Menjelang akhir triwulan III-2008,
perekonomian dunia dihadapkan pada satu babak
baru yaitu runtuhnya stabilitas ekonomi global,
seiring dengan meluasnya krisis finansial ke
berbagai negara. Krisis finansial global mulai
muncul sejak bulan Agustus 2007, yaitu pada saat
salah satu bank terbesar Perancis BNP Paribas
mengumumkan pembekuan beberapa sekuritas
yang terkait dengan kredit perumahan berisiko
tinggi AS (subprime mortgage). Pembekuan ini
lantas mulai memicu gejolak di pasar finansial dan
akhirnya merambat ke seluruh dunia. Di
penghujung triwulan III-2008, intensitas krisis
semakin membesar seiring dengan bangkrutnya
bank investasi terbesar AS Lehman Brothers, yang
diikuti oleh kesulitan keuangan yang semakin
parah di sejumlah lembaga keuangan berskala
besar di AS, Eropa, dan Jepang.
Krisis keuangan dunia tersebut telah
berimbas ke perekonomian Indonesia sebagaimana
tercermin dari gejolak di pasar modal dan pasar
uang. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada
bulan Desember 2008 ditutup pada level 1.355,4,
terpangkas hampir separuhnya dari level pada awal
tahun 2008 sebesar 2.627,3, bersamaan dengan
jatuhnya nilai kapitalisasi pasar dan penurunan
tajam volume perdagangan saham. Arus keluar
kepemilikan asing di saham, surat utang negara
(SUN), maupun SBI masih terus berlangsung.
Hingga akhir Desember 2008, posisi asing di SUN
tercatat Rp.87,4 triliun, menurun dibandingkan
posisi September 2008 yang sempat mencapai
Rp104,3 triliun. Sementara posisi asing di SBI
tercatat Rp.8,4 triliun, menurun tajam
dibandingkan posisi Agustus 2008 sebesar Rp.68,4 triliun. Bersamaan dengan itu, nilai tukar Rupiah
ikut terkoreksi tajam hingga mencapai level
Rp10.900/USD pada akhir Desember 2008. Kondisi
ini sejalan dengan kinerja neraca pembayaran yang
menunjukkan penurunan sejak Triwulan III-2008,
sebagaimana tercermin dari peningkatan defisit
transaksi berjalan (current account) dan mulai
defisitnya neraca transaksi modal dan finansial
(financial account). Peningkatan defisit transaksi
berjalan terutama bersumber dari anjloknya kinerja
ekspor sejalan dengan kontraksi perekonomian
global yang diiringi dengan merosotnya harga
berbagai komoditas ekspor. Sementara, kesulitan
likuiditas keuangan global dan meningkatnya
perilaku risk aversion dari pemodal asing memicu
terjadinya realokasi ke aset yang lebih aman (flight
to quality) juga berdampak pada menurunnya
kinerja neraca transaksi modal dan finansial.
Menyusul tertekannya kinerja ekspor secara
signifikan, dunia usaha pun mulai terkena imbas
dan gelombang pemutusan hubungan kerja mulai
terjadi, khususnya di industri-industri berorientasi
ekspor seperti industri kayu, tekstil, dan
pengalengan ikan.
Pada periode laporan, krisis global masih
berlangsung dan bahkan pada akhir Januari 2009,
Inggris secara resmi dinyatakan telah memasuki
periode resesi menyusul pertumbuhan PDB
triwulan IV-2008 yang kembali negatif dalam dua
triwulan terakhir. Di tengah berbagai upaya
penyelamatan perekonomian yang dilakukan
pemerintah berbagai negara1 , gelombang kebangkrutan bisnis perbankan maupun industri
yang diikuti dengan pemutusan hubungan kerja
terus terjadi di berbagai belahan dunia.
Dengan latar belakang kondisi seperti ini,
pertanyaan paling relevan yang kemudian muncul
adalah seberapa jauh krisis ini akan mempengaruhi
perekonomian Indonesia. Pembahasan dampak
krisis global terhadap perekonomian Indonesia
tersebut akan diawali dari kronologis dan latar
belakang krisis. Selanjutnya pembahasan
dilengkapi dengan kajian mengenai transmisi
masuknya dampak krisis global tersebut ke dalam
perekonomian Indonesia.
3.1 Kronologis dan Latar Belakang Krisis
3.1.1 Kronologis Krisis2
Pengumuman BNP Paribas, Perancis, pada
9 Agustus 2007 yang menyatakan
ketidaksanggupannya untuk mencairkan sekuritas
yang terkait dengan subprime mortgage dari AS,
menandai dimulainya krisis3 yang dengan segera
meluas menjadi krisis likuiditas terburuk di berbagai
belahan dunia. Subprime mortgage merupakan
istilah untuk kredit perumahan (mortgage) yang
diberikan kepada debitur dengan sejarah kredit
yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit
sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit
yang berisiko tinggi. Penyaluran subprime
mortgage di AS mengalami peningkatan pesat
mulai di bawah USD200 miliar pada tahun 2002
hingga menjadi sekitar USD500 miliar pada 2005.
Meskipun subprime mortgage inilah yang menjadi
awal terciptanya krisis, namun sebenarnya jumlahnya relatif kecil dibandingkan keseluruhan
kerugian yang pada akhirnya dialami oleh
perekonomian secara keseluruhan. Kerugian besar
yang terjadi sebenarnya bersumber dari praktik
pengemasan subprime mortgage tersebut ke
dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang
kemudian diperdagangkan di pasar finansial global
(lihat Diagram 3.1). Pada tahap pertama,
sekuritisasi dilaksanakan terhadap sejumlah
subprime mortgage sehingga menjadi sekuritas
yang disebut mortgage-backed securities (MBS).
Dalam sistem keuangan modern, praktik
sekuritisasi MBS ini merupakan suatu hal yang telah
lazim, dan bahkan pada tahun 2006 jumlah kredit
perumahan di AS (mortgage) yang disekuritisasi
menjadi MBS telah mencapai hampir 60% dari
seluruh outstanding kredit perumahan. Proses
sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi
pemerintah (antara lain lembaga Fannie Mae dan
Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses
sekuritisasi ini, pihak ketiga seringkali melakukan
pengemasan dengan melakukan penggabungan
sejumlah mortgage, yang selanjutnya dijual kepada
investor yang berminat. Untuk menanggulangi
risiko gagal bayar (default), maka pihak ketiga ini
sekaligus bertindak sebagai penjamin.
Praktik sekuritisasi mortgage ini ternyata
tidak berhenti sampai di sini. Melalui rekayasa
keuangan (financial engineering) yang kompleks,
MBS kemudian diresekuritisasi lagi menjadi jenis
sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt
Obligations (CDOs).
4 Sejalan dengan jumlah MBS
yang terus meningkat, persentase jumlah MBS
yang diresekuritisasi menjadi CDOs juga mengalami
peningkatan pesat (Grafik 3.1 dan 3.2). Dalam
skala global, total penerbitan CDOs pada 2006
telah melebihi USD500 milar, dengan separuhnya
didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS.
Pada tahun 2004 total penerbitan CDOs global
baru berada pada level sekitar USD150 miliar. Selain
dalam bentuk CDOs, MBS juga diresekuritisasi
dalam beberapa bentuk sekuritas lain yang sudah
sulit dilacak bentuk maupun jumlahnya, di
antaranya sekuritas SIV (Structured Investment
Vehicles). Maraknya perdagangan CDOs di pasar
global juga dipengaruhi hasil rating yang
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat
internasional, yang cenderung underpricing
terhadap risiko dari produk-produk derivatif di atas.
Dipicu oleh perubahan arah kebijakan
moneter AS yang mulai berubah menjadi ketat
memasuki pertengahan 2004, tren peningkatan
suku bunga mulai terjadi dan terus berlangsung
sampai dengan 2006. Kondisi ini pada akhirnya
memberi pukulan berat pada pasar perumahan AS,
yang ditandai dengan banyaknya debitur yang
mengalami gagal bayar. Gelombang gagal bayar
yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga
rumah di AS, akhirnya menyeret semua investor
maupun lembaga yang terlibat dalam penjaminan
ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar.
Pengumuman BNP Paribas pada Agustus
2007 secara tiba-tiba memicu krisis kepercayaan
di pasar keuangan global. Sulitnya mendeteksi
bank atau institusi mana yang memiliki aset yang
terkait dengan subprime mortgage dari AS,
menyebabkan munculnya perilaku menghindar
dari risiko (risk aversion) yang berlebihan dari
pelaku pasar. Kondisi ini segera menciptakan
kekeringan likuiditas yang sangat parah di pasar
keuangan global. Untuk mengatasi kekurangan
likuiditas tersebut, Federal Reserve (The Fed) dan
ECB bertindak cepat dengan memompa likuiditas
ke pasar sebesar masing-masing USD24 miliar dan
€95 miliar pada Agustus 2007. Selain menambah
likuiditas, The Fed juga mengambil langkah
menurunkan suku bunga. Namun tindakan ini
ternyata tidak mampu meredam gejolak pasar
keuangan. Setelah pengumuman BNP Paribas di
Agustus 2007, berturut-turut terungkap kerugian
besar yang dialami bank maupun lembaga
keuangan lain, akibat kepemilikan lembagalembaga
ini pada subprime mortgage dari AS (lihat
Tabel Kronologis Krisis Finansial Global). Bank
sentral di negara-negara maju terus berusaha
menenangkan pasar dengan melakukan suntikan
likuiditas maupun menurunkan suku bunga.
Namun langkah-langkah ini hanya mampu sesaat
menenangkan pasar. Selanjutnya, laporan kerugian
dari berbagai lembaga keuangan berskala besar
terus bermunculan yang dibarengi dengan
kekeringan likuiditas di pasar keuangan berbagai
negara, khususnya AS dan Eropa. Akhirnya, pada September 2008 Fannie Mae dan Freddie Mac5 ,
dua lembaga penyalur kredit perumahan yang
menguasai hampir separuh outstanding kredit
perumahan di AS juga terkena imbas krisis. Dan
pada 15 September 2008 Lehman Brothers
dinyatakan bangkrut, menjadikannya sebagai bank
investasi besar pertama yang benar-benar
mengalami kolaps sejak terjadinya krisis.
Sementara itu, dampak krisis keuangan telah
semakin berimbas ke sektor riil, angka penjualan
eceran di AS dan berbagai negara Eropa tercatat
terus menurun, sementara angka pengangguran
mulai bergerak naik. Sejalan dengan kelesuan di
sektor riil, perkembangan harga komoditas dunia
juga mengalami penurunan secara signifikan
(Grafik 3.3 dan 3.4).
Kebangkrutan Lehman Brothers ini segera
meningkatkan intensitas dampak krisis ke seluruh
dunia. Hilangnya kepercayaan terhadap investor
dan kreditur pada kemampuan pelaku bisnis untuk
memenuhi kewajibannya, menyebabkan akses
pelaku bisnis ke pasar modal dan pasar pembiayaan
jangka pendek menjadi terhambat. Di tengah
kejatuhan harga berbagai komoditas dunia,
terbatasnya akses pembiayaan pelaku bisnis
semakin meningkatkan ketidakpastian prospek
sektor keuangan dan ekonomi secara keseluruhan.
Kondisi ini memicu kejatuhan harga saham yang
lebih dalam di bursa saham seluruh dunia (Grafik
3.6). Selain itu, ketatnya likuiditas dan perilaku risk
aversion mendorong terjadinya realokasi dan
rekomposisi struktur aset para pemodal, dari aset
yang dipandang berisiko ke aset yang dianggap
lebih aman (flight to quality), yang segera memicu
outflows dari negara-negara emerging markets.
Sebagai akibatnya, yield bond negara-negara
berkembang terus meningkat bersamaan dengan
melemahnya nilai tukar di negara-negara tersebut
(Grafik 3.5). Sebagai upaya untuk menahan
kemerosotan nilai tukar lebih jauh, sejumlah negara
terpaksa menggunakan cadangan devisanya.
0 komentar:
Post a Comment