah dataran lagi hutan dikuasai oleh Bakau. bakau lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon dapat tumbuh tinggi 35-40 m.
4. Hutan yang dikuasai oleh Nyirih kadang dijumpai tanpa jenis pohom lainnya.
5. Hutan mangrove terakhir dikuasai oleh Nipah, zona ini adalah wilayah peralihan antara hutan mangrove dan hutan daratan.
Pembagian hutan bakau juga di bedakan berdasrkan struktur ekosistemnya, yang secara garis besar dibagi menjadi tiga formasi (Purnamabasuki dalam Ghufran:2012), sebagai berikut:
1. Hutan Bakau Pantai, pada tipe ini pengaruh air laut lebih dominan dari air sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut kedarat dimulai dari pertumbuhan Pedada diikuti oleh komunitas campuran Pedada, Api-api, Bakau, selanjutnya komunitas murni Bakau dan akhirnya komunitas campuran Lacang.
2. Hutan Bakau Mura, pada tipe ini pengaruh air laut sama kuat dengan pengaruh air sungai. Hutan bakau muara dicirikan Bakau ditepian alur di ikuti komunitas campuran Bakau-Lacang dan diakhiri dengan komunitas murni Nipah.
3. Mangrove Sungai, pada tipe ini pengaruh air sungai lebih dominan dari pada air laut dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Pada tipe ini hutan bakau banyak ber asosiasi dengn komunitas
tumbuhan daratan.
tumbuhan daratan.
Fungsi dan Manfaat Utama Ekosistem Hutan BakauSetidaknya ada tiga fungsi utama ekosistem hutan bakau yang di kemukakan Nontji dalam Ghufran (2012), yaitu:
1. Fungsi fisis, meliputi: pencegah abrasi, perlindungan terhadap angin, pencegah intrusi garam, dan sebagai penghasil energi serta hara.
2. Fungsi biologis, meliputi: sebagai tempat bertelur dan tempat asuhanberbagai biota.
3. Fungsi ekonomis, meliputi: sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar dan arang), bahan bangunan(balok, atap, dan sebagainya), perikanan, pertanian, makanan, minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat sintesis, penyamakan kulit, obat-obatan, dan lain-lain.
3. Fungsi ekonomis, meliputi: sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar dan arang), bahan bangunan(balok, atap, dan sebagainya), perikanan, pertanian, makanan, minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat sintesis, penyamakan kulit, obat-obatan, dan lain-lain.
Ekosistem mangrove, selain memiliki fungsi ekologis yang di jelaskan di atas juga memiliki manfaat ekonomi yang cukup besar. Ekosistem hutan bakau memberikan kontribusi secara nyata bagi peningkatan pendapatan masyarakat, devisa untuk daerah(desa/keluarahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi), dan Negara. Produksi yang didapat dari ekosistem mangrove berupa kayu bakar, bahan bangunan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan, minuman, peralatan rumah tangga, lilin, madu, rekreasi, tempat pemancingan dan lain-lainnya (Saenger et al dalam Ghufran:2012). Berikut akan disampaikan lebih rinci oleh Ghufran (2012) mengenai manfaat ekonomi ekostem hutan bakau, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan konservasi tiap daerah:
1. Hasil Hutan
Flora atau tumbuhan yang ditemukan pada ekosistem hutan bakau Indonesia sekitar 189 jenis dari 68 suku. Dari jumlah itu, 80 jenis diantaranya adalah berupa pohon atau kayu. Pohon atau kayu pada hutan bakau menghasilkan kayu bernilai ekonomi tinggi, yang telah dimanfaatkan sejak lama. Kayu dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi, seperti pembuatan rumah, pelabuhan, dan sebagainya. Kayu juga dimanfaatkan untuk bahan bakar/kayu bakar, termasuk produksi arang. Saat ini, benih berbagai tumbuhan bakau pun menjadi tumbuhan bernilai ekonomi tinggi. Di berbagai daerah benih tumbuhan bakau diperdagangkan untuk rehabilitasi dan penghijauan ekosistem hutan bakau yang rusak.
2. Hasil Hutan non-Kayu
Selain kayu, di hutan bakau juga terdapat flora dan fauna yang merupakan hasil hutan nonkayu. Jenis flora yang bernilai ekonomis atara lain berupa nipah yang bunganya merupakan penghasil gula nira sedangkan daun dan dahannya bermanfaat sebagai bahan bangunan, tumbuhan lain yang berharga adalah anggrek.
Selain kayu, di hutan bakau juga terdapat flora dan fauna yang merupakan hasil hutan nonkayu. Jenis flora yang bernilai ekonomis atara lain berupa nipah yang bunganya merupakan penghasil gula nira sedangkan daun dan dahannya bermanfaat sebagai bahan bangunan, tumbuhan lain yang berharga adalah anggrek.
Hasil hutan lainnya adalah madu, berbagai hewan buruan seperti ular, burung dan telurnya, termasuk berbagai hewan yang dilindungi yang dimanfaatkan bila berhasil dibudidayakan. Buah dan bunga dari tumbuhan
mangrove juga dimanfaatkan sebagai bahan pangan pengganti karbohidrat.
mangrove juga dimanfaatkan sebagai bahan pangan pengganti karbohidrat.
3. Ikan
Para ahli mengelompokan ikan di ekostem hutan bakau kedalam empat kelompok, yaitu: (a) ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya berada di daerah ekosistem hutan bakau seperti ikan gelodok;(b) ikan penetap sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan ekosistem selama periode anakan tetapi pada saat dewasa cendrung bergerombol di sepanjang pantai yang berdekatan dengan ekosistem hutan bakau, seperti ikan belanak, kuwe, dan ikan kapas-kapas;(c) ikan pengunjung pada periode pasang yaitu ikan yang berkunjung pada masa pasang untuk mencari makan contoh, ikan gulamah, barakuda, tancak, dan lainnya;(d) ikan pengunjung musiman yaitu ikan-ikan yang menggunakan ekosistem hutan bakau sebagai tempat pemijah dan asuhan serta tempat perlindungan musiman dari predator. Beberapa spesies ikan yang bernilai ekonomi tinggi penghuni ekosistem hutan bakau diantaranya adalah kakap, belanak, kuwe, tembang, teri, mujair, ikan hias, dan lainya.
Para ahli mengelompokan ikan di ekostem hutan bakau kedalam empat kelompok, yaitu: (a) ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya berada di daerah ekosistem hutan bakau seperti ikan gelodok;(b) ikan penetap sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan ekosistem selama periode anakan tetapi pada saat dewasa cendrung bergerombol di sepanjang pantai yang berdekatan dengan ekosistem hutan bakau, seperti ikan belanak, kuwe, dan ikan kapas-kapas;(c) ikan pengunjung pada periode pasang yaitu ikan yang berkunjung pada masa pasang untuk mencari makan contoh, ikan gulamah, barakuda, tancak, dan lainnya;(d) ikan pengunjung musiman yaitu ikan-ikan yang menggunakan ekosistem hutan bakau sebagai tempat pemijah dan asuhan serta tempat perlindungan musiman dari predator. Beberapa spesies ikan yang bernilai ekonomi tinggi penghuni ekosistem hutan bakau diantaranya adalah kakap, belanak, kuwe, tembang, teri, mujair, ikan hias, dan lainya.
4. Krustase
Ekostem hutan bakau juga merupakan habitat bagi fauna krustase. Menurut Kartawinata dalam Ghufran (2012) tercatat ada 80 spesies krustase yang hidup dalam ekosistem hutan hutan bakau, spesies penting yang hidup atau terkait dengan ekosistem hutan bakau adalah udang dan kepiting bakau.
5. Moluska
Ekosistem hutan bakau juga merupakan habitat bagi fauna moluska. Menurut Kartawinata dalam Ghufran (2012) tercatat sekitar 65 spesies moluska yang hidup di ekosistem hutan bakau, beberapa moluska penting
di ekosistem hutan bakau adalah kerang bakau, kerang hijau, kerang alang, kerang darah dan lainnya.
Ekosistem hutan bakau juga merupakan habitat bagi fauna moluska. Menurut Kartawinata dalam Ghufran (2012) tercatat sekitar 65 spesies moluska yang hidup di ekosistem hutan bakau, beberapa moluska penting
di ekosistem hutan bakau adalah kerang bakau, kerang hijau, kerang alang, kerang darah dan lainnya.
6. Bahan pangan (nonikan)
Berbagai tumbuhan pada ekosistem hutan bakau juga merupakan bahan pangan yang potensial, dan belum banyak dimanfaatkan. umunya baru produksi gula nira dan minuman beralkohol dari bunga tumbuhan nipah.
Buah tanjang atau dikenal sebagai buah aibon telah digunakan sebagai salah satu makanan pokok pada saat makanan lain seperti ubi dan dan sagu tidak tersedia. Selain buah tanjang, beberapa tumbuhan bakau yang
buahnya dapat dikonsumsi adalah buah Api-api bisa dibuat keripik yang rasanya mirip emping melinjo, buah Pedada cocok bisa dibuat permen karena rasanya asam. Buah Pedada juga dapat dibuat sirup dan selai
sedangkan buah nipah cocok dibuat kolak.
Berbagai tumbuhan pada ekosistem hutan bakau juga merupakan bahan pangan yang potensial, dan belum banyak dimanfaatkan. umunya baru produksi gula nira dan minuman beralkohol dari bunga tumbuhan nipah.
Buah tanjang atau dikenal sebagai buah aibon telah digunakan sebagai salah satu makanan pokok pada saat makanan lain seperti ubi dan dan sagu tidak tersedia. Selain buah tanjang, beberapa tumbuhan bakau yang
buahnya dapat dikonsumsi adalah buah Api-api bisa dibuat keripik yang rasanya mirip emping melinjo, buah Pedada cocok bisa dibuat permen karena rasanya asam. Buah Pedada juga dapat dibuat sirup dan selai
sedangkan buah nipah cocok dibuat kolak.
7. Kawasan wisata
Ekosistem hutan bakau dengan tumbuhan yang rimbun dan mempunyai berbagai biota merupakan salah satu tempat rekreasi atau wisata yang nyaman. Untuk menjadikan ekosistem hutan bakau sebagai lingkungan yang nyaman dan menarik bagi wisatawan, maka harus dilindungi dan direhabilitasi agar terlihat asli dengan berbagai flora dan faunanya.
Ekosistem hutan bakau dengan tumbuhan yang rimbun dan mempunyai berbagai biota merupakan salah satu tempat rekreasi atau wisata yang nyaman. Untuk menjadikan ekosistem hutan bakau sebagai lingkungan yang nyaman dan menarik bagi wisatawan, maka harus dilindungi dan direhabilitasi agar terlihat asli dengan berbagai flora dan faunanya.
Kerusakan Hutan Bakau
Walaupun ekosetem hutan bakau tergolong sumberdaya yang dapat pulih, namun bila mengalihkan fungsi atau konfersi dilakukan secara besar-besaran dan terus menerus tanpa pertimbangan kelestariannya, maka kemampuan ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat tetapi juga tidak berlangsung, karena beratnya tekanan akibat perubahan tersebut. Kerusakan ekosistem hutan bakau berdampak besar baik, ekologi, ekonomi, maupun social. Ghufran (2012) mengemukakan beberapa faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia:
Walaupun ekosetem hutan bakau tergolong sumberdaya yang dapat pulih, namun bila mengalihkan fungsi atau konfersi dilakukan secara besar-besaran dan terus menerus tanpa pertimbangan kelestariannya, maka kemampuan ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat tetapi juga tidak berlangsung, karena beratnya tekanan akibat perubahan tersebut. Kerusakan ekosistem hutan bakau berdampak besar baik, ekologi, ekonomi, maupun social. Ghufran (2012) mengemukakan beberapa faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia:
1. Konversi untuk pemukiman
Salah satu penyebab terbesar kerusakan ekosistem hutan bakau adalah konversi untuk pemukiman. Penduduk Indonesia yang tinggal di radius 100 km dari garis pantai mencapai 96% dari total populasi. Hal ini karena wilayah pesisir menyediakan ruang kemudahan bagi aktivitas ekonomi seperti pasar, transportasi(pelabuhan, kapal), aksesibilitas dan rekreasi. Wilayah pesisir memegang peranan penting dalam kelangsungan proses kegiatan ekonomi di Indonesia. Karena itu ekosistem hutan bakau merupakan salah satu area yang dikonservasi untuk pemukiman termasuk pelabuhan dan sebagainya. Konversi hutan bakau untuk pemukiman penduduk masih terus berlangsung di berbagai daerah di Indonesia, karena itu konversi hutan bakau diduga menyumbang kerusakan besar ekosistem ini, dan akan terus berlangsung di masa yang akan datang.
Salah satu penyebab terbesar kerusakan ekosistem hutan bakau adalah konversi untuk pemukiman. Penduduk Indonesia yang tinggal di radius 100 km dari garis pantai mencapai 96% dari total populasi. Hal ini karena wilayah pesisir menyediakan ruang kemudahan bagi aktivitas ekonomi seperti pasar, transportasi(pelabuhan, kapal), aksesibilitas dan rekreasi. Wilayah pesisir memegang peranan penting dalam kelangsungan proses kegiatan ekonomi di Indonesia. Karena itu ekosistem hutan bakau merupakan salah satu area yang dikonservasi untuk pemukiman termasuk pelabuhan dan sebagainya. Konversi hutan bakau untuk pemukiman penduduk masih terus berlangsung di berbagai daerah di Indonesia, karena itu konversi hutan bakau diduga menyumbang kerusakan besar ekosistem ini, dan akan terus berlangsung di masa yang akan datang.
2. Konversi untuk tambak
Meningkatnya harga udang windu di pasaran internasional membuka lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang dikonversi untuk pertambakan adalah hutan bakau. Kawasan hutan bakau dianggap paling cocok untuk lokasi pertambakan. Karena itu, potensi lahan untuk area tambak dihitung berdasarkan luas lahan mangrove yang ada. Dari berbagai setudi, kemudian diusulkan agar pembukaan lahan hutan bakau untuk pertambakan tidak melebihi 30% dari hutan bakau yang tersedia. Tidak lain tujuannya adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem kawasan pantai. Namun kenyataanya konversi ekosistem hutan bakau untuk tambak dilakukan dengan membabi buta dan hanya mempertimbangkan dari aspek ekonomi saja tanpa mempertimbangkan faktor ekologinya. Karena itu, pembukaan lahan untuk tambak telah menyebabkan kerusakan hutan bakau yang sangat serius.
Meningkatnya harga udang windu di pasaran internasional membuka lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang dikonversi untuk pertambakan adalah hutan bakau. Kawasan hutan bakau dianggap paling cocok untuk lokasi pertambakan. Karena itu, potensi lahan untuk area tambak dihitung berdasarkan luas lahan mangrove yang ada. Dari berbagai setudi, kemudian diusulkan agar pembukaan lahan hutan bakau untuk pertambakan tidak melebihi 30% dari hutan bakau yang tersedia. Tidak lain tujuannya adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem kawasan pantai. Namun kenyataanya konversi ekosistem hutan bakau untuk tambak dilakukan dengan membabi buta dan hanya mempertimbangkan dari aspek ekonomi saja tanpa mempertimbangkan faktor ekologinya. Karena itu, pembukaan lahan untuk tambak telah menyebabkan kerusakan hutan bakau yang sangat serius.
3. Pengambilan kayu
Tumbuhan mangrove yang berupa pohon kayu antara lain adalah bakau, tanjang, api-api, pedada, nyirih, tengar dan buta-buta. Pohon-pohon di ekosistem hutan bakau menghasilkan kayu yang berkualitas baik sehingga dapat dimanfaatkan untuk konstruksi bangunan dan kebutuhan rumah tangga (kayu bakar). Pengambilan kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar menyumbang kerusakan ekosistem hutan bakau, pengambilan kayu menyebabkan kegundulan, pada tahap selanjutnya terjadi abrasi pantai
oleh gelombang pasang yang lama-kelamaan merusak garis pantai.
Tumbuhan mangrove yang berupa pohon kayu antara lain adalah bakau, tanjang, api-api, pedada, nyirih, tengar dan buta-buta. Pohon-pohon di ekosistem hutan bakau menghasilkan kayu yang berkualitas baik sehingga dapat dimanfaatkan untuk konstruksi bangunan dan kebutuhan rumah tangga (kayu bakar). Pengambilan kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar menyumbang kerusakan ekosistem hutan bakau, pengambilan kayu menyebabkan kegundulan, pada tahap selanjutnya terjadi abrasi pantai
oleh gelombang pasang yang lama-kelamaan merusak garis pantai.
4. Pencemaran
Pencemaran perairan, baik sungai, danau, perairan pesisir maupun laut dapat menyebabkan kerusakan ekosisitem hutan bakau. Bahan polutan yang masuk kedalam sungai dapat tersangkut ke pesisir sehingga dapat menyebabkan kerusakan ekosistem hutan bakau. Pada umunya bahan pencemar itu berasal dari kegiatan industry, pertanian, dan rumah tangga. Selain itu pencemaran juga dapat berasal dari aktivitas lalulintas kapal yang terlalu tinggi melewati kawasan hutan bakau.
Pencemaran perairan, baik sungai, danau, perairan pesisir maupun laut dapat menyebabkan kerusakan ekosisitem hutan bakau. Bahan polutan yang masuk kedalam sungai dapat tersangkut ke pesisir sehingga dapat menyebabkan kerusakan ekosistem hutan bakau. Pada umunya bahan pencemar itu berasal dari kegiatan industry, pertanian, dan rumah tangga. Selain itu pencemaran juga dapat berasal dari aktivitas lalulintas kapal yang terlalu tinggi melewati kawasan hutan bakau.
Hutan mangrove yang paling terkenal dan sangat indah itu di daerah mana ya?
ReplyDelete